Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KUSDALINI sudah melupakan banyak hal. Kakinya mengecil dan kekuatan lututnya mengendur karena makin jarang digunakan untuk berjalan. Kaminah, yang lebih muda dari Kusdalini, merawatnya dengan penuh kesabaran. Meski langkah Mbah Kam juga sudah mulai tertatih, dia dengan lembut terus membalurkan minyak kayu putih, menyuapi Mbah Kus, dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya yang kadang diulang-ulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua perempuan sepuh itu hanya memiliki satu sama lain. Mereka tinggal bersama dan berkasih sayang seperti dua saudara meski tak ada hubungan darah. Sehari-hari, mereka menggoreng kerupuk oranye dan memasukkannya satu demi satu ke plastik bening untuk dijual di warung-warung. Pada suatu waktu, mereka pernah punya warung soto dan katering. Tapi kini hanya berjualan kerupuk yang bisa dilakukan tubuh-tubuh ringkih itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kaminah (kanan) dan Kusdalini membaca doa dalam You and I. Dokumentasi Fanny Chotimah
“Aku sering mimpi tentang orang yang sudah meninggal,” ucap Mbah Kus suatu hari dalam bahasa Jawa saat sedang membungkus kerupuk.
“Kalau diajak mereka, jangan mau,” Mbah Kam menyahut.
“Tidak, aku masih ingin menemani kamu.”
Sutradara Fanny Chotimah menangkap hari-hari kedua mbah itu dari dekat sekali tanpa membuat kentara ada kamera yang mengikuti mereka. Penonton dapat merasa hadir di antara Kaminah dan Kusdalini, turut mendengarkan percakapan, hingga menangkap pandangan mata mereka yang penuh kasih, tanpa menciptakan riak dalam kehidupan keduanya yang lambat dan lirih. Karena itu, film dokumenter You and I yang berdurasi 71 menit ini begitu kuat dan menyayat.
Film ini sedikit saja mengungkap masa lalu Kaminah dan Kusdalini. Tak banyak wawancara dan tak ada penampakan arsip visual atau data sejarah. Fokus diarahkan pada interaksi keseharian mereka di masa kini dan betapa mereka saling menopang. Namun tetap ada cukup informasi untuk memberi tahu penonton bahwa Kaminah dan Kusdalini bukanlah nenek-nenek biasa yang sedang menikmati hari tua. Di rumah, mereka membicarakan ide-ide Sukarno, menyimak lekat berita peringatan peristiwa 30 September 1965, lalu turut dalam pertemuan sekelompok kakek-nenek yang membahas bundelan dokumen berjudul “Membedah Tragedi 1965”.
Ada sedikit cuplikan wawancara dengan Kaminah yang samar-samar juga memberikan gambaran tentang identitas mereka. “Kami sepaham, seperjuangan. Bidangnya sama, keputrian. Dia suka nyanyi, aku suka nyanyi. Dia tingkat kota di Gita Patria, aku tingkat ranting kecamatan,” ujar Kaminah. “Yang paling berkesan, ketika Mbak Kus dipanggil bebas, aku sampai pingsan.”
Potrait Kaminah (berdiri) dan Kusdalini yang difoto oleh fotografer Adrian Mulya. Adrian Mulya/Pemenang Kehidupan
Kamera jarang sekali menodong langsung kedua ibu tersebut untuk berbicara. Film ini ibarat catatan harian visual yang tidak menjelaskan peristiwa, hanya merekam potongan hari-hari dua perempuan lanjut usia yang makin kehilangan daya tapi saling menguatkan. Pada suatu hari, mereka berbicara tentang atap rumah yang bocor hingga air hujan merembes dan membuat kuyup baju Kaminah di lemari. Di lain waktu, mereka mengenakan kebaya rapi untuk menghadiri pertemuan di bagian lain kota. Namun mereka lebih sering hanya saling membelai dan memohon agar yang satu tak pergi lebih dulu.
Beberapa kali layar lama menampilkan dinding bata yang digantungi jemuran daster berbunga kedua mbah tersebut. Melihat ini, mungkin saja penonton akan teringat pada sebuah dinding lain yang muncul dalam film yang sama sekali berbeda: sepotong dinding dengan silet terselip di tengahnya dalam film propaganda Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI (Arifin C. Noer, 1984). Silet yang kemudian diambil seorang perempuan, lalu disayatkan pada wajah seorang jenderal sambil berucap, “Penderitaan itu pedih, Jenderal. Sekarang rasakan sayatan silet ini.”
Sepotong adegan itu selama bertahun-tahun membentuk imaji mengerikan setiap kali orang membayangkan para perempuan yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tanpa banyak kata, You and I menghadirkan narasi berlawanan dengan cara yang sangat samar, tapi dapat menyentuh jauh lebih dalam.
Ini yang membuat You and I berbeda dengan film-film lain tentang eks tahanan politik perempuan peristiwa 1965. Hampir sedekade lalu, sutradara Fadillah Vamp Saleh dan Putu Oka Sutanta membuat film dokumenter berjudul Plantungan. Sesuai dengan judulnya, film ini menuturkan kembali kisah tertuduh anggota Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani yang diasingkan di penjara Plantungan, Kendal, Jawa Tengah. Meski pengakuan demi pengakuan yang dilontarkan narasumber dalam film itu menjadi kesaksian besar yang mendobrak narasi mapan terhadap perempuan PKI yang direkayasa dalam film Pengkhianatan G30S/PKI, penyajiannya hambar.
Meski belum ditayangkan untuk umum di Indonesia, You and I telah menyabet penghargaan tertinggi dalam DMZ International Documentary Film Festival di Korea Selatan, akhir September lalu. You and I meraih Asian Perspective Award, yang merupakan gelar bagi film terbaik. “You and I menyentuh dan mendalam tanpa memaksakan diri pada subyek, serta menunjukkan kekuatan humanis yang luar biasa di genre dokumenter,” demikian komentar juri.
•••
CERITA Kaminah dan Kusdalini pertama kali muncul dalam buku foto yang dikerjakan fotografer Adrian Mulya dan penulis Lilik H.S. pada 2014-2015. Buku berjudul Pemenang Kehidupan itu diluncurkan dan dipamerkan pada Desember 2015 dalam pergelaran Museum Rekoleksi Memori, sebuah museum temporer untuk memperingati kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu yang tak kunjung terungkap. “Saya berkeliling Jawa hingga Palu untuk bertemu dengan mbah-mbah penyintas peristiwa 1965,” ujar Adrian Mulya lewat wawancara telepon.
Foto Adrian menampakkan Kaminah dan Kusdalini berangkulan hangat dengan kepala saling bersandar dalam nuansa hitam dan putih. Mereka mengenakan blus berkancing yang serupa. Foto itu dilengkapi narasi ringkas tentang latar belakang “Ibu Kembar”, begitu mereka dijuluki.
Kaminah berusia 17 tahun saat diangkut korps Resimen Para Komando Angkatan Darat karena turut dalam kegiatan sinoman dan kesenian Pemuda Rakyat, organisasi sayap PKI. Kusdalini, yang empat tahun lebih tua, pintar berbahasa Inggris dan Jerman, serta gemar bernyanyi, lalu ditangkap karena tergabung dalam kelompok paduan suara Gita Patria milik Pemuda Rakyat. Kaminah dipenjara tujuh tahun. Mula-mula dia ditahan di Balai Kota Solo, lalu di kamp tahanan di Jalan Slamet Riyadi. Kusdalini menghabiskan waktu dua tahun, juga di kamp tahanan. Di sana mereka berkenalan dan menjalin persahabatan.
Setelah keluar dari penjara, Kusdalini tinggal bersama neneknya. Sementara itu, Kaminah ditolak keluarganya. Nenek Kusdalini kemudian mengajak Kaminah tinggal bersama mereka karena mengetahui keakraban Kaminah dengan cucunya. Mereka membantu sang nenek berjualan soto dan gado-gado. Ibu Kembar terus menempati rumah kecil berdinding kayu milik nenek Kusdalini setelah sang nenek berpulang.
Kusdalini dan Kaminah di Jogja, sekitar tahun 1980an. Dok. Pribadi
Adrian dikenalkan kepada Ibu Kembar oleh anggota Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Rini Pratsnawati. Setelah memasuki era reformasi, Elsam mulai bekerja untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dengan menelusuri jejaring korban dan penyintas. Saat itu, Rini baru mengetahui bahwa ayahnya juga penyintas. “Ayah saya pimpinan kelompok paduan suara yang diikuti Kusdalini,” kata Rini kepada Tempo.
Solo adalah salah satu kota dengan jumlah tahanan politik terbanyak. Rini menyebut angkanya mencapai ribuan. Hanya ada lima kecamatan di Solo, tapi terdapat 21 kamp tahanan atau kantor yang dijadikan penampungan tahanan politik 1965. Jembatan Bacem yang melintang di atas Sungai Bengawan Solo menjadi salah satu lokasi paling berdarah tempat para jagal membantai dan membuang mereka yang dituduh simpatisan PKI.
Sebagai sesama orang Solo, Rini cukup sering menyambangi rumah Kaminah dan Kusdalini. Pada 2005, Rini memulai inisiatif Tutur Perempuan yang mempertemukan perempuan korban tragedi 1965 yang tinggal di sekitar Solo untuk bertukar cerita dan saling memberikan dukungan. Ibu Kembar termasuk yang aktif datang dalam pertemuan itu. “Mereka ingin diakui sebagai warga biasa yang hak-haknya sama dengan warga negara lain. Juga agar negara mengakui bahwa mereka adalah korban, bukan pelaku,” ucap Rini.
•••
SETELAH buku Pemenang Kehidupan diterbitkan, inisiator Museum Rekoleksi Memori, Yulia Evina Bhara, menawari jejaringnya membuat bentuk karya lain agar kesaksian para penyintas terus terdokumentasi. “Kita bertanggung jawab memberikan ruang untuk menyuarakan suara para perempuan ini. Jika tidak, memori mereka akan hilang tanpa sempat dicatatkan,” tutur Yulia.
Fanny Chotimah, yang juga tinggal di Solo dan rutin berjumpa dengan Kaminah dan Kusdalini, mengajukan diri untuk membuat film dokumenter. “Fanny datang rutin, membawakan makanan dan makan siang bersama mereka, mendengarkan cerita Simbah Kembar. Dia jatuh cinta pada persahabatan dan daya juang mereka,” ujar Yulia.
Fanny tak punya riwayat menjadi sutradara film. Namun dia sudah merasakan kedekatan dengan Kusdalini dan Kaminah sedari pertama kali bertemu. Sejak awal, perempuan kelahiran 1983 itu memilih berkenalan dan membuat kedua mbah tersebut nyaman dengan dirinya dulu sebelum datang dengan kamera. Memulai proyek pada 2016, baru pada 2017-2018 dia intens mengambil gambar. Fanny juga menjaga agar tim yang terlibat kecil saja, terdiri atas tiga orang. “Demi menjaga keintiman kami, jangan sampai banyak orang dan banyak alat,” kata Fanny saat ditemui di Solo.
Fanny Chotimah, sutradara You and I. TEMPO/Dinda Leo Listy
Pengambilan gambar diupayakan sealami mungkin. Tak ada bantuan lampu dan hanya satu-dua kamera yang digunakan. Syuting dilakukan dua-tiga kali dalam sebulan sesuai dengan kebutuhan. Namun Fanny lebih sering datang sekadar untuk bermain hingga dia merasa memiliki hubungan batin dengan Kusdalini dan Kaminah. Pernah Fanny merasa harus datang malam-malam ke rumah itu dan menemukan Kaminah sedang mengalami sesak napas dan terkena serangan jantung. Dia segera membawa Kaminah ke Rumah Sakit Kasih Ibu. “Setelah Mbah Kus sakit, saya lebih berkonsentrasi untuk merawat mereka berdua. Timku ikut bantu pasang popok, ganti baju, dan lain-lain. Kebetulan semua kru perempuan,” ucapnya.
Mengikuti Mbah Kam dan Mbah Kus selama bertahun-tahun, Fanny merasakan stigma negatif masih terus membayangi kedua perempuan itu sekalipun telah dibebaskan dari tahanan. Kusdalini, yang aktif dan pintar, tak pernah bisa meneruskan sekolah karena tanda “ET” alias eks tapol pada kartu tanda penduduknya. Saat pengambilan gambar, keduanya juga menolak kamera mengikuti mereka dalam agenda-agenda sosial, seperti kegiatan pemberdayaan kesejahteraan keluarga (PKK) atau pos pelayanan terpadu lansia. “Sebetulnya mereka aktif ikut PKK dan aktif bersosialisasi dengan warga sekitar. Tapi mereka enggak mau disyuting saat itu karena merasa akan susah menjelaskan kepada orang lain kenapa disyuting,” ujar Fanny.
Jika September tiba dan berita tentang peristiwa 1965 yang “digoreng” mulai bermunculan, Kaminah selalu menulis surat kepada Fanny untuk mengingatkan agar berhati-hati dan tidak datang ke rumah mereka dulu. “Mereka masih merasa takut akan terjadi apa-apa pada saya,” ucap Fanny. “Padahal saya sendiri sudah mengambil risiko sejak masuk ke kehidupan mereka. Apa pun akan saya jalani.”
Keintiman timbal balik ini terasa betul sepanjang film. Yulia mengungkapkan, dia tak dapat membayangkan jika film tersebut disutradarai laki-laki. Kru film ini sebagian besar perempuan, dari produser, sutradara, kamerawan, hingga perekam suara. “Saya dan Amerta Kusuma sangat mendambakan bekerja sama dengan sutradara perempuan. Fanny adalah orang yang tepat karena ia benar-benar mencintai Simbah Kembar bukan hanya sebagai pembuat film dan subyek, tapi juga sebagai teman baik.”
Kaminah dan Kusdalini meninggal sebelum sempat menonton film ini secara utuh. Kusdalini berpulang lebih dulu pada 2017, meninggalkan Kaminah dalam kekosongan perih hingga menyusul setahun kemudian. Mereka dimakamkan berdampingan di Taman Pemakaman Umum Pracimaloyo, Sukoharjo, Jawa Tengah.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA, DINDA LEO LISTY (SOLO)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo