SUDAH lebih dari dua puluh tahun ledakan bom di gereja itu membunuh empat gadis cilik ini peristiwa di Birmingham, Negara Bagian Alabama, Amerika Serikat. Memang "hanya" empat nyawa - tak sebanding dengan puluhan, ratusan, atau ribuan nyawa lain yang pemiliknya dibedil atau digorok atau "hilang begitu saja" di banyak negeri di dunia. Tapi pembantaian di Birmingham itu tak boleh dibilang berdiri sendiri. Ia punya sangkut-paut dengan keresahan sosial yang khas Amerika. Yakni konflik rasial. Empat gadis itu (seorang 11 tahun, dan tiga yang lain 14 tahun), yang mati di kamar pakaian gereja yang diledakkan dengan dinamit, adalah anak-anak Negro. Toh di tengah suasana pertentangan warna kulit yang laten, pembantaian anak-anak seperti itu tergolong paling biadab di wilayah ini. Bahkan pembunuhan tiga pejuang hak asasi tahun 1964 di Mississippi, dan pembunuhan pejuang Negro Dr. Martin Luther King Jr. pada tahun 1968 masih dilandasi suatu alasan: perbedaan ideologi atau yang semacam itu, di samping warna kulit. Tapi anak-anak itu, Denise, Caroline, Cynthia, dan Addie Mae, untuk apa dihabisi nyawanya? Mereka bahkan tidak hadir di antara ribuan pelajar Birmingham yang memenuhi jalanan pada bulan Mei sebelumnya. Yakni dalam acara "perjuangan kanak-kanak" yang tersohor itu, yang dipergunakan Dr. King untuk mendramatisasikan "kebiadaban" pihak polisi. Keempat anak itu terbunuh hanya karena mereka ada di gereja itu pada hari yang naas itu - 15 September 1963. Tetapi gereja Baptis di 16th Street itu memang bukan gereja biasa, rupanya. Setidak-tidaknya gedung itu pernah merupakan pusat kegiatan bagi perjalanan bersejarah untuk menuntut pemenuhan hak-hak asasi yang dipimpin Dr. King. Kemenangan Dr. King sendiri - terhadap kaum yang membela ide pemisahan antara Negro dan kulit putih yang dipimpin gubernur Alabama George C. Wallace dan kepala polisi Birmingham T. Eugene (Bull) Connor - melontarkan King sebagai juru bicara sah bagi Amerika Hitam. Demonstrasi dan boikot yang dikerahkan Dr. King menutup daerah bisnis kota. Di antara orang kulit putih itu terdapat Howell Raines, yang ketika terjadi pemboman di gereja masih mahasiswa sebuah sekolah tinggi Methodis - khusus bagi orang kulit putih - yang terletak sekitar 24 blok dari tempat kejadian. Tahun lalu Howell Raines menulis suatu artikel tentang itu dalam New York Times Magazine, tempat ia kini bekerja sebagai koresponden politik nasional di biro Washington. "Namun, masih ada lagi sesuatu yang memacuku untuk membongkar seluruh riwayat yang kusut itu," katanya. Melalui penggeledahan terhadap apa yang terjadi di sana - bagaimana bom itu ditempatkan semula, bagaimana para pejabat Federal dan Negara Bagian menghalangi pengusutan, dan mengapa hingga hari ini penghukuman terhadap mereka yang menurut polisi terlibat tetap tertunda dan tidak lengkap - "saya mampu menghadapi sisi tersembunyi dan mengerikan dari kota masa kanak-kanakku," tulis Raines. Tahap yang menentukan di bidang hukum dalam kasus ini ialah vonis penjara seumur hidup yang dijatuhkan 18 November 1977 atas diri Robert E. Chambliss. Ia ini bekas anggota Ku Klux Klan, organisasi teror anti-Negro yang masyhur itu. Chambliss dikenai tuduhan pembunuhan tingkat pertama. Tapi karena dia sebenarnya hanya satu orang di antara sejumlah tersangka yang didakwa secara umum oleh para pejabat Alabama peradilan terhadapnya hanya membuka pintu bagi lebih banyak tanda tanya. Kekurangan bukti bagaimana, misalnya, yang menghalangi diajukannya tuntutan terhadap para rekan Chambliss? Jadi, antara saat peradilan Chambliss -1977 - dan musim semi tahun lalu, Raines mewawancarai sumber-sumber rahasia dan menghimpunkan berbagai dokumen dari Departemen Kehakiman, FBI (Federal Bureau of Investiation) serta polisi Negara Bagian dan Kota, dan itulah yang mendasari laporan ini. Dalam penuturan berikut ini, yang sampai sekarang merupakan artikel dari hasil investigasi yang paling lengkap, terdapat sejumlah pokok yang menentukan - di samping sejumlah fakta yang jarang diketahui atau sebelumnya tak pernah diberikan. * * * Barangkali cara terbaik untuk melukiskan Birmingham 20 tahun lalu ialah dengan memulai kisah ini dari kedai makan Jack Cash Barbecue. Ini satu tempat daam lingkungan masa kanak-kanak Raines, si reporter, yang dilarang bagi orang kulit hitam berdasarkan "hukum dan logika". Papan bertulisan "Khusus untuk Kulit Putih" yang tertempel di pintu muka, dan pentungan yang disimpan Jack Cash di dekat tempat pembayaran, untuk memperkuat larangan itu, merupakan pemandangan umum di hari-hari itu. Juga tidak tampak ganjil bahwa pemilik restoran itu bisa tersohor karena kebenciannya yang kelewatan kepada orang kulit hitam. Jack Cash sendiri dicurigai sebagai anggota Klan namanya muncul di catatan FBI. Siang hari Jack umumnya didatangi para pedagang sewilayah, seperti orangtua atau paman Raines sendiri. Malam hari tempat itu merupakan ajang para anggota Ku Klux Klan. Tapi juga para polisi - terutama setelah didirikannya satu stasiun radio mereka di ruang belakang, agar para polisi yang bertugas bisa mendengarkan panggilan sambil minum kopi. Pemakaian bersama restoran Jack itu seperti melambangkan penyesuaian yang tercapai antara pihak polisi dan pihak Klan. Selama jangka 15 tahun, sekitar 50 bom dinamit semoat meledak di "Bukit Dinamit", suatu daerah permukiman orang kulit putih yang tempatnya banyak dibeli orang kulit hitam. Polisi tak pernah berhasil mengadakan penangkapan walaupun rumah Arthur D. Shores, pengacara berkulit hitam yang paling tersohor di kota itu, dibom sedemikian seringnya. Shores sering terpaksa berjaga jaga sendiri di depan rumah, sambil menggenggam sepucuk senapan. Polisi tetap tak tahu - juga sekalipun salah seorang langganan Jack Cash, Robert E. Cham bliss, dijuluki "Dynamite Bob". "Seperti kebanyakan anak kuli putih dari golongan menengah di Birmingham, saya besar dengar kesadaran bagai orang berjalan sambil tidur," tutur Raines. "Bertahun kemudian, ketika menjadi reporter dan melihat nama dari tempat yang saya kenali di berbagai laporan penyelidikan, saya menjadi malu akan kedunguan waktu itu." * * * Anggota Klanlah yang mengubah Birmingham menjadi "Bombingham". Mereka itu orang-orang bertangan tegar yang tak dikenal, putra para Redneek South, kulit putih berhaluan keras terhadap Negro. Umumnya tingkat pendidikan mereka rendah, dan banyak yang pernah ditangkap karena berkelahi, membawa senjata tanpa izin, mengangkut minuman keras yang terlarang, atau juga minum terlalu banyak. Tapi beberapa di antara mereka ingin berbuat lebih banyak dari sekadar berpesta dan minum bir di tempat Jack. Jenis yang seperti ini umumnya bergabung dalam Eastview 13 Klavern, mungkin unit Klan paling ganas di wilayah Selatan pada abad ini. Anggota Eastview terlibat dalam hampir semua kejahatan rasial yang penting di Alabama - dari pemukulan terhadap para Freedom Riderstahun 1961 hingga pembunuhan aktivis berkulit putih, Viola Gregg Liuzzo, 1965. Sekitar 60 anggota Eastview 13 itu membentuk ketenaran nasional Birmingham pada tahun 1950-an dan 60-an. Dan lebih dari siapa saja, Dynamite Bob Chambliss, yang berumur 59 tahun pada saat pemboman gereja 16th Street itu, merupakan teladan di dalam Klavern. Kebanyakan mereka tergabung dalam kelompok Cabana River - sebuah pecahan yang menilai Eastview 13 sudah menjadi terlalu lunak. Mereka mulai mengadakan pertemuan di bawah jembatan di pinggiran Birmingham. Orang-orang itu, dan banyak anggota Klan lain, cukup dikenal polisi melalui tahun demi tahun penuh pemboman yang "tak terungkap" - dan yang menuju ke pemboman gereja di 16th Street itu. Menurut catatan FBI sendiri, ternyata lembaga resmi ini menganggap persatuan Polisi-Klan sebagai "kenyataan yang tak bisa dihindari." Dan sekalipun para pemilih telah mengusir Connor (kepala polisi Birmingham yang menginginkan pemisahan Negro-kulit putih) pada tahun 1963, tokoh seperti Chambliss tetap merupakan orang yang cukup dikenal di sekitar balai kota - tempat ia sering datang di ruang polisi. Jadi, tidak luar biasa bila pada hari ketika gereja itu dibom, David Vann sempat mengenali Chambliss. Vann, asisten wali kota yang baru, Albert Boutwell, adalah orang yang menggantikan Connor, dan yang nantmya juga menjadi wali kota. Karena tugasnya, Vann waktu itu segera menuju gereja ketika mendengar ledakan. Tapi beberapa jauh menjelang bangunan itu ia dihentikan oleh batas yang direntang polisi, sementara para anggota pemadam kebakaran bersama orang kulit hitam dengan pakaian gereja mencari korban di tengah reruntuhan. "Di situ," Vann kembali mengingat, "berdiri di sudut jalan, adalah Robert Chambliss - memandang ke arah gereja 16th Street, terpukau bagai anak nakal memandang api yang ia pasang." * * * Ketika Pendeta Elizabeth H. Cobbs memasuki ruang sidang tempat Chambliss diadili empat belas tahun kemudian, 15 November 1977, para pembela bertanya kepada Chambliss: Siapa gerangan saksi yang tak diduga-duga itu. Chambliss mengangkat bahu seperti menyatakan tidak tahu. Tapi Raines, penulis ini, menduga bahwa Chambliss sebenarnya menyadari, wanita bertubuh pendek yang berkalung salib besar itu bakal menjebloskan dirinya ke dalam penjara. Dan wanita itu, "Libby" Cobbs, tak lain keponakan istri Chambliss sendiri - Flora, yang kemudian meninggal pada tahun 1982. Tatkala pergolakan rasial berkecamuk di Birmingham, Libby Cobbs, ketika itu masih sekitar dua puluhan, sering berkunjung ke rumah Chambliss. Bertahun-tahun kemudian ia dinobatkan sebagai pendeta Methodis. Kini, setelah pertimbangan sangat mendalam, ia siap memberi kesaksian tentang berbagai percakapannya dengan pamannya pada hari Sabtu menjelang ledakan di gereja itu. "Ia berkata, ia berperang seorang diri sejak Perang Dunia II," ujar Nyonya Cobbs kepada sidang hakim tentang Chambliss. "Dan ia berkata, jika saja ada orang yang mendukungnya, orang-orang Negro terkutuk itu pasti sudah sadar akan tempat mereka kini." Menurut Ny. Cobbs, pada tanggal 14 September, sehari sebelum pemboman, Chambliss marah akibat berita sebuah surat kabar lokal tentang serangan terhadap seorang gadis kulit putih oleh seorang Negro bersenjatakan pisau. "Ia menempatkan tangannya di atas surat kabar itu," kata Ny. Cobbs - sambil berpaling kepada pamannya, yang duduk diapit kedua pembelanya sambil mencoret-coret sehelai kertas di depannya, agaknya tanpa dipikir. "Ia menatap diriku dan berkata: 'Tunggu saja setelah Minggu pagi, dan mereka pasti memohon kita agar boleh hidup terpisah. Saya menanyakan apa yang ia maksudkan, dan ia kembali berkata: 'Tunggu saja dan lihat . . .'." Ny. Cobbs memang satu-satunya anggota keluarga Chambliss yang memberi kesaksian. Tapi ia tidak sendirian dalam usaha mengirimkan orangtua itu ke penjara. Selama sidang berlangsung, Nyonya Chamblissselalu berhubungan melalui telepon dengan Bob Eddy, penyelidik Negara Bagian untuk kejaksaan. Bertahun-tahun, menurut Eddy, Ny. Chambliss secara rahasia memberikan berbagai informasi kepada pejabat penegak hukum lokal dan Federal tentang kegiatan suaminya serta teman-temannya dalam Klan. Bahkan Eddy dan para penyelidik lainnya mengakui, Chambliss tak mungkin dijatuhi hukuman tanpa informasi istrinya sendiri. Namun sang nyonya itu pun sebenarnya hanya satu bagian dari jaringan kecil sejumlah wanita yang punya hubungan dengan Klan, dan yang kemudian meneruskan informasi kepada yang berwajib. Peran menentukan dimainkan oleh seorang wanita lain. Ia ini memi nta kepada yang berwajib agar identitasnya dirahasiakan secara permanen - dan karena itu baiklah disebut dengan nama samaran yang diberikan oleh Departemen Kehakiman, Dale Tarrant.Bertahun-tahun, wanita inilah saluran yang dipergunakan menyampaikan informasi dari Ny. Chambliss - dan sumber Klan lainnya - kepada James Hancock, detektif dari Departemen Sheriff di Jefferson County. Sejumlah penyelidik lainnya jugayakin, sesudah ledakan bom itu Ny. Chambliss membantu Dale Tarrant dan Hancock memasang alat penyadap di dapur keluarga Chambliss. Segera setelah pemboman itu pula Dale Tarrant memberitahu Hancock, yang kemudian memberitahu FBI, bahwa Chambliss dan Troy Ingram - montir mobil yang kini sudah meninggal - membuat bom itu di rumah Ingram. Pada tahun 1977, meski Dale Tarrant menolak memberikan kesaksian - takut identitasnya terbongkar - informasi yang sempat ia sampaikan terhitung menentukan untuk memperkarakan Chambliss. Tetapi mengapa demikiar lamanya - sejak pemboman gereja di tahun 1963 hingga sidang peradilan Chambliss di tahun 1977 - informasi itu menghasilkan tuntutan? Untuk menjawab ini, perlu dipertimbangkan pengusutan yang dikacaukan pada tahun 1960-an. * * * "Tak ada jalur penyelidikan yang diabaikan ....Hasilnya, menjadi nyata bahwa pemboman itu akibatusaha bekas anggota Klan, Robert E. Chambliss, Bobby Frank Cherry, Herman Frank Cash, Thomas E. Blanton Jr., dan mungkin Troy Ingram ...." Itu memo FBI dari kantornya di Birmingham kepada Hoover, direkturnya di Washington DC, 13 Mei 1965. Memo itu juga memberitahu sang direktur bahwa anak buahnya menemukan pula tiga saksi mata yang mengaku melihat Chambliss dan beberapa orang Klan lainnya di dekat gereja 16th Street pada pukul 2.15 dinihari sekitar delapan jam menjelang ledakan. Karena itu, kantor FBI di Birmingham meminta izin Hoover untuk menyerahkan bukti-bukti itu kepada pihak-pihak kejaksaan Negara Bagian dan Federal. Sekalipun dengan sistem juri yang seluruhnya berkulit putih di Alabama, pejabat yang mengepalai kantor FBI Birmingham itu merasa tidak sia-sia untuk meyakinkan Hoover, bahwa terdapat suatu "iklim pendapat umum yang mendukung tuntutan peradilan." Enam hari kemudian Hoover mengirimkan memo balasan. Ia menyatakan, kemungkinan jatuh suatu vonis sangat "kecil". Lalu ia memerintahkan anak buahnya di Birmingham agar tidak bertemu dengan pihak kejaksaan Negara Bagian ataupun Federal. Kemudian, suatu tim Departemen Kehakiman pada tahun 1978 yang bertugas menyelidiki penanganan FBI atas diri Gary Thomas Rowe informan bayaran dalam tubuh Eastview Klavern - menyimpulkan: Hoover juga mencegah Departemen Kehakiman memperoleh informasi tentang"informasi yang menentukan" itu - kendati Presiden Kennedy dan kemudian Presiden Johnson mendesak agar diadakan penangkapan dalam kasus pemboman ini. "Sekalipun laporan setebal 312 halaman dari Tim Rowe itu tidak diserahkan secara sukarela, saya beruntung bisa memperoleh kopinya beberapa tahun lalu - dan menerbitkan hasil tentang penanganan Hoover atas kasus Birmingham itu," demikian si reporter. Laporan itu memang tak menyimpulkan apa-apa tentang pertanyaan yang menggelisahkan ini: mengapa Rowe, selama ia mendapat bayaran dari FBI, terlibat dalam pemboman itu. Tapi keputusan Hoover, yang tidak mengizinkan para jaksa memperoleh pengetahuan tentang informasi itu, menghentikan penyelidikan FBI untuk selama-lamanya. Dua belas tahun akan berlalu sebelum peradilan Chambliss bisa diadakan - dan dorongan bagi peradilan itu akan bersumber pada para pejabat Alabama yang terpaksa mengatasi keengganan FBI untuk menyerahkan informasi itu. Malah di bawah Hoover, lembaga itu bukan saja membekukan hasil penyelidikannya, tapi juga memberi penjelasan yang sangat tidak tepat kepada para orangtua korban. Menurut pengakuan mereka, FBI memberitahu mereka bahwa pemerintah telah mengetahui siapayang melakukan kejahatan itu, tapi tidak terdapat orang yang bersedia memberi kesaksian dalam sidang. Padahal Hoover telah diberi jaminan bahwa dua orang dari ketiga saksi mata, termasuk Dale Tarrant, mungkin bersedia menjadi saksi seperti yan dimaksud. Hoover iua diberitahu bahwa ada pula seorang lainnya yang mau memberi kesaksian. Tetapi Hoover bukanlah pejabat pertama yang menggelapkan penyelidikan perkara ini. Kolonel Albert J. Lingo, pejabat yang diangkat Gubernur George Wallace dan yang memimpin Departemen Keselamatan Umum di Alabama, telah membelotkan hasil pengusutan Negara Bagian September 1963. Lingo, yang memperoleh kedudukannya setelah mengemudikan pesawat terbang Wallace selama kampanye pemilihan Wallace 1962, semula malah bertekad mengambinghitamkan pihak lain: gerakan Black Muslim seakan merekalah pelaku pemboman terkutuk itu. Ini menurut para penyelidik yang bekerja sama dengan Lingo. Lingo, yang meninggal tahun 1969 itu, secara umum memang dikenal sebagai simpatisan Klan. Untunglah Hancock, yang bekerja secara tidak terikat sebagai detektif kantor Sheriff itu, tidak mempedulikan teori Lingo - dan memusatkan perhatiannya pada Chambliss, rekannya, Ingram Troy, serta anggota lainnya dari kelompok Cabana River. Menggunakan alat penyadap pembicaraan milik FBI, Hancock sempat mendengarkan percakapan Chambliss dan beberapa orang lain di dapur Chambliss. "Beberapa percakapan yang mereka lakukan itu sempat mendirikan bulu roma," tutur Hancock kemudian kepada wartawan kita. Detektif bertubuh besar itu, yang lahir di Mount Olive, Alabama, sebuah pusat kegiatan Klan zaman dulu, melanjutkan, "Tommy (Blanton) berkata: 'Saya akan pergi ke Fort McClellan, dan mengambil senapan mesin dan memasuki gereja itu, dan memberi contoh bagaimana caranya membunuh sejumlah Negro . . . . " Chambliss, menurut Hancock, selalu mengulangi: "Kita terpaksa membunuh sejumlah anak sundal itu sebelum mereka mau tunduk." Lalu, minggu-minggu sesudah pemboman, diamdiam Hancock memanggil Ingram dan beberapa yang lain untuk interogasi. Para penyelidik Negara Bagian, misalnya Ben L. Allen, meyakinkan Lingo tentang kekeliruannya mengenai teori Muslim itu, dan memusatkan perhatian mereka pada kelompok Cabana River. Troy Ingramj si tersangka, ternyata gagal melampaui ujian alat pendeteksi kebohongan - lie detector - dan Allen yakin ia siap untuk mengaku. Hancock bilang, ia juga bisa memanfaatkan kekhawatiran para tersangka terhadap kemungkinan menakunya salah satu di antara mereka sebaai imbalan bagi suatu hukuman yang lebih ringan. "Saya telah mendesak Blanton hingga hampir-hampir ia masuk penjara. Saya telah mendesaknya sampai ia menangis-nangis di tangan saya, sambil berkata, 'Jangan biarkan mereka (para detektif - Red.) melakukan itu kepadaku'." Hancock menceritakan bahwa ia memberitahu atasannya, Sheriff Mel Bailey, bahwa ia bisa merampungkan kasus itu dalam waktu dua atau tiga minggu lagi. Juga para penyelidik Negara Bagian memberikan informasi serupa kepada Lingo. Tapi, tiba-tiba, dengan mengabaikan keberatan Sheriff dan nasihat anak buahnya sendiri, Lingo mengambil alih penyelidikan, dan memerintahkan penangkapan Chambliss serta seorang anggota Klan lain pada 29 September. Para juru bicara Gubernur Wallace segera menyiarkan beria ini: para pejabat Alabama telah berhasil justru di tempat FBI gagal. Tampaknya itu suatu kemenangan humas yang penting bagi Wallace, yang memang sedang berusaha meniadakan kritik bahwa ia merangsang dan melindungi kekerasan rasial. Tapi setelah Chambliss diinterogasi dua hari, kemenangan Wallace itu berbalik menjadi keaiban - ketika Lingo ternyata hanya bisa menuntut Chambliss dengan tuduhan peIanggaran memiliki bahan peledak dinamit. Bahkan tuntutan kecil itu pun berantakan di ruang pengadilan. Chambliss dan para tersangka penting lainnya kemudian berkonsultasi dengan para ahli hukum. Dan yang terakhir itu segera memerintahkan menghentikan tes poligraf serta melarang para tersangka berbicara apapun. Keputusan itulah, menurut Hancock, yang menyebabkan penyelidikan terhenti sama sekali. Ia mendongkol kepada Lingo - karena dialah yang menyebabkan para anggota Klan itu menyewa pengacara. Hancock lalu minta berhenti. Dan belakangan mengatakan, ia kemudian menghangcurkan semua catatannya tentang kasus itu. Satu tahun bakal berlalu sebelum Hancock yang sewot itu kembali bertindak dan meletakkan dasar bagi pengadilan Chambliss yang menghasilkan hukumannya. Yang diperbuatnya: memperkenalkan anggota FBI kepada saksi penting, perempuan informan dengan nama samaran Dale Tarrant yang tadi, yang menentukan bagi terseretnya Chambliss ke pengadilan. Tapi sejumlah penyelidik lain berpendapat, Hancock mungkin bisa mencegah terbunuhnya gadis-gadis cilik itu jika saja ia cepat bertindak - ketika Dale Tarrant memberitahukan kepadanya dalam suatu pertemuan 15 September pukul 9.00 bahwa telah ditempatkan dinamit di sebuah gereja di Birmingham. Menurut Hancock kemudian, para penyelidik Negara Bagian membocorkan dugaan mereka sendiri kepada para wartawan bahwa Hancock menunda tindakannya tak lain karena ia sedang terlibat secara romantis justru dengan Dale Tarrant. Tetapi atas pertanyaan apa sebenarnya yang mereka lakukan pagi itu, Hancock cuma menjawab, "Itu bukan urusanmu." Seperti juga banyak detektif lain yang terlibat dalam penyelidikan waktu itu, Hancock saat ini diharu-biru pemikiran bahwa, kalau saja tak ada Lingo, ia sebenarnya bisa menyeret ke pengadilan semua tersangka 20 tahun yang lalu. Ia telah menyatakan niatnya itu dulu kepada Matt Murphy, pengacara pihak Klan, ketika Murphy mengatakan kepadanya bahwa ia tak lagi boleh menginterogasi para anggota Klan itu. "Saya berkata kepadanya, 'Matt, saya akan menyeret mereka'. Dan ternyata saya keliru. Sangat keliru. Saya membenci apa yang mereka pertahankan, dari prinsipnya. Kita tak membutuhkan orang-orang semacam itu di bumi kita - hanya menghabiskan oksigen yang kelak dibutuhkan anak cucu kita!" * * * Berikut ini kata-kata Bill Baxley, yang sebagai jaksa agung Alabama membuka kembali kasus pemboman itu pada tahun 1977. "Tentu saja," katanya, "saat sekarang sangat merugikan bagi saya secara politis. Karena jika kita bisa mengungkapkan perkara itu pada tahun 1973 atau 1974 - yang seharusnya kita lakukan, daripada membukanya setahun sebelum saya mencalonkan diri sebaai gubernur - saya kira saya mungkin bisa menang." Tetapi sekarang, "setiap hari, di setiap kota, di setiap gapura, paling sedikit selusin orang tak mau menjabat tangan saya atau mengatakan, 'Saya tadimya ingin memberikan suara untukmu, saya memang menyenangimu, saya kira kamu orang kita, tapi ternyata kamu menjebloskan orangtua itu ke dalam penjara'." Ketika anak-anak itu terbunuh tahun 1963, Baxley masih menuntut ilmu hukum di Universitas Alabama. Seperti banyak orang Alabama berkulit putih seumur dia, ia muak dengan apa yang sedang berlangsung di negara bagian itu, tapi tak kuasa berbuat apapun. Lalu pada tahun 1970, ketika ia mulai menjadi jaksa agung Alabama, ia mencatat nama-nama keempat gadis cilik Negro itu pada kartu kredit teleponnya - agar setiap kali ia menelepon ia teringat bahwa kini ia memiliki kekuasaan untuk memulai lagi suatu penyelidikan yang terlupakan, baik di tingkat lokal, negara bagian, maupun Federal. Baxley lalu menugasi Bob Eddy, detektif yang sudah disebut tadi. Lalu mengangkat George Beck dan John Yung, keduanya asisten jaksa agung, untuk mengontrol kerja Eddy. Tak seorang di antara mereka pernah terlibat dalam perjuangan hak-hak asasi. Tapi ketiganya pernah merasakan keaiban karena tumbuh besar dalam kurun waktu ketika seluruh bangsa menganggap bahwa George Wallace dan Bull Connor adalah putra-putra terbaik yang bisa dihasilkan Alabama. Penyelidikan mereka berkembang sangat lambat. Menjelang 1975, saat FBI masih tetap menolak membuka hasil pengusutan mereka, Baxley mengaku telah mengancam William Saxbe, jaksa agung di zaman Presiden Ford. Isi ancaman itu: para orangtua korban akan mengadakan konperensi pers di Washington dan menuduh FBI melindungi para pembunuh. Saxbe kemudian menyetujui kerja sama terbatas mengizinkan Eddy bertanya jawab dengan para anggota FBI yang duduk berhadapan dengan dia, sambil mereka membaca catatan hasil penyelidikan sendiri. "Permainan" ini dilakukan karena para anota FBI tak ingin detektif Alabama itu melihat hasil wawancara mereka dengan para informan yang dirahasiakan. Tetapi ketika ternyata para anggota FBI itu enggan menjawab pertanyaan tentang kemanakan Chambliss, Elizabeth Cobbs, Eddy berhasil menemukannya sendiri. Dan ketika mereka bertemu, Ny. Cobbs menganggap Eddy tahu segala sesuatu seperti halnya FBI - dan karena itu ia mengakui bahwa ialah informan yang dikenal dengan nama Abington Spalding. Melalui Ny. Cobbs inilah Eddy kemudian bertemu dengan Dale Tarrant, dan ini merupakan kemenangan bagi Tim Baxley itu. Tapi itu juga mengantar mereka ke dalam dunia bayangan intrik Klan, yang lambat laun menyadarkan mereka bahwa mereka sebenarnya sedang berurusan - melalui perantara - dengan sumber FBI yang asli dan yang merupakan informan Negara Bagian Alabama yang paling penting. Yaitu Ny. Chambliss. Eddy kemudian tahu, Dale Tarrant dan Elizabeth Cobbs pernah menceritakan kepada FBI di tahun 1965 bahwa mereka - sambil menyamar, menggunakan rambut palsu - dulu mengikuti Chambliss dan teman-temannya menuju gereja di 16th Street, dan menyaksikan orang itu menempatkan bom. Tetapi Eddy dan rekannya terkejut ketika Ny. Cobbs dan Dale Tarrant, waktu dihadapkan pada pernyataan yang mereka berikan kepada FBI, menyangkal pernah berada di dekat gereja itu. Sejumlah tes poligraf yang di jalankan 31 Agustus 1977 mendukung sangkalan mereka. Untung, tes penguji kebohongan itu juga mengisyaratkan, Ny. Cobbs tak berbohong bahwa ia mendengar berbagai ucapan Chambliss yang memberatkan dirinya sendiri. Penyelidik dari Tim Baxley lalu menyimpulkan, Ny. Cobbs dan Dale Tarrant sebenarnya menceritakan kisah rambut palsu itu kepada FBI agar mereka bisz bertindak sebagai saksi mata - memberikan informa si kepada FBI, yang bagi Ny. Chambliss dirasakan terlalu berat untuk dilakukannya sendiri. Maklum, Chambliss suaminya. "Mereka membencinya. Juga istrinya," ujar seorang jaksa yang pernah berhubungan dengan para wanita itu, "tapi ia takut meninggalkannya." Jaksa itu kemudian mengungkapkan bahwa kebencian itu dibangkitkan oleh sikap Chambliss yang tak hentinya mengancam, mengorbankan, dan mengabaikan keluarganya. Tetapi, Bob Eddy tetap yakin bahwa Ny. Cobbs, dan mungkin juga Dale Tarrant, memang sempat menyaksikan kejadian di gereja itu. Baik Eddy maupun laporan Departemen Kehakiman mengungkapkan bahwa justru ketakutan untuk bertindak sebagai saksilah, mungkin, yang mengacaukan hasil tes poligraf Dale Tarrant. Singkatnya, inti kisah Ny. Chambliss yang diteruskan Ny. Cobbs dan Dale Tarrant, dan direkam dalam dokumen FBI - lalu menjadi skenario penyelidikan terpenting bagi Tim Baxley. Dan itu didukung oleh pernyataan seorang saksi mata yang tak terlibat. Ini adalah tokoh lain lagi. Namanya: Kirthus Glenn. Ny. Glenn - yang pada 15 September 1963 itu berkunjung ke Birmingham dari kota asalnya, Detroit mengenali mobil Tommy Blanton diparkir dekat gereja pada pagi hari pemboman itu. Ia juga mengenali Chambliss sebagai salah satu dari tiga orang kulit putih yang duduk di mobil itu pada Minggu dinihari. Maka, dilengkapi fakta itu, Baxley dan timnya merasa cukup kuat untuk menuntut Chambliss - dan mungkin juga Blanton. Tapi Baxley mulai terdesak waktu. Tahun 1977 sudah berlalu setengahnya, sementara tahun 1978 merupakan akhir masa jabatan kedua Baxley sebagai jaksa agung Alabama. Tahun itu pula ia merencanakan mencalonkan diri sebagai gubernur, menggantikan Wallace. Betapapun, Baxley dan Eddy berhasil melacak Bobby Cherry - anggota kawanan Chambliss - sampai di Texas. Tapi gagal membujuknya memberikan kesaksian terhadap tersangka lain dengan imbalan tuntutan yang diperlunak. Cherry, menurut Eddy, menjadi pucat ketika dihadapkan pada informasi dari dokumen FBI itu - termasuk sebuah kutipan dari Chambliss, tentang betapa Cherry tampak lucu ketika menyelusup ke belakang gereja sambil membawa bom. Tapi setelah dua kali diinterogasi, Cherry menyangkal setiap keterlibatan dalam pemboman - dan menolak bekerja sama. Mereka juga tidak berhasil mencapai persetujuan dengan Cash, anggota komplot yang lain, yang ketika dihubungi juga menyangkal terlibat dalam kejahatan itu, plus mengaku tidak kenal dengan orang bernama Chambliss. Menurut Baxley, ia memang tak pernah mendekati Chambliss atau Blanton, karena justru mereka itu ia anggap sasaran utama tuntutan hukum. Tapi menjelang akhir 1977 Baxley memutuskan, ia tak lagi bisa membuang waktu dengan Cherry dan Cash untuk memperoleh pengakuan. Sebaliknya, kini ia berusaha melalui Chambliss dengan harapan Blanton akan ketakutan hingga mau mengaku. Chambliss, yang secara resmi akhirnya dihukum karena satu di antara keempat kematian itu, divonis penjara seumur hidup. Tapi kemungkinan bagi pengadilan yang kedua, yang melibatkan Blanton, tiba-tiba lenyap ketika Ny. Kirthus Glenn memberi kesaksian bahwa ia sebenarnya tak bisa mengenali pengemudi mobil Blanton. "Saya merasa seperti tenggelam ketika ia mengatakan itu," kata Eddy mengingat kembali. "Karena pada setiap kesempatan sebelum itu ia mengaku mengenali Blanton. Ia mengidentifikasikan Blanton hingga saat sidang pengadilan, dan saya kira hanya karena berhadapan dengan sekian banyak orang maka, tanpa berpikir, ia memberi jawaban seperti itu. Apa yang hendak dilakukan kini - kembali kepadanya dan mengatakan, "Anda keliru, bukan?" Tetapi yang sebenarnya, dokumen FBI pun memberi indikasi bahwa Ny. Glenn sebelumnya sudah pernah ragu tentang identitas Blanton, meski ia selalu pasti mengenai identifikasinya tentang mobil itu. Kendati begitu, Baxley dan bekas sejawatnya sebenarnya yakin: hari ini pun bisa disusun suatu tuntutan hukum terhadap Blanton, sekalipun pernyataan Ny. Glenn merugikan. Salah satu yang mungkin, menurut Eddy, adalah pembuktian tambahan yang bisa diperoleh melalui para teman wanita Blanton yang dulu. Beberapa orang di antara mereka itu telah memberikan informasi tentang dirinya kepada FBI di tahun 1960-an. * * * Para orangtua keempat gadis cilik itu, yang masih hidup, sejak 1963 memilih jalan masing-masing. Hanya Claude Wesley yang masih aktif di gereja 16th Street. Ny. Collins bergabung di Faith Cathedral Church of God. Dengan rasa keagamaan yang mendalam, ia yakin bahwa pertanggungjawaban terakhir mengenai peristiwa yang menimpa putri nya itu harus diserahkan kepada peradilan Tuhan. Sedangkan Ny. Robertson, yang setidaknya setahun sekali bepergian ke Chicago, menghadiri pertemuan dewan direksi Carole Robertson Center for Learning, suatu panti penitipan anak-anak yang diberi nama putrinya yang malang. Suaminya almarhum, seorang pendidik, tak pernah pulih dari pukulan akibat kematian Carole. Pasangan orangtua yang termuda, McNair dan istrinya, secara sadar memutuskan untuk memulai kehidupan baru. Anak tertua dari kedua anak mereka yang lahir setelah pemboman itu masuk sekolah tinggi musim rontok tahun lalu. McNair, yang merasa bila tetap mendendam akan "mengubah diri menjadi anjing gila", melibatkan diri dalam kegiatan politik dan pelayanan masyarakat. Ia pernah menjabat di parlemen Negara Bagian, dan hampir berhasil terpilih sebagai anggota Kongres - dalam suatu distrik yang mayoritasnya berkulit putih. Ia juga mendirikan sebuah majalah, Down Home. Dan setelah bertahun-tahun bungkam mengenai perasaannya tentang pemboman itu, belum lama ini ia menulis sebuah artikel di majalah itu. Judulnya: "Apakah Mereka Mati sia-sia?" Tulisannya itu menyingkapkan, tidak terdapat satu pun tanda peringatan di Birmingham - kecuali sebuah jendela kaca berwarna yang dipasang di gereja 16th Street, yang dibiayai penduduk Wales. Sebenarnya, ada juga sebuah plaket di gereja itu yang secara Ironis mencantumkan nama Carole Robertson dengan ejaan yang keliru. Dengan mengajukan pertanyaan sebagai judul itu, McNair ternyata menemukan dalam dirinya frustrasi mendalam yang sangat mengejutkan. Ia melihat, "Orang ingin agar peristiwa 16th Street dilupakan saja. Mengapa hendak dilupakan? Persetan. Itu 'kan pernah terjadi, dan hanya satu orang yang dihukum. Padahal - persetan - terdapat lebih dari satu orang, menurut semua dokumen yang pernah saya lihat." Betapapun, kecenderungan mendalam untuk melupakan saja kini memang menjelma di Birmingham. Terutama di antara mereka yang pernah tergabung dalam Eastview 13. Banyak yang enggan mengaku pernah kenal dengan Chambliss. Tommy Blanton malah mengajukan tuntutan kepada pemerintah agar namanya dihapus dari dokumentasi penyelidikan. "Ketika saya berbicara dengan Blanton, yang pada usia 44 tampak gemuk dan sendiri, yang mengelola sejumlah apartemen warisan mendiang ayahnya," demikian tulis reporter kita, "ia lebih senang ngomong tentang astrologi daripada tentang Klan." Kemudian si reporter menyebutkan telah menerima surat dari Chambliss. Dan tiba-tiba saja ia ingin tahu apakah orangtua itu pernah berbicara tentang dirinya dan apakah ia tampak waras saja. Blanton tak usah khawatir. Chambliss baru saja menolak berbagai peluang memperoleh perpendekan hukumannya dengan cara memberi kesaksian terhadap rekan-rekannya. Tampaknya ia tetap ingin melindungi mereka hingga ia mati. Selama beberapa kali bertemu dengan Chambliss, wartawan kita menjadi yakin bahwa baginya, kini, hanya dua hal yang berarti: sumpah kerahasiaan Klan, yang ia ucapkan 59 tahun lalu, dan kenangan akan istrinya yang telah tiada. Memang, Chambliss tak pernah diberitahu bahwa istrinyalah, yang begitu muak oleh kekerasan dan begitu dikorbankan, yang sebenarnya menjebloskannya ke dalam penjara. "Saya berkeputusan untuk tidak menceritakan hal itu membiarkannya memeluk suatu kebohongan yang bisa ia bawa mati." Dan dengarlah kata-kata Chambliss sendiri. "Saya selalu memperlakukan istri saya dengan baik. Ia tak pernah menginginkan sesuatu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini