Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAKIL Ketua DPR Zaenal Ma’arif mengetukkan palu sidang tiga kali, menutup Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat tentang interpelasi nuklir Iran, awal Juli lalu. Sebelumnya, selama dua jam penuh, ia jumpalitan menjinakkan anggota Dewan agar menerima penjelasan pemerintah. ”Mungkin ini sidang paripurna terakhir yang saya pimpin,” katanya. Sejumlah politikus yang sedang sibuk berdiskusi kanan-kiri terdiam. Zaenal lalu meminta maaf atas semua kesalahannya selama ini. ”Saya pamit,” katanya pelan.
Banyak orang mengira saat itu Zaenal sudah menyerah, menerima keputusan pemecatan dari partainya, Partai Bintang Reformasi. Namun mereka keliru. Kurang dari sebulan kemudian, politikus asal Solo, Jawa Tengah, ini menyerang balik. Kepada Tempo, pekan lalu, dia menuding ada konspirasi di balik pergantian antarwaktu atas dirinya. ”Ini politis,” katanya ketus. Ia lalu mengangkat lagi isu lama seputar kehidupan pribadi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Zaenal berang karena pemberhentian dirinya dari DPR dinilainya menyimpan cacat. Pertama, Surat Ketua DPR Agung Laksono yang meminta Komisi Pemilihan Umum memproses penggantian dirinya, Juni lalu, ”Dibuat tanpa mekanisme rapat pimpinan,” kata Zaenal. Sebagai protes, dua hari setelah surat Agung dikirim, tiga wakil Ketua DPR—Muhaimin Iskandar (Partai Kebangkitan Bangsa), Soetardjo Soerjogoeritno (PDI Perjuangan), dan Zaenal sendiri—mengirim surat lain, meminta KPU mengabaikan surat Agung.
Zaenal juga menuding Presiden Yudhoyono melanggar undang-undang partai politik dengan menyetujui permintaan Komisi Pemilihan Umum mengganti dirinya. Menurut dia, sebuah partai yang bersengketa berada dalam keadaan status quo. ”Jadi, permintaan penggantian anggota DPR pun harus menunggu putusan hukum.” Saat ini, soal gugatan Zaenal versus pengurus PBR sedang disidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Zaenal mengungkit kasus serupa yang pernah terjadi di Sumatera Selatan. Pada Januari lalu, permintaan pergantian antarwaktu anggota DPRD Sumatera Selatan ditolak Departemen Dalam Negeri karena menunggu keputusan pengadilan. ”Itu kan bisa jadi patokan,” kata Zaenal.
Namun kubu seberang punya argumentasi lain. Sekretaris Negara Hatta Rajasa menegaskan bahwa persetujuan Presiden atas usul pergantian Zaenal Ma’arif hanya proses administrasi kenegaraan biasa. ”Presiden tidak dalam kapasitas menyetujui atau menolak,” katanya dalam konferensi pers di Istana Merdeka, pertengahan Juli lalu.
Penjelasan Hatta dibenarkan Agung Laksono. ”Wewenang mengganti anggota DPR ada di partai politik,” kata Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini. ”Pimpinan DPR, Komisi Pemilihan Umum, dan Presiden hanya meneruskan.”
Namun, jika ada dua kubu yang bertikai dalam satu partai, siapa yang berhak mengajukan permintaan recall? ”Kami berpatokan pada kepengurusan partai yang diakui di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia,” kata Agung kepada Tempo, pekan lalu. Saat ini, Ketua Umum PBR yang tercatat di Departemen Hukum memang bukan Zaenal Ma’arif, melainkan Bursah Zarnubi, seterunya yang terpilih dalam Muktamar PBR di Bali, April tahun lalu.
Denny Indrayana, pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, menilai tidak ada yang salah dari pergantian Zaenal. ”Justru kalau Presiden ikut menilai absah-tidaknya sebuah permintaan recall, itu berarti ada intervensi,” katanya. Denny menunjuk keputusan Mahkamah Konstitusi pada Oktober tahun lalu, atas judicial review yang diajukan Joko Edhi Soetjipto Abdurrahman, politikus Partai Amanat Nasional yang juga dipecat. ”Saat itu Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa wewenang recall ada di partai politik,” kata Denny.
Walhasil, peluang menang Zaenal kini menipis. Apalagi naga-naganya Mahkamah Agung juga tak mau bersentuhan dengan konflik internal partai semacam ini. ”Ada yurisprudensi pada 2001 yang menegaskan bahwa sengketa partai tidak bisa diadili,” kata juru bicara MA, Djoko Sarwoko. Penyelesaian konflik partai, kata Djoko, sebaiknya mengacu pada konstitusi tertinggi partai itu, yakni anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. ”Jadi, itu ya urusan mereka sendiri,” katanya ringan.
Wahyu Dhyatmika
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo