Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kisah Museum Perlawanan Jugun Ianfu

DUA museum didirikan di Korea Selatan untuk merekam setiap fakta tentang perbudakan seksual yang dialami perempuan-perempuan Korea oleh pasukan militer Jepang pada masa Perang Dunia Kedua. Kisah para comfort women atau di Indonesia dikenal sebagai jugun ianfu tersebut disajikan tanpa tedeng aling-aling. Hal itu membuat masyarakat Korea Selatan sadar dan lalu ikut bergabung dengan korban jugun ianfu Korea yang masih hidup melakukan aksi setiap Rabu siang di depan Kedutaan Besar Jepang. Pertengahan November 2014, Tempo berkesempatan mengunjungi museum itu dan bertemu dengan fotografer lepas Ahn Sehong, yang potretnya tentang para jugun ianfu di seluruh Pasifik banyak dipamerkan di museum tersebut.

19 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Der-der-der…." Terdengar bunyi rentetan tembakan beruntun ditingkahi suara derap kaki mirip pasukan tentara berjalan bergegas. Bunyi rentetan tembakan itu menggambarkan situasi perang. Pengunjung Museum Perang dan Hak Asasi Manusia di Distrik Mapo-gu, Seoul, Korea Selatan, seolah-olah disadarkan atas tujuan kunjungan mereka ke museum ini.

Bersamaan dengan bunyi rentetan tembakan, pengunjung disuguhi lukisan tiga dimensi beberapa wajah perempuan tua di dinding basement. Lukisan wajah itu sebesar wajah manusia. Wajah-wajah perempuan tua itu seperti menahan rasa sakit. Samar-samar ada lukisan bayangan remaja putri di dekat lukisan tersebut.

Tempo bersama 18 jurnalis asing lainnya menelusuri museum ini pada 18 November 2014. Kegiatan ini sebagai rangkaian acara yang diadakan TV Arirang dalam programnya mengundang jurnalis internasional berkunjung ke Korea.

Museum dua lantai yang letaknya di pojok jalan ini mendokumentasikan sejarah perempuan Korea yang dipaksa sebagai budak seksual pasukan militer Jepang pada Perang Dunia II. Ada sekitar 100 ribu perempuan Korea jadi korban perbudakan seksual pasukan Jepang atau disebut sebagai comfort women. Di Indonesia dikenal sebagai jugun ianfu.

Foto korban comfort women berukuran kecil diletakkan di dinding-dinding vertikal (stairwall) penghubung basement dan lantai dua. Pesan para korban diukir di dinding batu menggunakan bahasa Inggris dan Korea: "I am the very evidence ­alive. Why does Japan say they have no evidence?", "Has bitter a life, I Shall Live!", " Bring My Youth Back!".

Di satu pojok, ada ruang untuk mendengarkan rekaman kesaksian korban. Ada video disediakan untuk menyajikan peristiwa dan sosok para korban kekejaman pasukan Jepang. Ruangan ini ditata dengan apik sehingga plot cerita yang disajikan mudah dipahami. Rakyat Korea menghormati para korban dengan menyebut mereka "halmoni" atau "nenek" dalam bahasa Indonesia.

Di lantai dua, sejarah panjang kekejaman perbudakan Jepang dihadirkan di sini. Sejumlah bukti otentik dan salinan dokumen disusun rapi di dalam ruang kaca. Dokumen berupa surat-surat dan foto digantungkan di dinding berlapis kaca.

Di satu bilik kecil terdapat peta tentang luasnya praktek perbudakan seksual Jepang. Peta menggambarkan nama negara tempat pasukan Jepang membangun comfort station atau barak tempat memuaskan nafsu seks. Misalnya Cina, Korea, Filipina, Myanmar, Malaysia, Thailand, Indonesia, dan Timor Leste.

Ada ruang khusus disediakan bagi pengunjung untuk mendengarkan rekaman perjalanan hidup korban. Foto dan data pribadi beberapa halmoni diletakkan di dinding berkaca. Ternyata perjalanan hidup korban perbudakan seksual Jepang yang disimpan di museum ini bukan hanya warga Korea. Tempo menemukan foto perempuan jugun ianfu asal Indonesia, Mardiyem, yang diletakkan di dinding kaca bersama enam korban lain.

Perempuan yang bercita-cita menjadi pemain sandiwara itu diculik pasukan Jepang dan dibawa ke Banjarmasin sebagai budak seksual pasukan Jepang. Mardiyem, seperti korban lain di sejumlah negara di Asia-Pasifik, menuntut pertanggungjawaban pemerintah Jepang. Namun perjuangannya harus berhenti selamanya. Pada 21 Desember 2007, Mardiyem meninggal pada usia 78 tahun. Warga Korea menghormatinya.

Di museum yang didirikan oleh Dewan Perempuan Korea pada 5 Mei 2012—bertepatan dengan Hari Anak— itu tersimpan semua dokumen sejarah perjuangan korban. Data ini diharapkan mampu menuntut Jepang.

Awal seluruh perjuangan korban comfort women di Korea ini terjadi pada Desember 1991. Ketika itu seorang korban, Kim Hak-soon, secara terbuka mengungkapkan peristiwa pahit yang dialaminya. Suatu beban yang disimpannya begitu lama karena dianggap tabu untuk dibuka kepada umum. Keberanian Kim Hak-soon kemudian menggerakkan para korban lain berbicara. "Kami harus merekam semua ini, apa yang terpaksa menimpa diri kita," begitu pesan Kim Hak-soon, yang menginspirasi berdirinya museum ini.

Bersamaan dengan waktu yang berjalan tanpa bisa dihentikan, ajal menjemput satu per satu korban. Saat ini, menurut Direktur Dewan Perempuan Korea, Yoon Mee-hyang, tinggal 53 orang yang bertahan hidup di Korea. Usia mereka 80-90 tahun. Mereka tinggal di rumah sendiri, rumah keluarga, dan ada yang memilih tinggal di tempat khusus yang disebut House of Sharing.

l l l

Hujan pada awal musim dingin menjelang pertengahan November 2014 membuat tubuh menggigil. Mobil yang membawa Tempo berhenti di depan bangunan berbentuk seperti lingkaran. Sepi. Tidak ada orang melintas di jalan. Jam sudah menunjukkan pukul 2 siang waktu itu. Butuh satu jam perjalanan dengan mobil dari Seoul ke Gwangju-si, Provinsi Gyeonggi-do, ke House of Sharing, tempat sembilan perempuan korban comfort women tinggal.

"Di sini mereka tinggal dan mendapat perawatan kesehatan dan makanan. Mereka sebagian besar tak memiliki kemampuan mengingat masa lalu dengan baik," kata Jeong Ho-cheol, relawan yang bekerja untuk Museum Perbudakan Seksual Militer Jepang. Museum dan House­ of Sharing berada dalam satu ka­wasan.

Museum yang dikatakan sebagai museum pertama dan satu-satunya di dunia yang mendokumentasikan perempuan dalam sejarah Perang Dunia II itu bentuknya lebih besar dan lebih lengkap dibanding Museum Perang dan HAM Perempuan di Seoul.

Museum yang didirikan atas sumbangan sukarela umat Buddha itu, menurut Jeong Ho-cheol, memuat antara lain rekaman profil korban comfort women, seperti foto korban dalam ukuran besar lengkap dengan testimoninya dan barang pribadi mereka yang disimpan dalam lemari kaca.

Benda-benda simbol kekejaman Jepang juga disimpan di museum ini, seperti uang khusus yang hanya berlaku di barak atau tempat perbudakan seksual itu terjadi (comfort station), tiket masuk, kondom, dan surat perintah komandan pasukan dari Jepang tentang cara merawat kesehatan setelah berhubungan seks dengan comfort women.

Saat menapaki tangga ke lantai bawah, ada sebuah replika kamar lengkap dengan basin besi dan dipan tanpa kasur. "Di kamar ini, perempuan comfort women melayani hingga 50 tentara Jepang setiap hari," kata Jeong Ho-cheol.

Di dinding museum yang berhadapan dengan replika kamar comfort women, terdapat foto-foto comfort station. Setiap negara memiliki tipe comfort station berbeda. Ada yang berbentuk rumah, ruko, atau bangunan barak. Di buku bertajuk The Museum of Sexual Slavery by Japanese Military, yang diproduksi oleh pengelola museum ini, tipe comfort station bergantung pada kapan, di mana, dan bagaimana pasukan ditempatkan.

Menurut Darmadi Haladjama, Ketua Forum Komunikasi Ex Heiho Indonesia, pasukan Jepang di Sulawesi Selatan umumnya membuat barak untuk tempat mereka menyekap para jugun ianfu.

Museum ini juga menyimpan karya seni korban, seperti lukisan yang digantungkan di dinding dan puisi korban yang disimpan dalam kotak-kotak kaca. Untuk menunjukkan solidaritas dan dukungan bagi korban, di lantai dua disediakan ruang buat berdoa dan hening bagi ­pengunjung.

Melintasi koridor menuju pintu keluar di lantai satu, di dinding berwarna perunggu berjajar rapi jejak telapak tangan korban comfort women. Di dinding lebih atas, jejak telapak kaki korban berwarna keemasan disimpan dalam bingkai kaca. "Itu jejak tangan dan kaki korban, itu ada nama mereka dalam bahasa Korea," Jeong Ho-cheol menjelaskan.

Di depan pintu utama House of Sharing, enam patung setengah badan para korban comfort women berdiri rapi menghadap jalan raya. Mereka semua sudah meninggal. Di bagian depan setiap patung terdapat penjelasan tentang nama dan profil singkat korban dalam bahasa Korea dan Inggris.

Melalui museum ini, Jeong Ho-cheol berujar, bangsa Korea memahami sejarah bangsanya di masa lalu yang belum selesai. Bahkan sejumlah korban dalam usia uzur masih berjuang menuntut pertanggungjawaban Jepang.

Dari dokumentasi yang tersimpan di museum ini, ia yakin comfort women merupakan kejahatan yang sistematis dilakukan penguasa Jepang pada masa Perang Dunia II.

l l l

Bukti tentang keterlibatan mantan pejabat top Jepang dalam isu comfort women diungkap oleh Grass Roots House Peace pada 27 Oktober 2011. Pihak Museum membuka dokumen bertajuk The Navy Air Base Second Construction Party setebal 25 halaman mengenai masa lalu mantan perdana menteri Yasuhiro Nakasone.

Semasa bertugas di Angkatan Laut Jepang, Nakasone pernah diberi tugas membangun bandar udara di Balikpapan. Ketika itu tahun 1942. Untuk menenangkan ratusan anak buahnya, ia mendirikan comfort station di Balikpapan. Ia kemudian mengambil perempuan-perempuan setempat sebagai pemuas nafsu seks anak buahnya. Nakasone dalam memoarnya yang terbit pada 1978 sebenarnya sudah menyinggung peristiwa ini.

Informasi yang disampaikan oleh Grass Roots House Peace Museum kemudian diberitakan oleh Asahi Shimbun pada 1 November 2011. Dan situs menampilkan berita Asahi Shimbun dalam laman satu lembaga nonpemerintah, www.internationalpeaceandconflict.org.

Ironisnya, Jepang berkukuh membantah semua fakta itu dengan membuat argumen bahwa jugun ianfu dilakukan oleh individual pasukan Jepang. Jepang memberikan sejumlah bantuan kompensasi kepada beberapa negara melalui lembaga Asian Women's Fund. Pemerintah Indonesia menerima bantuan bertahap ini pada 1997 melalui Kementerian Sosial. Namun, menurut Darmawi, dana itu tak pernah diterima 25.016 korban jugun ianfu dan keluarganya. "Uang itu, menurut Kementerian Sosial, dipakai untuk membangun panti jompo tanpa seizin dan setahu korban," kata Darmawi.

Korea menolak bantuan dari Jepang itu. Mereka mengumpulkan bukti untuk menuntut Jepang. Yoon Mee-hyang dan timnya menelu­suri negara-negara yang diduga tempat comfort women dibawa pasukan Jepang di masa itu dan mereka tidak bisa pulang ke negaranya.

"Mereka memang gigih berjuang, terorganisasi, dan solid," begitu Darmawi menggambarkan perjuangan comfort women dan rakyat Korea menuntut pengakuan sekaligus permintaan maaf Jepang. "Ini yang tidak kita miliki di sini," ujarnya kecewa.

Rabu, 19 November 2014, pukul 12.00, Tempo menyaksikan aksi protes di depan Kedutaan Besar Jepang. Yoon Mee-hyang hadir bersama dua perempuan comfort women dan puluhan pelajar, warga Korea, dan beberapa warga asing, termasuk sepasang suami-istri warga Jepang.

Menurut Yoong Mee-hyang, ini Rabu yang ke-1.115 kalinya mereka menggelar aksi menuntut pertanggungjawaban Jepang. Aksi ini juga menjadi "sekolah" bagi generasi muda Korea tentang sejarah pahit di masa lalu. Selain itu, menjadi tempat membangun solidaritas, termasuk solidaritas internasional.

Di hadapan dua korban comfort women yang duduk di kursi menghadap Kedutaan Besar Jepang, sejumlah pelajar putra dan putri bernyanyi menghibur mereka. Sedangkan pelajar lain ikut bernyanyi dan melambai-lambaikan poster dukungan dan protes kepada Jepang.

Tempo mencoba berbincang dengan Kim Po-Mingya, pelajar sekolah menengah atas yang baru pertama kali mengikuti Wednesday Protest. Ia mengatakan, "Guru kami menyarankan kami mengikuti Wednesday Protest, kami setuju dan hadir di sini."Pelajar berusia 18 tahun ini menyayangkan pemerintah Korea yang dianggapnya lemah terhadap Jepang. "Ini menjadi jalan yang panjang bagi mereka (halmoni)."

Seorang guru bahasa Korea yang ikut aksi mengatakan belum ada buku teks sejarah tentang comfort women di sekolah-sekolah di Korea. Itu sebabnya, ia menyarankan anak muridnya ikut kegiatan Wednesday Protest. Menurut dia, ini cara mendidik generasi muda Korea agar tidak melupakan sejarah.

Dalam setiap aksi Wednesday Protest yang tak pernah absen sejak pertama kali diadakan pada 1990, tujuh tuntutan disampaikan kepada Jepang dan pemerintah Korea. Ketujuh tuntutan itu adalah pertama, Jepang mengakui sistem perbudakan seksual militer Jepang sebagai kejahatan perang. Kedua, Jepang membuka semua dokumen resmi.

Selanjutnya, Jepang menyatakan permintaan maaf secara resmi, membayar reparasi kepada para korban, dan menghukum mereka sebagai bentuk tanggung jawab. Juga menuangkan semua fakta perbudakan seksual itu ke buku teks sejarah, membuat monumen peringatan, dan membangun gedung arsip. "Aksi ini tak akan berhenti hingga tujuh tuntutan kami dipenuhi," Yoon Mee-hyang menegaskan.

Maria Rita Hasugian (Seoul)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus