Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketegangan itu seperti api dalam sekam. Amerika Serikat, yang dulu begitu dominan di Asia, kini perlahan dibayangi Cina, yang tumbuh menjadi kekuatan baru. Negeri Tembok Raksasa telah menggeser Jerman sebagai pengekspor nomor satu di dunia. Kebutuhan Cina akan sumber energi untuk industrinya dikhawatirkan akan menimbulkan masalah, terutama di kawasan yang masih dalam sengketa dengan negara lain, seperti Laut Cina Timur dan Laut Cina Selatan.
"Kekhawatiran itu memang ada," ujar sumber Tempo di Kementerian Luar Negeri tentang persaingan diam-diam antara Amerika dan Cina di kawasan Asia. Dalam berbagai forum, berkali-kali pejabat tinggi Amerika meminta Cina transparan menjelaskan anggaran militernya. Abang Sam juga kerap mendesak Sang Naga merevaluasi mata uang yuan, yang dianggap terlalu lemah.
Bukan kebetulan bila dalam lawatan selama sembilan hari ini Presiden Barack Obama menyambangi India, Indonesia, Korea, dan Jepang. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN, Juni lalu, Menteri Luar Negeri Amerika Hillary Clinton tegas mengatakan, "Stabilitas kawasan Asia menjadi perhatian Amerika."
Kecuali Indonesia, semua negara yang dikunjungi Obama kali ini memiliki hubungan kurang mesra dengan Cina. Jepang sedang bermasalah dengan Cina. Masing-masing mengklaim satu gugusan pulau di Laut Cina Timur sebagai miliknya. Negeri Matahari Terbit menyebut kepulauan itu Senkaku. Sedangkan Cina menamainya Diaoyu.
Klaim wilayah itu merembet ke berbagai masalah lain, dari penahanan kapal nelayan sampai ditahannya impor mineral langka dari Cina ke Jepang. Padahal mineral itu menjadi bahan utama pembuatan peralatan elektronik, seperti komputer dan mesin mobil hibrida.
Korea Selatan juga menjaga jarak dengan Cina karena dukungan Sang Naga kepada rezim Stalinis di Korea Utara. Dengan alasan bersiaga menghadapi Korea Utara, Korea Selatan kerap menggelar latihan perang bersama Amerika di Laut Jepang. Ketegangan merambat setelah dua bulan lalu torpedo Korea Utara menenggelamkan kapal perang Korea Selatan.
Sanjaya Baru, bekas penasihat Perdana Menteri India Manmohan Singh, bahkan terang-terangan menyatakan India dan Amerika menghadapi tantangan yang sama: fundamentalisme Islam, terorisme, dan kekuatan baru Cina. "Tak ada yang ingin melihat Cina sendirian mendominasi kawasan ini," ujarnya seperti dikutip USA Today.
Di Asia Tenggara, Cina makin menunjukkan kehadirannya setelah penandatanganan perjanjian perdagangan bebas ASEAN-Cina, awal tahun ini. Perjanjian itu memberikan akses bagi produk buatan Cina ke pasar Asia Tenggara. Padahal selama ini Amerika dan Jepanglah yang menjadi pemasok utama barang di kawasan itu.
Namun Direktur Pusat Studi Asia Heritage Foundation Walter Lohman mengatakan persoalan Amerika-Cina tak akan segamblang itu dibahas oleh Obama dengan rekan-rekannya di Asia. Amerika juga tak akan menggalang kekuatan melawan Cina bersama negara-negara yang resah ini. "Kalau terjadi demikian, sulit bagi Amerika menjustifikasi posisinya," kata Lohman.
Cina, menurut Lohman, memang sudah tak bisa dibendung. "Mereka sudah duduk dalam perundingan (di tiap negara), bahkan ketika mereka tak disinggung sama sekali," ujarnya.
Direktur Dewan Keamanan Nasional untuk Masalah Asia Jeff Bader menegaskan, hubungan Cina dan Amerika memang kompleks. Tapi kunjungan Obama bukan untuk membahas kekhawatiran soal Cina. "Soal Asia sudah menjadi kebijakan strategis pemerintah, bukan reaksi atas berbagai peristiwa yang terjadi (di Asia)."
Yophiandi, Dini Djalal (Washington)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo