Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

28 Tahun Yang Lalu: Merah Dan ...

Laporan tentang pemberontakan pki-muso di madiun. keterangan beberapa orang yang turut menumpas pemberontakan tersebut. riwayat hidup muso, tertangkapnya amir sjarifudin dan kesan gadis rasid. (lk)

25 September 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

O2:30 dinihari. Sementara para petani Rejoagung masih terlelap, ada beberapa lelaki di rumah Sumarsono yang berdinding kayu. Sumarsono adalah Letkol Lasykar Tentara Masyarakat, anggota Pesindo dan wakil ketua Pimpinan Pusat Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia. Berpenerangan lampu minyak, mereka tampak bersenjata dan sibuk. Kemudian: tar-tar-tar! Sabtu 18 September 1948 itu, dari desa kecil di tepi Madiun, mereka membuka hari dengan letusan pestol 3 kali. Serentak dengan itu dalam waktu 4 jam Madiun mereka kuasai dengan mudah, menduduki gedung-gedung penting dan menangkap pejabat-pejabat sipil dan militer serta orang-orang Republikein. Gerakan ini ternyata sudah di persiapkan seminggu sebelumnya. Ribuan pemuda-pemudi Pesindo bersenjata menguasai desa-desa kecil sekitar Madiun. Malamnya, jam 20:10 Radio Front Nasional Gelora Pemuda (d/h RII Madiun) menyerang Pemerintah yang ketika itu berpusat di Jogya, juga siaran dalam bahasa Belanda pada jam 19:30. Radio itu selanjutnya mengumumkan pengangkatan Kolonel Djokosujono, bekas ketua Biro Perjuangan Kementerian Pertahanan, sebagai Gubernur Militer Mayor Mustapa sebagai opsir keamanan kota Abdulmutalib residen Supardi walikota. Siaran itu ditutup dengan menghasut rakyat supaya melawan Sukarno Hatta dan menfitnah pasukan Siliwangi sebagai 'tentara sewaan Belanda'. Hari-hari berikutnya, 'Pemerintahan Republik Sovyet' yang baru diproklamirkan itu menyiarkan perintah-perintah lewat radio. Desas-desus mulai tersebar: PKI-Muso memberontah. Harian Merdeka, yang terbit di daerah pendudukan Belanda, Jakarta, 2 hari kemudian menurunkan headline: Coup d'etat FDR-PKI di Madiun. Muso Pergunakan Tentara Untuk Gulingkan Pemerintah Benar. Sementara di Madiun disiagakan 1 batalyon, kaum pemberontak juga memasang 'pagar' di beberapa kota di sekitarnya. Batalyon Mursid (Saradan), Batalyon Darmintoadji (Ngawi), Batalyon Djokopriono (Ponorogo), Batalyon Abdulrachman (Kediri), Batalyon Maladi Jusuf (Ponorogo dan Sumoroto), semuanya dari brigade 29 pimpinan Letkol Mohamad Dachlan. Dan koran Api Rakyat yang mereka 'sulap' menjadi harian Front Nasional, pada edisi 20 September 1948 memuat Pengumuman front Nasional tentang 'revolusi rakyat' di Madiun dan sehari kemudian menyiarkan pengumuman Polit Biro PKI berjudul Lawanlah Pengkhianatannja Pendjual Romusha: Sukarno/Hatta. Di Yogya, BP-KNIP dan Kabinet Hatta segera memberi mandat penuh kepada Presiden Sukarno untuk bertindak. Panglima Besar Jenderal Sudirman pun lalu mengingkat Kolonel Gatot Subroto sebagai Gubemur Militer untuk Semarang, Surakarta, Madiun dan Bojonegoro, menggantikan Gubernur Militer Wikana yang ikut memberontak. Berkedudukan di Surakarta, Gatot ditugaskan memimpin operasi tumpas. Karena disinyalir komunis akan bergerak ke timur, Kolonel Sungkono pun diangkat sebagai Gubernur Militer di Jatim. Minggu malam, 19 September, Presiden berseru lewat RRI Yogya: "Ikut Muso dengan PKInya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia Merdeka, atau ikut Sukarno-Hatta yang insyaallah dengan bantuan Tuhan akan memimpin negara Republik Indonesia yang merdeka, tidak dijajah oleh negara apapun juga. Rebut kembali Madiun! Mari, jangan ragu-ragu! Insyaallah, kita pasti menang!" Esoknya, Radio "Gelora Pemuda" menjawab. Muso kembali menyerang Sukarno-Hatta, kemudian Djokosujono mencaci-maki tokoh-tokoh militer seperti Nasution, Simatupane Djatikusumo, sedang Suripno mencoba berdiplomasi, bahwa "gerakan ini hanyalah sekedar koreksi." Beberapa hari sebelumnya, 7 September, Muso sudah berangkat dari Yogya menuju Madiun, disertai tokoh-tokoh PKI: Amir Sjarifudin, Setiadjit, Wikana, Maruto Darusman, Abdulmadjid, Sardjono, Sudisman, Harjono dan Suripno. Alimin tidak ikut, sebab sejak Muso tampil sebagai pimpinan, ia mulai 'tersisih'. Di Madiun mereka menyelenggarakan rapat besar-besaran. Lalu menuju Kediri, Jombang, Cepu, Bojonegoro. Sepanjang jalan mereka 'mempesiapkan' massa dan mengenali medan. Di Purwodadi, 17 September diselenggarakan rapat umum pula, kali ini lebih besar. Tak ada merahputih di sana. Yang dikibar-kibarkan adalah bendera merah bergambar palu arit. Sehari kemudian, 18 September jam 24:00 mereka sudah berkumpul di rumah Sumarsono, Rejoagung . . . Tepat seminggu setelah Muso dan kawan-kawan keliling Jawa-Timur, Surakarta bergolak. PON I di Stadion Sriwedari kacau, pasukan Siliwangi yang menjaga keamanan diserang Pesindo. Mereka juga menyerang asrama Siliwangi di Srambatan sebelah selatan Stasion Sala-Balapan. Pasar Malam Sriwedari di akhir bulan Puasa itu terbakar. Dan sebelumnya, 5 Juli timbul pemogokan di pabrik karung goni Delanggu. Tapi pasukan Merah pimpinan Letkol Sujoto berhasil dihalau, sebagian lari ke utara arah Purwodadi, lainnya ke Selatan, Sukoharjo dan Wonogiri. Di Madiun, tak seluruh rakyat jadi Merah. Kesatuan pelajar dan mahasiswa seperti TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar), TGP (Tentara Genis Pelajar) dan FP (Front Pelajar), tetap setia pada Republik. Juga pelajar-pelajar sipil. Sutopo, juara lari 10.000 meter PON I, begitu kembali ke Madiun menggerakkan kawan-kawannya tapi terbunuh. Tapi ketika 22 September jam 15.00 Pesindo menyerbu asrama TRIP dan Muljadi gugur, kaum merah harus berhadapan dengan angkatan muda. Para pelajar berdemonstrasi setelah memakamkan Muljadi di Taman Pahlawan. Mobil-mobil Pesindo diejek-ejek dan mereka lempari. Dan 27 September, mereka berkumpul depan kantor Kabupaten. Ketika 'Presiden' Abdulmutalib menjanjikan penghapusan uang sekolah, mereka berteriak: "Muljadi minta ganti!". Lalu PAM (Pelajar Anti Muso) bergerak di bawah tanah: pamflet-pamflet anti Merah bermunculan, gadis-gadis membuka warung memata-matai komunis. Sehari setelah menguasai Madiun, komunis menangkapi lawan-lawannya: orang-orang PNI, Masyumi dan kaum Republikein lainnya. Di tempat-tempat lain yang mereka kuasai pun terjadi penangkapan dan pembunuhan. Pramoedya Ananta Toer (ketika itu belum komunis) menulis 'repotase' dalam noveletnya Dia Yang Menyerah (1950). Bukan barang rahasia lagi: penangkapan dan pembunuhan berjalan tiap hari. Dan kabar-kabar itu berpuing-puing tiap ada kesempatan orang mempergunakan pendengarannya. Orang-orang desa jarang datang ke pasar takut pada hukuman mati Pasar jadi sepi... Pemuda-pemuda Pesindo dengan sekaligus teiah menjadi merah. Pemudi-pemudinya demikian pula. Pula sebagian dari anggota angkatan perang Republik yang telah jemu pada keadaan diri dan keadaan kelilingnya. Dan bagi mereka yang bukan Merah, rasa dunia ini telah mulai terbakar. Tiap hari anggota-anggota Merah bergelandangan ke kampung-kampung untuk memaksa penduduk jadi mengeluh: rantaiku dirampas, kainku peninggalan jaman aman disita . . . Wabah, pemberontakan memang tidak menjalar ke wilayah RI lainnya yang akibat perundingan Renville (Januari 1948) tidak meliputi seluruh Nusantara. Tapi di Bojonegoro, Kediri, Blitar, (juga di Sawahlunto, Bukittinggi Solok, Batusangkar), komunis menunjukkan giginya tapi segera bisa ditumpas. Pertahanan mereka agak kuat di Cepu, Ngawi, Purwodadi, Blora karena telah lama mereka kuasai. Di Sala, Gatot Subroto berhasil menguasai keadaan. Lalu memutuskan menjepit Madiun dari 2 jurusan: Siliwangi dari Yogya dan Sala lalu mengunci Ngawi dan Brawijaya dari Kediri langsung menusuk Madiun. Keduanya berangkat 22 September, harus berhasil merebut Madiun dalam 2 minggu dan pembersihan selama 2 bulan. "Kalau hal ini dijalankan, jalan-jalan strategis sudah di tangan kita. Tapi Siliwangi menerobos Madiun lebih dulu," ujar Brigadir Jenderal Daan Jahja, yang ketika itu staf Gatot. Ketika itu Madiun sudah kosong. Mungkin karena 2 hari sebelumnya pesawat-pesawat AURI menyebarkan pamflet-pamflet menganjurkan rakyat membantu Republik dan menyerukan agar pemberontak menyerah. Dibantu Mayor Jonosuwoyo dan Letkol Surachmad, Kolonel Sungkono mengerahkan Divisi VI berangkat dari Kediri. Batalyon Sunandar bergerak ke Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo. Batalyon Mudjajin memotong Ponorogo langsung Madiun. Batalyon Sunarjadi menyusuri Nganjuk dan Saradan. "25 September pasukan kami sudah tiba dekat Madilm, Siliwangi masih jauh," ujar Sungkono (kini Mayjen). 2 pekan lewat di rumahnya jalan Gereja Thersia. "Saya lalu minta ijin Jenderal Sudirman masuk duluan, tapi disarankan menunggu dulu di luar kota." Dalam barisan Sungkono, ikut pula M. Jasin memimpin Mobile Brigade dari Blitar. Karena sebelumnya berhasil menumpas komunis di beberapa tempat di Jawa Timur, Jenderal Sudirman mengirim 2 kurir lewat udara: Jasin diperintahkan ikut menyerbu. Salah seorang kurir itul adalah Kompol Suprapto (kini Mayjen Pol, pimpinan Asuransi Jiwasraya) terjun di alun-alun Blitar. "Dialah penerjun payung Indonesia yang pertama" ujar Mayjen Pol (pensiun) M. Jasin, Presiden Direktur PT Yudha Sakti Tama di lantai 3 Gedung Granadha. Segera Jasin mengajak Komisaris II Sutjipto Judodihardjo dan Komisaris I Sutjipto Danukusumo, bergerak ke sebelah timur gunung Wilis, naik ke Kandangan lalu Banaran dan Dungus. Mendadak Brawijaya terpukul di Nganjuk. Sungkono memerintahkan Jasin membantu. "Segera kami ke sana dan PKI lari kucar-kacir", kata Jasin. Setelah itu pasukan Mobrig ini mendekati Madiun, menguasai Caruban. "Tapi kami tak boleh masuk mendahului Siliwangi, hingga harus menunggu beberapa jam di luar kota", tambahnya. Sementara itu Siliwangi menjepit dari 3 jurusan. Batalyon Daeng menyerbu Cepu dan Blora. Batalyon Nasuhi dan Wiranatakusumah langsung Ponorogo. Bayalyon Kean Santang Sambas dan Lucas Kustarjo lewat selatan dengan sasaran langsung Madiun. Sementara itu dari Yogya Batalyon 'Kala Hitam' Kemal Idris dan Kosasih menuju Pati. Batalyon Kean Santang terdiri dari Kompi Mursjid, Sumantri, Dachjar dan Sjafei, sejak lama sudah berlatih di sekitar gunung Lawu: Sragen-Ngawi-Madiun. Desa-desa kecil di sana sudah mereka hafal. SETELAH menjelajahi kaki Lawu. Mayor Sambas ke Selatan: Sarangan, Plaosan, Gorang-Gareng, menyusuri jalan desa, setengah potong kompas lewat jalan-jalan tikus. "Kami masuk Madiun dari selatan, leat Pagotan dan Uteran", tutur Sambas Atmadinata. (kini Mayjen), yang 1 Agustus kemarin pensiun. "Ketika itu PKI menjaga jalan-jalan besar sebelah barat Madiun, hingga ketika kami tusuk dari selatan, mereka panik". Sambas mengakui, pasukannya tidak mobil, itu pun hanya membawa 1 radio kecil saja. "Tapi disiplin dan semangat tempurnya sangat tinggi. Dan kami berpegang pada taktik pendadakan," ujarnya. Gadis Rasid, ketika itu wartawati Siasat/Pedoman dan baru 24 tahun, adalah satu-satunya yang mengikuti operasi Sambas. Tulisnya khusus untuk TEMPO: Waktu itu tidak ada pakaian seragam yang betul. Sebab, pakaian pun rampasan dari Belanda. Banyak prajurit tidak bersepatu. Penutup kepala pun diimprovisasikan. Yang paling hebat ialah, hampir tidak mempunyai alat komunikasi, pesawat radio sedikit sekali. Dan hampir tidak ada kendaraan. Ini berarti: jalan kaki. Itulah sebabnya operasi ini makan waktu 5 hari, dihitung dari Surakarta. Jadi ini bukanlah gerakan Militer seperti invasi Normandi dalam Perang Dunia ke dua ketika Sekutu melancarkan ofensif balasan memusnahkan Hitler. Juga tak dapat disamakan dengan operasi Jendral Montgomerv di pantai Afrika Utara menghancurkan Jerman yang dipimpin Jendral RommeL Lain sekali . . . Mengingat kembali kejadian-kejadian selama ikut operasi jalan kaki dari Sala ke Tawangmangu, naik gunung lewat Cemoro Sewu, turun ke Sarangan, melalui Magetan (sebagian pasukan) atau Maospati (bagian lain), kemudian ke selatan dan timur melalui pembantaian korban komunis di Gorang-Gareng, belok ke utara lagi dan akhirnya masuk Madiun dari selatan saya menggeleng-gelengkan kepala dan ketawa. . . Tapi Gadis Rasid sendiri tidak ikut Siliwangi mengiris perbatasan Madiun. Selama 5 hari 5 malam jalan kaki itu. Batalyon Kean Santang tidak melayani tembakan-tembakan musuh, apalagi yang dari belakang. "Kalau dilayani, akan terlambat," kata Sambas. Mereka jalan terus. Akhirnya berhasil masuk Madiun 1 hari lebih cepat dari rencana: 30 September, jam 16.45. Ketika masih di Pagotan. Kompi Mursjid mendapat perlawanan dari sebuah pabrik gula, tapi berhasil disapu. Lalu iseng-iseng memeriksa stasion kereta api yang sudah sepi. "Tiba-tiba terdengar telepon berdering. Ternyata dari Madiun, menanyakan apakah Pagotan aman, apakah Siliwangi sudah datang. Suara dalam bahasa Jawa dialaek Jawa Timur itu saya jawab: aman, Siliwangi masih jauh," tutur Mursjid yang kini juga Mayjen. Dan sambil meletakkan gagang telepon, Mursjid menggerutu: "Hati-hati kamu, ntar saya tangkap." Esoknya menuju Uteran dan menyiapkan beberapa dokar. "Menjelang masuk Madiun, dokar-dokar kami tinggalkan di jalan." Kompi Mursjid masuk tepat di alun-alun kota. Tembakan-tembakan dari kantor Kabupaten tak ada artinya sama sekali. Sementara itu jam 20:00 terdengar suara Kapten Darsono, wakil Sambas, lewat corong RRI Madiun, mengumumkan kemenangan. Baru setelah itu Brawijaya masuk dari timur. Beberapa hari kemudian Kolonel Sungkono ambil kebijaksanaan: Madiun dibagi dua, sebelah barat dibersihkan Siliwangi, sebelah timur oleh Brawijaya. Sehari kemudian, Muso dan kawan-kawan yang lari ke tenggara arah Dungus dikejar. Dungus penuh dengan gua-gua perlindungan peninggalan Jepang, mungkin dengan perhitungan sebagai pertahanan selama 6 bulan. Di Kresek tak jauh dari Dungus, lagi-lagi komunis membunuh sejumlah orang. Tak kurang dari 1000 orang disembelih algojo Suhodo yang sangat terkenal kekelamannya. Darah melimpah setebal 2 senti di lantai. Cerita tentang inilah yang waktu "Gestapu" diingat orang kembali, yang menyebabkan rasa takut --hingga merekapun bererak mendahului membunuhi orang-orang PKI 17 tahun kemudian, dengan cara yang mengerikan pula. Harian Nasional yang ketika itu terbit di Yogya menyiarkan laporan Gadis Rasid: Beberapa orang yang masih hidup menceritakan bahwa sebelum kaum pengacau melarikan diri, dua orang menembaki kaum tawanan dari luar melalui jendela. Tak akan saya lupakan pemandangan itu. Badan manusia yang tidak berdosa berbaring terjatuh dalam sebuah kolam darah! Batalyon Sunandar Prijosudarmo (kini Gubernur Jawa Timur) yang membersihkan wilayah sebelah timur, 5 Oktober menduduki Ponorogo. Sisa-sisa kaum Merah berserakan di pegunungan Sewu. Pacitan. Akhir Oktober, bersama Kapten Supomo, Lettu Sumadi, Serma Sutadji, Prada Nawawi, ia menuju Sumoroto dan Balong berkendaraan sedan. Di Semanding berjumpa dengan bendi. Kusirnya seorang lelaki gemuk, dengan aman melewati penjagaan militer. Mendadak sang kusir menembak ban mobil tapi tak kena. Mobil dihentikan dan penumpangnya turun berlindung. Mengemasi peluru-peluru di mobl. Lettu Sumadi terlambat turun. Prad Nawawi menembakkan stengun, mengenai kaki kuda. Seperti koboi, sang kusir melompat sembari menembak-nembakan 2 pestol di kedua belah tangannya. Tak mengenai sasaran, ia lalu lari masu mobil yang mesinnya masih hidup. Segera Sumadi menembak bannya: kemudian Sang koboi nekad melarikan mobil para Balong. Tapi mendadak mesinnya macet karena rem tangan masih bekerja. Beberapa lama, Sumadi dan "koboi itu baku tembak. Tak satu pun yang mengenai sasaran. Stengun Sumadi yang bikinan Republik itu, sial, baru beberapa kali ditembakkan sudah macet. Sang koboi berlindung di sebuah pohon besar. Keduanya saling intip-mengintip, berputar-putar. "Persis seperti anak-anak main tembak saja," tutur Suma kini Mayjen berusia 50 tahun, anggota DPR fraksi ABRI. Tiba-tiba sang "koboi" lari, menyusup ke Warung Ponorogo sembari berteriak: "Muso pantang menyerah! Muso pantang menyerah. Barulah diketahui siapa dia sebenarnya. Sebelumnya Sumadi dan kawan-kawan cuma mengira anggota gerombolan Merah biasa saja. Ketika pertama kali Muso menembak mobil barangkali ia curiga, merasa dikuntit. Apalagi mobil itu berbendera komandan. (Belakangan juga diketahui bahwa di Semanding, Muso telah menembak polisi yang memeriksa surat-suratnya). Tak lama, datang bantuan: 1 regu peleton Mustadjab dipimpin Serma Abdul Rachman. Sumaai meminjam senjata otomatis, lalu bersama 2 pembantunya menyerang Muso dari utara. Yang lain mengepung dari timur dan selatan. Dengan peluru yang ia ambil dari mobil, termasuk FN 32, Muso bertahan. "Tembak-menembak cukup dekat. Cuma berjarak 1-10 meter' tutur Sumadi lagi. Akhirnya gembong pemberontak ini tertembak di kamar mandi penduduk, dalam jarak sangat dekat. Rakyat berkerumun, berebut mau mencincang. Tapi Sumadi berhasil mencegahnya. "Rupanya rakyat mulai sadar bahwa Muso akhirnya toh bisa mati juga. Sebelumnya didesas-desuskan bahwa Muso itu warok yang kebal peluru," tambah Sumadi. Mayat Muso dibawa ke Sumoroto dengan bendi. Setelah mendapat laporan, dari Ponorogo Kapten Sumartono datang membawa tawanan-tawanan ini untuk mengenali mayat itu. Ternyata benar Muso. Di Ponorogo, selain Kolonel Sungkono, Presiden Sukarno sendiri kabarnya memerlukan membuktikan sendiri kematian Muso. Sebulan kemudian konon rakyat Sumoroto membakar mayat Muso di satu tempat. Muso alias Musodo lahir di desa Pegu Papar, Kediri, anak Mas Martorejo. Masa kecil pernah mengaji di surau, setelah dewasa masuk Sarekat Islam dan mondok di rumah HOS Tjokroaminoto bersama Ir. Sukamo. Gagal mencetuskan pemberontakan tahun 1926 melawan Belanda ia lari ke Moskow. Sembilan tahun kemudian diam-diam ia menyusup ke Jawa, membangun PKI kembali. Menurut Hatta, "satu kali Muso pernah membikin berantakan gerakan rakyat." Dan Muso menjawab: "Hatta harus berguru dulu pada saya." Kembali lagi ke Indonesia 11 Agustus 1948 menyamar sebagai Suripto, sekretaris pribadi Suripno, pejabat Perwakilan RI di Praha. Suripno yang aslinya Rochadi, lahir di Klaten, 18 Pebruari 1920. Setahun setelah menghadiri Konperensi Pemuda (komunis) dan Kalkuta 1947 Suripno ke Moskow "mengadakan penukaran konsol"-antara RI - Uni Sovyet. Kedatangan diplomat 28 tahun ini ke tanah air, atas panggilan Presiden Sukarno, setelah terdengar kabar Suripno mengadakan pertukaran konsol dengan Uni Sovyet. Yang juga terjadi ialah: Suripno menemui Muso lalu membawanya kembali ke Indonesia setelah mendapat 'perintah lengkap' dari Moskow. Di sini, Muso melancarkan koreksi total dalam tubuh PKI yang dibangunnya kembali tahun 1935. Terkenal dengan Koreksi Besar Muso hasilnya fusi antara partai-partai kiri: Partai Sosialis, Partai Buruh, SOBSI dan lain-lain ke dalam FDR/PKI (akhir Agustus 1948). Berselisih dengan Amir, kemudian Sjahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Setelah itu, persetujuan Renville yang dihasilkan oleh Kabinet Amir (dan didukung oleh partai-partai kiri) tiba-tiba ditolak. Amir sendiri yang kemudian diserahi Sekretariat Urusan Pertahanan mengakui kesalahannya, antara lain menyerahkan Kabinet kembali kepada Presiden. SETELAH Madiun jatuh, di mana Amir? Tokoh-tokoh PKI seperti Muso, Amir, Djoko, sujono, Abdulmutalib, Maruto Darusman, Suripno, Sumarsono, Fransisca Fangiday, Katamhadi, Ronomarsono, D. Mangku buru-buru mengundurkan diri ke Dungus dan Ngebel dalam keadaan kacau-balau. Dikawal sepasukan tentara merah dan ribuan pemuda-pemudi Pesindo bersenjata lengkap berikut kaum ibu dan anak-anak, mereka membawa berjuta-uta ORI (Oeang RI), berkarung-karung beras, mesin tulis, mobil-mobil rusak, amunisi, kambing, ayam, kereta cikar, bendi, kuda berceceran di jalan. Hanya dokumen-dokumen tertulis saja yang tak ketinggaian. Mereka jalan kaki, sebagian berkuda. Sampai di Balong, Muso berselisih dengan Amir. Hanya dikawal beberapa orang ia bertualang ke selatan, terdampar di pegunungan sekitar Ponorogo. Sementara itu induk pasukan Amir menyusuri jalan desa menuju Tegalombo terus ke Pacitan. Dari sini ke Kismantoro dan di Purwantoro bertemu dengan pasukan Ahmad Jadau yang lari dari Sala hingga bertambah kuat. Atas saran Jadau, mereka bergerak ke utara. Tapi kecele, sebab Wonogiri sudah jatuh ke tangan RI. Kembali ke Purwantoro lagi, membelok kiri mendaki kaki gunung Lawu, menembus desa Jeruk, Ngrete, Watusono dan ebang di pegunungan kapur yang tandus. Iring-iringan yang tak kurang dari 2.000 orang ini dikawal oleh anak-anak Pesinco, di depan, belakang, lambung kiri dan kanan --tak ubahnya sebuah karavan di padang tandus. Di Kebang, rombongan sipil yang dipimpin Abdulmutalib terpisah dari induk pasukan, kepergok TNI dan sebagian tersesat di hutan. Dan di Girimarto, 5 Nopember, Abdulmutalib dan Sriatin (sekretarisnya, gadis Pesindo) tertangkap. Pramoedya menggambarkan karavan Amir itu begini: Hari itu masih pagi benar. Lalulintas mati. Beribu-ribu pasukan Merah yang datang dari jurusan timur dan selatan memadati jalan-jalan kota kami yang sempit itu -- dengan tiba-tiba saja. Warna Merah berkibar-kibar di tiap kepala mereka. Juga gelang dan kalung janur kuning tanda pasukan yang sedang menyerbu dengan seluruh kepercayaan akan datangnya kemenangan di pihaknya. Para pengikut Merah bersorak gegap-gempita menyambut induk pasukan yang datang itu. Dan dengan tiada mereka ketahui sendiri, jenderal besar mereka ada pula di tengah-tengah pasukan yang sedang datang itu Sorak yang gemuruh itu tak membangkitkan reaksi apa-apa di kalangan pasukan yang sedang datang itu. Muka mereka kuyu-kuyu seperti banyak hal yang wajib mereka pikirkan. Kadang-kadang di tengah-tengah barisan yang bersaf-saf duabelas-duabelas itu terdapat usungan. Dan di atas usungan itu: mait atau orang yang mengerang kesakitan. Senjata yang ada pada mereka hampir seluruhnya baru -- senjata yang sepanjang pengetahuan penduduk kota kecil itu belum pernah dimiliki oleh angkatan perang dan mengkilat-kilat itu, tak ada seorang pun berani menanyakan. Memikirkan pun barangkali tak berani Langsung saja berisan itu menduduki gedung-gedung yang bagus, mengusir isinya -- hidup atau tak hidup -- dan segera saja tiap tubuh di antara mereka merebahkan diri di lantai dingin . . . Sore hari itu, pasukan Merah yang terpukul mundur oleh Siliwangi bergerak dari semua asramanya: mencari mangsa! Tiap rumah dimasuki! Penggeledahan berulang! Penggeledahan selalu dan selalu berulang dalam tahun-tahun peperangan itu. Tiap benda yang terbuat dari emas dan perak disita. Kemudian: kambing, sapi dan ayam, dan buah-buahan yang sedang memasak di pohon-pohonnya. Dan semua itu diangkuti ke markas untuk pengisi perut yang lapar Dengan sengsara karavan merangkak ke Tawangmangu di kaki Lawu. Maksudnya mungkin hendak menemui pasukan Sujoto yang kabarnya masih menguasai Purwodadi. Atau ke Bojonegoro. Baru sampai di Tawangmangu, mereka dipukul oleh Kean Santangnya Sambas. Buyar, sebagian lari ke selatan. Tapi Amir tak mau kembali. Karavannya belok ke kanan, Sarangan, yang sepi dari penjagaan, lalu ke utara: Ngrambe dan Walikukun. Di sana mengasoh. Saat itulah lewat iringan mobil di jalan Sala-Madiun. Mereka menyergapnya, semua penumpangnya disembelih, antara lain R.M. Surjopranoto, bekas Gubernur Jatim yang ketika itu Ketua DPA. Karavan meneruskan perjalanan ke Ngawi, menjelajahi hutan jati, menyeberangi Bengawan Sala menuju Cepu. Ternyata pasukan Sujoto di Cepu, Blora, Pati dan Purwodadi telah habis disengat oleh pasukan Kala Hitamnya Kemal Idris. Maka sia-sialah Amir. Berkilo-kilometer jalan kaki, hanya untuk ketemu Sujoto. Sebenarnyalah, Sujoto bekaravan pula ke timur mencarinya, ketika didengarnya pasukan Djokosujonomasih menguasai Ponorogo. Ketika Amir 2 hari istirahat di Sarangan, Sujoto sudah menyeberangi Bengawan Sala. Tak jauh dari Madiun, 25 Nopember Sujoto menyerah. Sebagian anak-buahnya kembali ke pangkuan RI. Malah seorang rekannya, Letkol Sudiarto kemudian ikut menumpas RMS dan gugur di Ambon. Sementara sisa-sisa Sujoto masih juga menuju Madiun, Amir bergerak ke Cepu, lalu Purwodadi, lewat jalan hutan. Perbekalan mulai menipis mereka makan jagung, ubi mentah atau daun-daun muda. Banyak yang jatuh sakit. Amir sendiri terserang disentri. Sampai di Brati sebelah barat Purwodadi, 26 Nopember, Amir mendekati garis demarkasi RI-Belanda. Tapi di rawa-rawa Godong, dekat Nawangan, Kala Hitam menyergap mereka. Djokosujono, Maruto Darusman, Francisca Fangiday tertangkap. Juga puluhan pemuda-pemudi Pesindo. Amir lolos di Brati, pengawalnya tinggal puluhan. Mereka, tergesa menyeberangi sungai Lusi menuju Klampok -- dan Beringin, 7 kilometer dari Purwodadi yang berpaya-paya dan sepi. Baru sehari berkecupak di rawa-rawa bernyamuk itu, Seksi I Siradz dan Seksi III Sarmada dari Batalyon Kala Hitam mengergapnya. Tapi Amir sempat menggugurkan Kapten Hamid yang menghadangnya. Sisa-sisa karavan ini lalu bersembunyi di Klambu karena hari mulai malam. Paginya. Siradz dan Sarmada kembali mengepung. Gerombolan menyerah, antara lain terdapat Letkol Maladi Jusuf. Amir dan Jadau sekali lagi lolos, lalu kembali ke selatan, menyeberangi sungai Lusi menuju rawa-rawa Godong dekat hutan Ketu yang lebat dan terkenal angker. Pagi-pagi sekali, Kompi Effendi lalu menugaskan Peleton Suratman mengejar Amir. Yang lain menghadang dan menutup jalan-jalan. "Pertempuran di hutan berawa-rawa itu sulit sekali. Pandangan terhalang oleh pepohonan. Dan musuh banyak yang sembunyi di balik glagah dan alang-alang," tutur Mayjen E. Suratman, yang 1 Agustus kemarin pensiun sebagai Inspektur Jendral Kekaryaan Hankam. Amir dan kawan-kawan terjebak dan buru-buru balik ke utara. Sampai di tepi hutan Klambu, sekali lagi mereka menyeberangi sungai Lusi. Tapi terhalang oleh tembakan anakbuah Suratman. Menjelang tengah-hari, Suratman konsolidasi di pinggir jalan kereta api. Ternyata prajurit Mamad tak hadir. Jam 14:00 jenazah Mamad yang luka akibat bacokan-bacolan ditemukan di semak-semak. Pasukan Kala Hitam semakin gemas, mereka memeriksa belukar dan ilalang. Tiba-tiba tampak sekelompok orang melepaskan lelah, kelihatannya memang cape sekali. Mereka mengaku sebagai tawanan PKI. Kala Hitam curiga. Dan karena ada yang bersenjata, mereka dilucuti lalu digiring ke pos terdekat. Setelah istirahat dan diberi makan diperiksa. Ternyata mereka adalah Amir Sjarifudin, Achmad Jadau, Suripno, Harjono. Tokoh-tokoh ini tampaknya sudah putus-asa, kelelahan dan kelaparan. Bagaimanapun, mereka adalah orang kota yang tak terbiasa berkeliaran di hutan dan rawa-rawa. Dalam penggerebegan itu tertangkap pula Zero, anjing herder milik Amir Sjarifudin. Dalam perjalanan (kaki) ke Purwodadi, iring-iringan diawali oleh 1 regu kemudian jenazah prajurit Mamad, disusul Letnan E. Suratman, lalu dibelakangnya para tawanan. Paling belakang regu kawal lainnya. Di sepanjang jalan, rakyat menyambut meriah. Mereka ingin melihat gembong-gembong PKI yang tertangkap. Mereka berteriak-teriak "bunuh saja, bunuh saja!" Yang berusaha membalas-dendam, setelah familinya dijagal di beberapa tempat sekitar Purwodadi, dapat dicegah. Tapi ada seorang pemuda yang tak mampu mengendalikan diri. Setelah tahu para tawanan berjalan di belakang jenazah, ia menerobos barisan. "Dan tiba-tiba melompat, menerobos langsung meninju saya," tutur Suratman. Segera Suratman mencabut pestol dan menodongkannya ke arah pemuda kalap itu, yang segera pula diringkus oleh para pengawal. "Maklum, ketika itu pakaian saya sudah lusuh, hingga tak jauh berbeda dengan para tawanan. Setelah menyadari kekhilafannya, ia kami lepaskan," tambah Suratman. Gembong-gembong komunis itu kemudian dibawa ke Surakarta. Dan setelah diperiksa di ibukota Yogya, dipenjarakan di Rumah Penjara Surakarta jalan Pasar Pon. Menjelang agresi Belanda kedua, dan Surakarta akan diserang Belanda, bulan Desember 1948 Amir dan kawan-kawan dihukum militer, ditembak mati di desa Ngalihan, Karanganyar. Sebelum ditembak, Amir bersembahyang secara Kristen (kitab Injil memang selalu dibawanya) dan menyanyikan lagu "Internationale" Dua tahun kemudian bulan Nopember, setelah merasa kuat kembali, PKI memperingati ulangtahunnya dengan menyelenggarakan upacara di Ngalihan . . .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus