Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika tak ada aral, Presiden Barack Obama akan tiba di Indonesia pada Selasa, 9 November. Pesawat kepresidenan Amerika Serikat, Air Force One, bakal mendaratkan dia di Halim Perdanakusuma, lalu Obama akan bergegas mengisi agenda padat dalam lawatan 24 jam. Dari Jakarta, dia akan meneruskan kunjungan ke Seoul, Korea Selatan, pada hari berikutnya. Bagi Obama, ini kunjungan pertamanya ke Indonesia. Untuk Indonesia, ini persiapan penyambutan ketiga—setelah rencana kunjungan sang Presiden pada Maret dan Juni lalu dibatalkan.
Di Jakarta, Obama bakal meneken Perjanjian Kemitraan Komprehensif bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kerja sama tersebut meliputi bidang perdagangan, pendidikan, demokrasi, lingkungan hidup, sampai perubahan iklim. Kedatangan Obama didahului dua menteri kabinetnya.
Pada Juli lalu, Menteri Pertahanan Amerika Robert Gates telah datang ke Indonesia. Dia membuka kembali pelatihan bagi Komando Pasukan Khusus Angkatan Darat, setelah kondisi hak asasi manusia Indonesia dinilai membaik. Sejak 1998, fasilitas kerja sama dan pelatihan itu dihentikan karena pasukan khusus ini dianggap melanggar hak asasi manusia di Timor Leste dan Aceh.
Dua bulan sebelum Gates, Menteri Perdagangan Garry Locke datang melawat. Dia membawa sepuluh pengusaha Amerika bidang energi terbarukan. "Ini tanda Indonesia dianggap penting," ujar Retno Marsudi, Direktur Jenderal Amerika dan Eropa di Kementerian Luar Negeri, sembari tersenyum lebar. "Saya mengibaratkan kunjungan Obama sebagai gong penyempurna," dia menambahkan.
Ya, Retno punya poin untuk bergembira. Di atas peta geopolitik, kita melihat tak satu pun negara ASEAN di luar Indonesia—bahkan yang ekonominya jauh lebih makmur—ditengok Obama dalam perjalanan perdananya ke Asia. Dan tiga jiran Asia lain yang dikunjungi Presiden Amerika kali ini adalah negeri-negeri dengan ekonomi kuat: India, Jepang, dan Korea Selatan.
Tapi, dari komposisi waktu lawatan, kita bisa "membaca" dengan terang betapa "cantik"-nya Washington berhitung, agar perjalanan jauh ini padan pula hasilnya. India yang kebangkitan ekonominya kian diperhitungkan Amerika selain Cina—sang Naga dari Timur—mendapat jatah tiga malam. Disusul Korea dan Jepang, masing-masing dua malam. Indonesia?
Kendati memiliki tempat khusus di hati Obama—oleh pertalian keluarga ataupun masa kanak-kanak—Indonesia mendapat waktu 24 jam. "Ya, Presiden (Obama) akan berada selama 24 jam di sini antara 9 dan 10 November. Dan akan ada kunjungan ke Istana," kata Paul Belmont, Atase Pers Kedutaan Besar Amerika di Jakarta, saat dihubungi Tempo pada Sabtu siang. Rencananya Obama juga akan memberikan sebuah pidato resmi.
Bagaimanapun, ini 24 jam yang berharga. Maka Indonesia bersiap sedia—di tengah segala kerepotan pemerintah mengurusi bencana bertubi-tubi—agar segenap agenda tetap bisa ditunaikan kedua pemimpin: Susilo Bambang Yudhoyono dan Barack Obama. Dino Patti Djalal, Duta Besar Indonesia untuk Amerika, mudik dari Washington, DC, ke Jakarta bersama beberapa anggota stafnya sejak pekan lalu untuk turut menyiapkan penerimaan. "Sejauh ini tak ada perubahan," ujarnya tentang rencana kunjungan Obama. Tempo menemui Dino saat "kuliah" imam masjid New York, Feisal Abdul Rauf, di Istana pada Jumat pekan lalu.
Dengan pertumbuhan ekonomi 6,5 persen pada 2009, dan perkiraan pertumbuhan 5,5 persen hingga akhir 2010, posisi Indonesia di Asia cukup bergigi untuk dihitung. Betul bahwa Cina—dengan pertumbuhan rata-rata 9 persen—dan India—sekitar 8 persen—adalah bintang Asia paling berpendar di satu dekade terakhir. Tapi "tabungan" Amerika di Indonesia pun tak kurang-kurang. Investasinya menjalar dari pertambangan, energi, serta minyak dan gas. Ada ExxonMobil di Cepu, Freeport di Papua, dan ada General Electric (GE) yang mulai tahun lalu meluaskan wilayah bisnisnya ke Indonesia timur dan tengah.
Produk-produk informasi dan teknologi—Intel, Microsoft, hingga Apple Inc.—menemukan pasar nan subur di sini. Satu hal, Amerika kini amat tertarik menanam investasi energi bersih (green energy) di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. General Electric, raksasa energi dan teknologi asal Amerika, telah memulainya di Bali sejak dua tahun lalu.
Gatot Prawiro, 48 tahun, Regional Executive Asia Pacific GE Jenbacher Gas Engines, mengatakan: "Potensi kerja sama energi bersih di antara kedua negara amat besar. Indonesia punya sumber yang luas untuk dikembangkan menjadi energi bersih, dari bayu hingga sampah." Jadi, menurut Gatot, investasi perusahaan Amerika, termasuk GE, dalam bidang ini di Indonesia, amat prospektif untuk dikembangkan.
Perihal pengembangan ekonomi kian signifikan bagi Obama bila kita menengok kondisi dalam negeri Amerika sejak Presiden Amerika ini memerintah pada Januari 2009. Negara adidaya itu babak-belur dihajar krisis sejak 2008. Dan kini, Partai Republik—yang ganti menguasai Senat setelah menggusur Demokrat dalam pemilihan umum sela pekan lalu—kian garang menantang Obama membuktikan kemampuannya memperbaiki kinerja ekonomi dalam negeri.
Nah, kerja sama ekonomi dengan Indonesia—pasar potensial pengembangan investasi dan perdagangan bagi pengusaha Amerika—mestinya bisa diperteguh lewat kunjungan Obama ini. Walaupun Kamar Dagang Amerika memberikan catatan melalui juru bicaranya, Murray Hiebert. Hiebert mengatakan perkembangan bisnis (di Indonesia) hingga kini terkesan lambat. Bidang minyak dan gas dinilai masih tak ramah bisnis. Mulai tahun depan, misalnya, kapal pengangkut minyak dan gas mesti berbendera Indonesia. "Tren nasionalistis ini membuat susah berbisnis di Indonesia," kata Hiebert.
Di luar ekonomi, Amerika juga menaruh perhatian khusus pada isu-isu lingkungan, perubahan iklim, kontraterorisme, serta kemajemukan di Indonesia. Mengutip Retno Marsudi, isu-isu ini membuat posisi Indonesia merebut banyak perhatian di Asia Tenggara ataupun dunia. Obama bahkan berencana memberikan bantuan US$ 700 juta (sekitar Rp 6,51 triliun) untuk pelestarian hutan. "Secara keseluruhan, Indonesia masih dipandang strategis," ujar Retno kepada Tempo.
Toh, komentar bahwa kunjungan Obama adalah sekadar "silaturahmi" tak terhindarkan. Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Masdar F. Mas’udi bahkan beranggapan, "Kedatangan Obama tak lebih dari romantisisme orang yang pernah tinggal di Indonesia." Kendati menghargai kunjungan ini, Masdar mengatakan momentum kedatangan Obama sudah lewat. "Popularitas Obama dan kekuatan Partai Demokrat di Amerika tak sekuat sebelumnya," katanya. Harapan terhadap Obama sebagai jembatan hubungan baik Islam dan Barat kudu diturunkan. "Apa yang dia lakukan sekarang mendapat pengawasan ketat dari Partai Republik," ujar Masdar.
Sebaliknya, Ketua Umum Muhammadiyah Dien Syamsuddin menilai kedatangan Obama masih bisa dimanfaatkan untuk menagih implementasi janji-janjinya di Kairo. Terutama soal Israel dan Palestina. "Radikalisme berkembang di hampir semua negara akibat persoalan itu," ujarnya.
Di tengah pro-kontra itu, pemerintah Indonesia tetap berusaha keras menjadi tuan rumah yang baik. Ada beberapa persiapan yang bahkan dipandang sebagai usaha "membentang karpet merah" untuk tamu jauh yang telah lama dinanti itu. Umpama, pemerintah dengan cepat menanggapi video kekerasan oleh tentara yang dilansir Asian Human Rights Commission melalui YouTube. Seusai rapat kabinet pekan lalu, Presiden Yudhoyono menyatakan akan segera menggelar pengadilan militer bagi para pelaku kekerasan di Papua.
"Kami mendapat laporan dari Washington, DC, mereka memberikan apresiasi, juga Duta Besar (Amerika) di sini," ujar sumber Tempo di Kementerian Luar Negeri tentang langkah pemerintah itu. Amerika, terutama di bawah pemerintahan presiden dari Partai Demokrat, memang dikenal "cerewet" soal hak asasi manusia.
Masjid Istiqlal atau gedung Rektorat Universitas Indonesia bakal menyedot perhatian dunia, bila Obama jadi berpidato di sana. Deputi Penasihat Keamanan untuk Komunikasi Strategis Amerika Ben Rhodes menyatakan Obama ingin bicara tentang pluralisme di tempat terbuka sehingga bisa didengar banyak orang. "Indonesia dipandang sebagai contoh pluralisme tak cuma buat negara Islam, tapi juga warga dunia," ujar Rhodes di Gedung Putih pekan lalu.
Dalam jumpa pers tersebut, Rhodes menyinggung kekhawatiran warga Amerika terhadap umat Islam AS. Survei majalah Time menyebut 61 persen warga Amerika menentang pembangunan Pusat Kebudayaan Islam di dekat Titik Nol—tempat runtuhnya gedung World Trade Centre pada peristiwa 11 September. Nah, menurut Rhodes, Amerika bisa saling belajar dengan Indonesia, negeri dengan mayoritas penduduk muslim tapi memberikan kebebasan bagi pemeluk keyakinan lain.
Persepsi agama yang sering dimainkan Partai Republik tentang Obama dan agamanya barangkali perlu dipertimbangkan. Survei Pew Research Center pada Agustus lalu menyebut hanya 34 persen publik Amerika yang menjawab benar soal agama sang Presiden: Kristen. Walter Lohman, Direktur Pusat Studi Asia di Heritage Foundation, sampai mengingatkan Obama agar tak memberikan sinyal salah saat datang ke Masjid Istiqlal. "Bila temanya adalah pluralisme, lebih baik dia juga mampir ke Gereja Katedral, di seberang Istiqlal," ujar Lohman.
Agenda Obama dalam 24 jam, alhasil, padat bukan main: bertemu dengan Presiden Yudhoyono di Istana, aneka kunjungan, jamuan makan malam, hingga memberikan pidato. Sampai-sampai tak ada jadwal untuk bernostalgia di Jakarta. Kata Ben Rhodes: "Waktunya mepet, jadi Obama tak bisa mengunjungi tempat-tempat masa kecilnya." Lalu dia menambahkan, "Tapi kelak dia akan (berkunjung) ke sana juga, karena ini toh bukan terakhir kalinya Presiden Obama ke Indonesia."
Yophiandi, Hermien Y. Kleden (Jakarta), Dini Djalal (Washington)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo