Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Tanda-tanda

19 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Hidup adalah lautan petunjuk, dalam setiap tetesnya rasa asin mengarahkan kita ke dalam misteri di belakangnya."

—Orhan Pamuk, Kara Kitap

Galip, tokoh dalam novel Orhan Pamuk Kara Kitap (Kitab Hitam), agaknya menyadari bahwa manusia—seperti dirinya—tak akan berhenti-hentinya membaca tanda-tanda. Pada saat yang sama, misteri Tuhan tak putus-putusnya membayangi.

Karena tanda ada di mana-mana dan ada di dalam tiap hal, misteri itu pun di mana-mana dan di dalam tiap hal. Seperti wajah kekasih dalam sajak, mutiara, mawar, gelas anggur, burung bulbul, rambut keemasan, malam, dan lidah api….

Di hadapan semua itu, manusia membuat sejarah—dan iman dan keyakinan lahir.

Sejarah itu panjang, beribu-ribu tahun, dan panjang dan beribu-ribu pula tafsir yang ditulis. Dan seperti yang dikatakan dalam paragraf itu, selama tanda-tanda tampak, misteri itu pun tampak. Tanda-tanda dan misteri itu tak terpisahkan akhirnya. Galip merasakan itu: "…benda-benda di sekitarnya sekaligus menandai diri mereka sendiri dan misteri yang pelan-pelan ia dekati."

Novel Kitab Hitam dimulai seperti sebuah cerita detektif.

Syahdan, Galip, seorang pengacara yang hidup di Istanbul, pulang dari kantor dan mendapatkan istrinya, Rüya, telah meninggalkannya. Dengan segera ia berangkat mencari. Ia yakin, ia akan menemukan Rüya (dalam bahasa Turki nama ini berarti "mimpi") bila ia berhasil menemukan Jelal, sepupunya, yang juga raib. Ia yakin kedua orang ini berpacaran.

Dalam pencarian itu ia temukan jejak-jejak Jelal: seorang penulis kolom yang penuh teka-teki untuk sebuah majalah yang tak jelas. Kolom-kolom itu agaknya berisi isyarat. Untuk mengetahui lebih dalam, Galip memutuskan ia harus jadi Jelal. Ia tinggal di kamar sepupu itu, mengenakan bajunya, bahkan menulis seakan-akan ia sang kolumnis yang terus bekerja.

Ketika novel berakhir, melalui perjalanan dan tamasya yang beragam, menemukan catatan-catatan yang detail dan majemuk, Rüya tetap tak kembali. Perempuan yang tak pernah hadir itu tetap tak hadir. Ia terbunuh. Jelal demikian juga: ada yang menafsirkan ia dibunuh penggemarnya sendiri. Seorang pensiunan kolonel yang membaca kolom-kolom Jelal selama bertahun-tahun akhirnya menyimpulkan bahwa teka-teki dan isyarat rahasia yang ditulisnya ternyata tak punya makna apa pun. Ia merasa ditipu. Baginya sang kolumnis, Jelal, ibarat nabi yang mengecewakan, guru palsu yang mewartakan ajaran agama yang seakan-akan maha-dalam.

Suasana murung membayang dalam Kitab Hitam. Tapi tanpa kecewa. Manusia tetap tak berhenti. Iman dan keyakinan mencoba terus menjawab, dengan sejarah yang mirip sebuah cerita detektif yang mempertarungkan dugaan yang benar atau salah.

Atau mirip kisah seorang sufi yang tak putus-putusnya dirundung rindu kepada Tuhan.

Tak mengherankan bila Kitab Hitam menampilkan Rumi, pencinta yang mengembara untuk menemui Yang Maha-Lain.

Dalam pengembaraan itu sang Maulana memilih menyamar, memakai pelbagai identitas, karena ia tak mau ­diikuti terus murid-muridnya yang taklid. Tapi sebagaimana Galip yang menyulap diri jadi Jelal, kian lama kian tak terjawab, juga oleh dirinya sendiri, siapa sebenarnya dia—dan perlukah "identitas"? Dalam kisah para sufi, ada pengertian fana', leburnya diri dalam Allah. Identitas adalah pos sementara atau bahkan penghambat. Tapi jika demikian, mengapa pencarian berlangsung terus—dan mengapa misteri tetap membayang?

Suasana murung yang tersirat dalam karya Pamuk adalah suasana bertanya—dan terasa letih. Di balik tanda-tanda itu jangan-jangan tak ada suatu apa pun yang berarti. Kita hanya ketagihan makna.

Meskipun demikian Pamuk, dalam Kitab Hitam, seperti dalam novelnya yang lain, tak meniadakan agama; dalam hal ini, di sebuah cerita dengan latar Turki, agama itu berarti Islam. Islam mampu menyuguhkan dua hal yang bertaut dan mempesona: tanda-tanda dan misteri. Jelal dan Galip mengasyiki hidup karena itu.

Memang ada yang kadang-kadang meniadakan pesona itu dan menjadikan agama hanya buku pedoman aksi yang jelas. Mereka mirip tentara yang tiap kali menunggu aba-aba. Tapi ada sepotong kalimat yang ditemukan Galip di antara catatan-catatan Jelal, konon dari sebuah hadith yang mengumandangkan Tuhan: "Aku adalah harta yang tersembunyi, dan aku rindu untuk diketahui."

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus