Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suasana di ruang pertemuan di lantai satu Museum Perang dan Hak Asasi Manusia di Seoul, Korea Selatan, riuh oleh 19 jurnalis dari 19 negara yang berdiskusi setelah selesai berkeliling museum. Mendadak suasana di ruang itu berubah hening. Perhatian terfokus pada sejumlah foto potret wajah para perempuan uzur hasil jepretan Ahn Sehong, fotografer asal Korea. Mereka berasal dari sejumlah negara di sekitar Asia-Pasifik.
"Lebih dari 20 tahun saya mendokumentasikan mereka. Tiga bulan lalu saya ke Indonesia. Saya bertemu dengan mereka dan memotret mereka," kata Ahn Sehong kepada Maria Rita Hasugian dari Tempo, yang mewawancarainya seusai diskusi pada 18 November 2014.
Karya-karya Ahn telah beberapa kali dipamerkan, baik di Korea, Jepang, maupun sejumlah negara lain. Beberapa sosok perempuan uzur yang dipotretnya sudah meninggal. Kaki Ahn yang tidak sempurna sejak kecil tak mengurangi niatnya untuk terus mencari informasi hingga ke pelosok desa dengan akses transportasi terbatas. Berikut ini petikan wawancara dengan Ahn yang kemudian dilanjutkan via surat elektronik.
Bagaimana sampai Anda tertarik pada isu comfort women?
Berawal dari 20 tahun lalu. Saat itu saya untuk pertama kali mengikuti acara kesaksian yang digelar setiap Rabu (Wednesday rally). Saya juga menjadi sukarelawan di House of Sharing (rumah bagi para comfort women—di Indonesia dikenal sebagai jugun ianfu—saat ini jumlah mereka tinggal sembilan orang dengan usia berkisar 85-92 tahun). Selama tiga tahun menjadi sukareÂlawan, saya kemudian berpikir isu ini harus disuarakan kepada masyarakat dunia, tidak hanya di Korea. Masyarakat internasional tidak mendapat informasi tentang isu ini dengan baik. Lalu, pada 2001, saya mulai berfokus mencari tahu keberadaan para wanita Korea di Cina yang dulu dijadikan comfort women dan tidak dapat kembali ke negaranya. Saya berfokus mendokumentasikan mereka.
Sudah berapa negara yang Anda kunjungi untuk mencari korban comfort women?
Lima-enam negara. Saya bertemu dengan sekitar 100 perempuan (Ahn lalu menunjukkan foto-foto tentang perempuan yang ditemuinya di Indonesia, Filipina, dan Timor Leste).
Anda ke Indonesia? Kapan dan ke mana saja?
Pada Juni 2014, saya telah menyelesaikan riset awal mendokumentasikan korban comfort women di Cina (25 orang), Korea Selatan (6 orang), Filipina (8 orang), Indonesia (15 orang), dan Timor Leste (8 orang). Saya ke Indonesia pada Agustus 2014, mulai tanggal 18 sampai 26. Saya bertemu dengan dua perempuan di Sukabumi. Di Makassar, Sulawesi Selatan, dan satu tempat sekitar 100 kilometer dari situ, saya bertemu dengan 13 perempuan comfort women.
Bagaimana Anda dapat menemui Âmereka?
Saya dibantu aktivis setempat yang mengetahui isu ianfu. Saya lalu menghubungi para korban melalui bantuan mereka.
Apakah ada perbedaan antara korban di Indonesia dan di negara lain?
Saya melihat ada perbedaan dalam hal cara mereka direkrut. Setiap negara ada perbedaan. Di Korea, kebanyakan perempuan diancam dan dibawa pergi untuk dipekerjakan di pabrik. Di Cina, mereka diculik dari ladang atau desanya, lalu dibawa ke tempat pertempuran. Mereka lebih mirip korban kekerasan seksual di daerah konflik. Di Indonesia dan Timor Leste, para perempuan diculik oleh pasukan Jepang dan dibawa ke tangsi militer. Mereka (pasukan militer Jepang) mencari perempuan-perempuan muda di desa-desa. Lebih detail untuk Indonesia, para anggota pasukan itu disuplai kondom. Anak-anak perempuan belia diambil dari pelosok-pelosok desa. Mereka bahkan belum mengalami menstruasi dan dipaksa melayani pasukan Jepang.
Jepang menolak menyatakan maaf secara terbuka. Bagaimana reaksi para korban yang Anda temui?
Ya, perempuan-perempuan ini sangat marah. Saya bertanya kepada mereka apa yang mereka inginkan dari Jepang. Mereka menuntut permintaan maaf resmi dari Jepang. Mereka juga meminta dukungan dan bantuan dari pemerintah Jepang untuk kehidupan mereka, misalnya bantuan kesehatan.
Anda sekarang tinggal di Jepang?
Ya. Sejak empat tahun lalu, saya tinggal di Nagoya, Jepang, sebagai fotografer. Saya mengerjakan proyek yang saya sebut JUJU Project, yang mendokumentasikan korban ianfu di Asia-Pasifik, dan mengadakan pameran untuk publik. JUJU dalam bahasa Jepang berarti selapis demi selapis. Saya akan terus mempublikasikan mereka hingga ada penyelesaian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo