Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kisah Biba dari Balik Lensa

Fotografer lepas Korea Selatan, Ahn Sehong, blusukan menelusuri jejak jugun ianfu di beberapa pelosok Indonesia.

19 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mata lelaki berkacamata itu tak berpaling. Ia memperhatikan dengan cermat bagaimana Biba, perempuan yang menginjak usia 84 tahun, berbicara dengan terpatah-patah. Kadang nada suaranya pelan sulit terdengar, sesekali meninggi.

Lewat serangkaian cerita, ingatan lelaki itu dibawa terbang ke puluhan tahun silam, saat Biba masih remaja. Saat itu awal 1940-an, ketika tentara Jepang menduduki Indonesia pada masa Perang Dunia II.

"Sebelumnya hidup kami damai. Tapi semua berubah saat Jepang datang. Pemuda-pemuda kampung direkrut jadi tentara Jepang. Kami, yang perempuan, dikumpulkan, dijanjikan akan dipekerjakan jadi pembantu, tukang cuci," ujar Biba mengenang. "Tapi ternyata dijadikan budak. Diperkosa bergantian, setiap hari."

Lelaki itu tak bisa menahan emosinya. Ia melepas kacamata beningnya, menyeka pipinya yang basah. "Saya bisa dengan jelas merasakan rasa sakit mereka, rasa yang mereka bawa puluhan tahun," katanya.

Lelaki itu Ahn Sehong. Ia fotografer lepas asal Korea Selatan. Lebih dari 20 tahun ia berfokus memotret isu perbudakan seksual militer Jepang masa Perang Dunia II.

l l l

Pada pertengahan Agustus 2014, Ahn Sehong mengunjungi Indonesia. Ia berkunjung ke Makassar dan Sukabumi, Jawa Barat, untuk bertemu dengan para korban budak seks militer Jepang atau jugun ianfu. Selama enam hari ia di Makassar dan sekitarnya serta dua hari di Sukabumi. Waktu yang singkat itu digunakannya lebih banyak untuk menggali informasi tentang pengalaman korban.

Kesempatan berkunjung ke Indonesia terbuka ketika Ahn Sehong menghadiri Konferensi Solidaritas Asia untuk Masalah Perbudakan Seksual Militer Jepang pada awal Juni 2014. Dalam konferensi yang berlangsung mulai 31 Mei hingga 6 Juni 2014 itu, ia mendengarkan pembicara bernama Darmawi Haladjama sebagai Ketua Forum Komunikasi Ex Heiho Indonesia. Pria 62 tahun ini menjelaskan, Forum Komunikasi Ex Heiho Indonesia menaungi para eks Heiho dan perempuan jugun ianfu.

Forum ini mendata ada 25.016 perempuan korban jugun ianfu di sejumlah provinsi. Data ini pun sudah diberikan kepada pemerintah Jepang. Dalam perjalanan, sebagian besar korban telah meninggal. "Sekarang jumlah korban yang hidup sekitar 3.000 orang," kata Darmawi.

Para korban berjuang menuntut Jepang meminta maaf secara resmi dan membayar kompensasi kepada setiap korban. Jepang memberikan kompensasi pada 1997 sebesar Rp 380 juta melalui pemerintah Indonesia (Kementerian Sosial), tapi kabarnya tidak pernah sampai ke ­korban.

Penjelasan Darmawi di panggung memancing ketertarikan Ahn Sehong. Turun dari panggung, ia menghampiri Darmawi. "Saya akan datang ke tempat Anda," ujarnya kepada Darmawi. Hingga akhirnya satu sore pertengahan Agustus 2014, Ahn Sehong menginjakkan kaki di Bandar Udara Hasanuddin, Makassar. Penerbangan dari Tokyo-Bali-Makassar membuatnya agak kelelahan. Ini perjalanan pertamanya ke Indonesia. Perjalanan ini untuk melanjutkan misinya memotret sejarah perbudakan seksual pasukan militer Jepang yang tersimpan di sejumlah negara.

"Saya tidak menyangka Ahn Sehong secepat itu datang," kata Darmawi. Ahn Sehong dan Darmawi beserta putri bungsunya yang berperan sebagai penerjemah kemudian memulai perjalanan panjang menelusuri pelosok desa di Kabupaten Takalar, Kabupaten Pangkep, dan Enrekang, serta di Kota Makassar.

l l l

Biba adalah satu dari tujuh perempuan jugun ianfu yang ditemui Ahn Sehong di Sulawesi Selatan. Ia tinggal bersama keluarganya di desa terpencil di Kecamatan Polong Bangkeng, Kabupaten Takalar. Butuh dua jam berkendaraan mobil dari Takalar untuk tiba di desa itu. Biba hidup di sebuah rumah panggung seperti umumnya bangunan di desa itu.

Perlahan Biba membuka diri untuk bercerita lebih detail. Selama ini ia menutupinya karena khawatir atas anggapan miring masyarakat tentang jugun ianfu yang dikonotasikan sebagai prostitusi. Saat itu, ia menuturkan, pertengahan 1942. Usianya menginjak 15 tahun. Pada suatu hari ia dijemput paksa tentara Jepang di kampungnya. Ia dinaikkan ke atas truk bersama belasan gadis desa lainnya, lalu dibawa ke sebuah tempat penampungan. Tempat penampungan itu seperti rumah terbuat dari bambu dan kayu. Biba ditempatkan di sana bersama sejumlah perempuan dari desa lain. Di rumah itu, selama sekitar tiga tahun, ia menjadi budak seksual militer Jepang.

"Tentara datang memerkosa siang dan malam. Bergantian. Kalau tidak mau disiksa, diancam dibunuh. Orang Jepang pegang pedang dan tembak (pistol) pendek," kata Biba. "Janji dikasih kerja itu tidak ada. Tidak dikasih uang. Makan juga susah."

Di satu desa terpencil di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, Ahn Sehong kembali terpaku penuh haru. Perbudakan seksual militer Jepang ternyata merambah hingga desa terpencil, yang pada 1940-an mungkin tak terpikirkan oleh penduduk setempat kedatangan orang asing.

Satu hari, perempuan itu menyaksikan semua penduduk diperintahkan mengambil batu dari sungai. Para tentara Jepang, kata perempuan 85 tahun itu, akan mendirikan asrama di dekat desa. "Saya waktu itu berusia 14 tahun," ia menuturkan kepada Ahn Sehong. Ternyata anak-anak seusianya pun diharuskan ikut mengambil batu dari sungai.

Setiap hari ia bekerja. Hingga suatu hari pasukan Jepang melarangnya pulang ke rumah. "Saya diperkosa dan sejak itu saya dipaksa melayani mereka," ia menjelaskan dengan suara terbata-bata.

Selama enam hari di Makassar, Ahn Sehong setiap hari berjalan dengan jarak tempuh puluhan bahkan ratusan kilometer dari Makassar untuk menemui para korban. Ia tak kecewa ketika ada korban yang ditemuinya menolak berbicara terbuka. Penolakan korban mengungkap masa lalunya harus ia hormati. "Saya tidak dapat memaksa mereka bersaksi," ujarnya. Ia biasanya menjadwalkan untuk kembali menemui korban saat mereka siap membuka diri.

"Jadi fotografi selalu yang terakhir saya lakukan," kata Ahn Sehong, menjelaskan cara kerjanya. Foto-foto korban umumnya berupa potret wajah dengan ekspresi yang alami dan menyentuh rasa kemanusiaan. Ahn Sehong menolak mengarahkan korban setiap kali melakukan pemotretan. Ia membiarkan semuanya berjalan wajar.

Melalui foto, Ahn Sehong berharap dapat menggugah masyarakat di berbagai negara untuk peduli terhadap isu perbudakan Jepang di masa Perang Dunia II, yang menurut dia kurang diperhatikan.

Ahn Sehong pun kagum pada daya ingat para korban perbudakan seksual pasukan militer Jepang. Kekejaman pasukan Jepang ternyata begitu membekas dalam benak mereka. Para korban berusia uzur yang ditemuinya di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, mampu menjelaskan dengan detail peristiwa pahit yang dialaminya.

Mereka umumnya masih sangat marah kepada Jepang, tapi tak berdaya melawan. Perasaan yang lama terpendam itu berdampak pada mental korban yang terguncang tak stabil saat mereka memberikan kesaksian.

Maria Rita Hasugian, Aan Pranata (Makassar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus