Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMASUKI pukul 7 malam, mulai muncul figur-figur aneh. Tiga sosok dengan tubuh kaku menghadap depan muncul di papan tulis. Bidang hitam papan tulis menjadi sebuah efek. Separuh badan dan muka hitam sosok tersebut terbuat dari dasar hitam papan. Memasuki pukul 7 malam itu juga mulai digunakan kapur-kapur warna. Dengan punggung kapur biru, Ugo Untoro membarut separuh latar belakang menjadi samar-samar biru. Sebuah garis batas horizontal tegas ia ciptakan—membiarkan latar bawah tetap hitam papan. Ugo mengambil kapur merah dan pada bagian atas menciptakan gumpalan-gumpalan seperti arakan awan merah-cokelat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ugo merokok, lalu menatap lukisannya. Ia lantas menghilang beberapa saat. Penonton di rumah melihat papan bergambar itu ditinggalkan sendirian. Tapi jeda menunggu itu seolah-olah sebuah intermeso yang suci. Tatkala muncul lagi, Ugo kembali menggambar di papan hitam kosong. Demikian adegan itu dilakukan mulai pukul 2 siang hingga berakhir teng pukul 12 malam. Ugo menyiarkan secara live melalui Zoom seluruh aksinya—termasuk jeda-jedanya. Tak ada selingan scene apa pun, seperti wawancara kurator, iklan galeri, testimoni pengamat, atau penjelasan dari dia sendiri. Agaknya, yang genit-genit demikian dihindari. Ugo tampak ingin menyajikan semuanya apa adanya—tanpa dibuat-buat, mengalir atau tidak terserah—karena ini bukan seni pertunjukan yang penuh perhitungan dramaturgi. Kadang hanya ada musik atau berita dari radio menyeruak lamat-lamat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ugo Untoro melukis di atas papan tulis dalam siaran langsung Zoom bertajuk "Kesementaraan" di Museum Dan Tanah Liat, Yogyakarta, 26 September 2020. Museum Dan Tanah Liat/Dimas Wahyu Pramudya
Ugo tampak tahu betul watak kapur. Ia menghormati karakter kapur yang memang mudah terhapus sendiri. Ugo mengenal bagaimana sifat kapur apabila diusap dengan tangan atau dengan karet penghapus di bidang hitam. Kadang bidang hitam menjadi bentuk utama, sementara warna kapur hanya sebagai aksen penguat. Kemungkinan mewujudkan sebuah citraan dari dunia gosok-menggosokkan, hablur-menghablurkan, gores-menggoreskan kapur di atas papan hitam yang berbeda medannya dengan melukis cat minyak di atas kanvas atau cat air di atas kertas dihayati Ugo dengan baik. Kapur bahkan seolah-olah menjadi stimulus untuk meluapkan citraan-citraan dari alam subconsciousness-nya. Lapisan-lapisan gambar yang tadinya terpendam terbantu muncul dengan karakter kapur.
Dan makin malam, yang muncul adalah sosok yang makin tampak aneh dan diterjang oleh semacam alienasi. Antara figur satu dan lain yang hadir di papan-papan tulis—tentu tak berkesinambungan—membentuk sebuah narasi atau kisah. Namun semua sosok itu tampak ditalikan suatu emosi kesepian yang sama. Lihatlah bagaimana mula-mula Ugo menggores papan, menciptakan gambar barisan sosok orang telanjang meniti rel. Tiba-tiba, dengan kapur merah, Ugo menciptakan gambar siku dinding merah besar, menjadikan sosok-sosok orang berjalan di sepotong rel putus itu kini berada di dalam sebuah ruangan besar. Ugo menggambar seseorang bersandar di dinding, seolah-olah terperenyak (atau terkapar) menyaksikan pemandangan ganjil itu.
Ugo ingin berbicara soal kesementaraan. Mungkin ini seperti pandangan buddhis yang menganggap keabadian hanyalah sesuatu yang semu. Kita tahu rahib-rahib Tibet sering membuat gambar mandala di lantai dengan materi pasir aneka warna. Mandala itu dibuat berbulan-bulan secara teliti dengan konfigurasi ornamen yang rumit. Namun, ketika lukisan itu selesai perfek, kesempurnaan tersebut langsung diserakkan. Tindakan itu dilakukan demi memetaforakan bahwa sesungguhnya segala sesuatu adalah nisbi. Sesungguhnya, semuanya akan musnah.
Memang, bagian yang paling menarik dari Ugo adalah ketika di sebuah papan tulis ia menghapus semua figur gambarnya yang sudah jadi. Misalnya gambar orang-orang meniti rel tadi, yang ia gosok hingga hilang dan kabur—menjadi seperti gumpalan kabut atau uap merah. Kemudian di atas kabut itu ia menggambar sesosok punggung laki-laki dengan posisi tangan seperti terikat ke belakang. Kedua tangannya lalu diberi warna biru.
Tapi tidak selalu apa pun yang muncul ia hapus. Kalau memang mengelak untuk dihapus, gambar itu ia pertahankan. Keputusan menghapus atau tak menghapus itu mungkin terjadi saat kita melihat Ugo mundur di tengah-tengah proses menggambar, duduk termenung menatap papan. Mungkin pada momen itu muncul kelebatan-kelebatan dalam dirinya. Terasa manusiawi sekali adegan itu. Kita menatap momen personal seorang pelukis di dalam studio. Sebuah momen diam. Sepanjang proses sendiri, Ugo sama sekali tak berbicara. Ia hanya mengisap sebatang rokok, minum seteguk, pernah pula sekali membuka-buka komik. Entah komik siapa. Mungkin Teguh Santosa.
Kita melihat dialektika bidang hitam dan torehan kapur juga menjadi semacam permainan bayang-bayang tatkala di papan tulis muncul sosok dua perempuan kurus berwajah pucat duduk dengan posisi kedua kaki ditekuk. Kita melihat separuh bagian paha kaki perempuan yang lebih panjang dari tubuhnya menampilkan permainan gelap-terang. Terasa permainan itu menampilkan suasana keasingan tertentu. Kembali warna dasar hitam papan tulis menyumbangkan kekuatan dalam gambar Ugo.
Menjelang jam-jam akhir, muncul di papan tiga sosok dengan proporsi potongan tubuh berbeda. Sesosok kepala, badan sampai pinggang, dan seseorang dengan tubuh lengkap berdiri. Kamera meng-close-up muka dan mata setiap kepala itu. Ada kesan tatapan mata sarat pertanyaan. Ugo terus-menerus melakukan pemiuhan kepada tiga potongan tubuh itu, menjadikan ketiganya terjalin dalam suatu komposisi.
Ugo Untoro dalam siaran Zoom Homage to Blackboards. hadiart platform
Sepuluh jam yang ditampilkan Ugo bukan suatu jenis sepuluh jam seni pertunjukan yang menonjolkan ketahanan tubuh atau stamina. Ugo menghindar dari label demikian. Kadang, saat jeda, ia terasa lama menghilang—kita jadi menduga, jangan-jangan ia kecapekan. Di saat-saat itu, kita dibawa kepada situasi bahwa pekerjaan menunggu adalah perlu. Ugo mungkin menghadirkan jeda sebagai bagian dari fakta kenisbian. Dengan aksinya ini, Ugo seperti mengingatkan kita akan sajak Sapardi Djoko Damono, “Yang Fana Adalah Waktu”, bahwa apa pun akan terhapus. Tinggal waktu yang menentukan. Mungkin seketika terhapus atau menunggu beberapa menit. Atau pelan-pelan meluntur sebelum benar-benar hilang.
“Dalam kesepakatan, hasil akhir gambar di papan juga akan dihapus. Tak ada yang dijual. Yang abadi hanya foto dan rekaman kamera,” kata Irawan Hadikusumo, pemilik galeri asal Surabaya yang turut memprakarsai acara ini. Tiga kamera dipakai untuk merekam aksi yang dilakukan Ugo di Museum Dan Tanah Liat—studio milik Ugo di Yogyakarta. Acara yang diselenggarakan pada Sabtu, 26 September lalu, itu juga sengaja tidak dipromosikan besar-besaran sebagaimana pameran lain. Tiba-tiba, pada Sabtu pagi itu beredar kabar lewat WhatsApp bahwa pada pukul 2 siang akan ada aksi Ugo yang disiarkan melalui Zoom.
Walhasil, pertunjukan live exhibition lewat Zoom ini menjadi menarik lantaran seperti sebuah kejutan. Dari nama-nama penonton yang terlihat masuk ke Zoom, kita melihat nama pelukis, kritikus, pemilik galeri, kolektor, kurator, dan wartawan. Mereka silih berganti datang. Ada yang cuma melongok; ada yang sejam bertahan, menghilang, lalu selepas magrib muncul lagi; ada pula yang bertahan terus sampai dinihari. “Kami mencatat lebih dari 300 partisipan yang lalu-lalang di Zoom,” ujar Irawan. Live exhibition Ugo ini boleh dibilang mencuri perhatian di kala segala jenis kesenian, dari teater sampai tari dan seni rupa sendiri, masih mencari-cari cara memanfaatkan YouTube atau Zoom. Hapus-menghapus gambar kapur 10 jam yang tak membosankan itu orisinal.
SENO JOKO SUYONO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo