O2:30 dinihari. Sementara para petani Rejoagung masih terlelap,
ada beberapa lelaki di rumah Sumarsono yang berdinding kayu.
Sumarsono adalah Letkol Lasykar Tentara Masyarakat, anggota
Pesindo dan wakil ketua Pimpinan Pusat Badan Kongres Pemuda
Republik Indonesia. Berpenerangan lampu minyak, mereka tampak
bersenjata dan sibuk. Kemudian: tar-tar-tar! Sabtu 18 September
1948 itu, dari desa kecil di tepi Madiun, mereka membuka hari
dengan letusan pestol 3 kali.
Serentak dengan itu dalam waktu 4 jam Madiun mereka kuasai
dengan mudah, menduduki gedung-gedung penting dan menangkap
pejabat-pejabat sipil dan militer serta orang-orang Republikein.
Gerakan ini ternyata sudah di persiapkan seminggu sebelumnya.
Ribuan pemuda-pemudi Pesindo bersenjata menguasai desa-desa
kecil sekitar Madiun. Malamnya, jam 20:10 Radio Front Nasional
Gelora Pemuda (d/h RII Madiun) menyerang Pemerintah yang ketika
itu berpusat di Jogya, juga siaran dalam bahasa Belanda pada
jam 19:30.
Radio itu selanjutnya mengumumkan pengangkatan Kolonel
Djokosujono, bekas ketua Biro Perjuangan Kementerian Pertahanan,
sebagai Gubernur Militer Mayor Mustapa sebagai opsir keamanan
kota Abdulmutalib residen Supardi walikota. Siaran itu ditutup
dengan menghasut rakyat supaya melawan Sukarno Hatta dan
menfitnah pasukan Siliwangi sebagai 'tentara sewaan Belanda'.
Hari-hari berikutnya, 'Pemerintahan Republik Sovyet' yang baru
diproklamirkan itu menyiarkan perintah-perintah lewat radio.
Desas-desus mulai tersebar: PKI-Muso memberontah. Harian
Merdeka, yang terbit di daerah pendudukan Belanda, Jakarta, 2
hari kemudian menurunkan headline: Coup d'etat FDR-PKI di
Madiun. Muso Pergunakan Tentara Untuk Gulingkan Pemerintah
Benar. Sementara di Madiun disiagakan 1 batalyon, kaum
pemberontak juga memasang 'pagar' di beberapa kota di
sekitarnya. Batalyon Mursid (Saradan), Batalyon Darmintoadji
(Ngawi), Batalyon Djokopriono (Ponorogo), Batalyon Abdulrachman
(Kediri), Batalyon Maladi Jusuf (Ponorogo dan Sumoroto),
semuanya dari brigade 29 pimpinan Letkol Mohamad Dachlan. Dan
koran Api Rakyat yang mereka 'sulap' menjadi harian Front
Nasional, pada edisi 20 September 1948 memuat Pengumuman front
Nasional tentang 'revolusi rakyat' di Madiun dan sehari kemudian
menyiarkan pengumuman Polit Biro PKI berjudul Lawanlah
Pengkhianatannja Pendjual Romusha: Sukarno/Hatta.
Di Yogya, BP-KNIP dan Kabinet Hatta segera memberi mandat penuh
kepada Presiden Sukarno untuk bertindak. Panglima Besar Jenderal
Sudirman pun lalu mengingkat Kolonel Gatot Subroto sebagai
Gubemur Militer untuk Semarang, Surakarta, Madiun dan
Bojonegoro, menggantikan Gubernur Militer Wikana yang ikut
memberontak. Berkedudukan di Surakarta, Gatot ditugaskan
memimpin operasi tumpas. Karena disinyalir komunis akan bergerak
ke timur, Kolonel Sungkono pun diangkat sebagai Gubernur Militer
di Jatim.
Minggu malam, 19 September, Presiden berseru lewat RRI Yogya:
"Ikut Muso dengan PKInya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita
Indonesia Merdeka, atau ikut Sukarno-Hatta yang insyaallah
dengan bantuan Tuhan akan memimpin negara Republik Indonesia
yang merdeka, tidak dijajah oleh negara apapun juga. Rebut
kembali Madiun!
Mari, jangan ragu-ragu! Insyaallah, kita pasti menang!" Esoknya,
Radio "Gelora Pemuda" menjawab. Muso kembali menyerang
Sukarno-Hatta, kemudian Djokosujono mencaci-maki tokoh-tokoh
militer seperti Nasution, Simatupane Djatikusumo, sedang Suripno
mencoba berdiplomasi, bahwa "gerakan ini hanyalah sekedar
koreksi."
Beberapa hari sebelumnya, 7 September, Muso sudah berangkat
dari Yogya menuju Madiun, disertai tokoh-tokoh PKI: Amir
Sjarifudin, Setiadjit, Wikana, Maruto Darusman, Abdulmadjid,
Sardjono, Sudisman, Harjono dan Suripno. Alimin tidak ikut,
sebab sejak Muso tampil sebagai pimpinan, ia mulai 'tersisih'.
Di Madiun mereka menyelenggarakan rapat besar-besaran. Lalu
menuju Kediri, Jombang, Cepu, Bojonegoro. Sepanjang jalan mereka
'mempesiapkan' massa dan mengenali medan. Di Purwodadi, 17
September diselenggarakan rapat umum pula, kali ini lebih besar.
Tak ada merahputih di sana. Yang dikibar-kibarkan adalah bendera
merah bergambar palu arit. Sehari kemudian, 18 September jam
24:00 mereka sudah berkumpul di rumah Sumarsono, Rejoagung . . .
Tepat seminggu setelah Muso dan kawan-kawan keliling Jawa-Timur,
Surakarta bergolak. PON I di Stadion Sriwedari kacau, pasukan
Siliwangi yang menjaga keamanan diserang Pesindo. Mereka juga
menyerang asrama Siliwangi di Srambatan sebelah selatan Stasion
Sala-Balapan. Pasar Malam Sriwedari di akhir bulan Puasa itu
terbakar. Dan sebelumnya, 5 Juli timbul pemogokan di pabrik
karung goni Delanggu. Tapi pasukan Merah pimpinan Letkol Sujoto
berhasil dihalau, sebagian lari ke utara arah Purwodadi, lainnya
ke Selatan, Sukoharjo dan Wonogiri.
Di Madiun, tak seluruh rakyat jadi Merah. Kesatuan pelajar dan
mahasiswa seperti TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar), TGP
(Tentara Genis Pelajar) dan FP (Front Pelajar), tetap setia pada
Republik. Juga pelajar-pelajar sipil. Sutopo, juara lari 10.000
meter PON I, begitu kembali ke Madiun menggerakkan
kawan-kawannya tapi terbunuh. Tapi ketika 22 September jam 15.00
Pesindo menyerbu asrama TRIP dan Muljadi gugur, kaum merah harus
berhadapan dengan angkatan muda.
Para pelajar berdemonstrasi setelah memakamkan Muljadi di Taman
Pahlawan. Mobil-mobil Pesindo diejek-ejek dan mereka lempari.
Dan 27 September, mereka berkumpul depan kantor Kabupaten.
Ketika 'Presiden' Abdulmutalib menjanjikan penghapusan uang
sekolah, mereka berteriak: "Muljadi minta ganti!". Lalu PAM
(Pelajar Anti Muso) bergerak di bawah tanah: pamflet-pamflet
anti Merah bermunculan, gadis-gadis membuka warung memata-matai
komunis.
Sehari setelah menguasai Madiun, komunis menangkapi
lawan-lawannya: orang-orang PNI, Masyumi dan kaum Republikein
lainnya. Di tempat-tempat lain yang mereka kuasai pun terjadi
penangkapan dan pembunuhan. Pramoedya Ananta Toer (ketika itu
belum komunis) menulis 'repotase' dalam noveletnya Dia Yang
Menyerah (1950).
Bukan barang rahasia lagi: penangkapan dan pembunuhan berjalan
tiap hari. Dan kabar-kabar itu berpuing-puing tiap ada
kesempatan orang mempergunakan pendengarannya. Orang-orang desa
jarang datang ke pasar takut pada hukuman mati Pasar jadi sepi...
Pemuda-pemuda Pesindo dengan sekaligus teiah menjadi merah.
Pemudi-pemudinya demikian pula. Pula sebagian dari anggota
angkatan perang Republik yang telah jemu pada keadaan diri dan
keadaan kelilingnya. Dan bagi mereka yang bukan Merah, rasa
dunia ini telah mulai terbakar. Tiap hari anggota-anggota Merah
bergelandangan ke kampung-kampung untuk memaksa penduduk jadi
mengeluh: rantaiku dirampas, kainku peninggalan jaman aman
disita . . .
Wabah, pemberontakan memang tidak menjalar ke wilayah RI lainnya
yang akibat perundingan Renville (Januari 1948) tidak meliputi
seluruh Nusantara. Tapi di Bojonegoro, Kediri, Blitar, (juga di
Sawahlunto, Bukittinggi Solok, Batusangkar), komunis menunjukkan
giginya tapi segera bisa ditumpas. Pertahanan mereka agak kuat
di Cepu, Ngawi, Purwodadi, Blora karena telah lama mereka
kuasai.
Di Sala, Gatot Subroto berhasil menguasai keadaan. Lalu
memutuskan menjepit Madiun dari 2 jurusan: Siliwangi dari Yogya
dan Sala lalu mengunci Ngawi dan Brawijaya dari Kediri langsung
menusuk Madiun. Keduanya berangkat 22 September, harus berhasil
merebut Madiun dalam 2 minggu dan pembersihan selama 2 bulan.
"Kalau hal ini dijalankan, jalan-jalan strategis sudah di tangan
kita. Tapi Siliwangi menerobos Madiun lebih dulu," ujar Brigadir
Jenderal Daan Jahja, yang ketika itu staf Gatot. Ketika itu
Madiun sudah kosong. Mungkin karena 2 hari sebelumnya
pesawat-pesawat AURI menyebarkan pamflet-pamflet menganjurkan
rakyat membantu Republik dan menyerukan agar pemberontak
menyerah.
Dibantu Mayor Jonosuwoyo dan Letkol Surachmad, Kolonel Sungkono
mengerahkan Divisi VI berangkat dari Kediri. Batalyon Sunandar
bergerak ke Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo. Batalyon Mudjajin
memotong Ponorogo langsung Madiun. Batalyon Sunarjadi menyusuri
Nganjuk dan Saradan. "25 September pasukan kami sudah tiba dekat
Madilm, Siliwangi masih jauh," ujar Sungkono (kini Mayjen). 2
pekan lewat di rumahnya jalan Gereja Thersia.
"Saya lalu minta ijin Jenderal Sudirman masuk duluan, tapi
disarankan menunggu dulu di luar kota."
Dalam barisan Sungkono, ikut pula M. Jasin memimpin Mobile
Brigade dari Blitar. Karena sebelumnya berhasil menumpas komunis
di beberapa tempat di Jawa Timur, Jenderal Sudirman mengirim 2
kurir lewat udara: Jasin diperintahkan ikut menyerbu. Salah
seorang kurir itul adalah Kompol Suprapto (kini Mayjen Pol,
pimpinan Asuransi Jiwasraya) terjun di alun-alun Blitar.
"Dialah penerjun payung Indonesia yang pertama" ujar Mayjen Pol
(pensiun) M. Jasin, Presiden Direktur PT Yudha Sakti Tama di
lantai 3 Gedung Granadha. Segera Jasin mengajak Komisaris II
Sutjipto Judodihardjo dan Komisaris I Sutjipto Danukusumo,
bergerak ke sebelah timur gunung Wilis, naik ke Kandangan lalu
Banaran dan Dungus. Mendadak Brawijaya terpukul di Nganjuk.
Sungkono memerintahkan Jasin membantu. "Segera kami ke sana dan
PKI lari kucar-kacir", kata Jasin. Setelah itu pasukan Mobrig
ini mendekati Madiun, menguasai Caruban. "Tapi kami tak boleh
masuk mendahului Siliwangi, hingga harus menunggu beberapa jam
di luar kota", tambahnya.
Sementara itu Siliwangi menjepit dari 3 jurusan. Batalyon Daeng
menyerbu Cepu dan Blora. Batalyon Nasuhi dan Wiranatakusumah
langsung Ponorogo. Bayalyon Kean Santang Sambas dan Lucas
Kustarjo lewat selatan dengan sasaran langsung Madiun. Sementara
itu dari Yogya Batalyon 'Kala Hitam' Kemal Idris dan Kosasih
menuju Pati. Batalyon Kean Santang terdiri dari Kompi Mursjid,
Sumantri, Dachjar dan Sjafei, sejak lama sudah berlatih di
sekitar gunung Lawu: Sragen-Ngawi-Madiun. Desa-desa kecil di
sana sudah mereka hafal.
SETELAH menjelajahi kaki Lawu. Mayor Sambas ke Selatan:
Sarangan, Plaosan, Gorang-Gareng, menyusuri jalan desa, setengah
potong kompas lewat jalan-jalan tikus. "Kami masuk Madiun dari
selatan, leat Pagotan dan Uteran", tutur Sambas Atmadinata.
(kini Mayjen), yang 1 Agustus kemarin pensiun. "Ketika itu PKI
menjaga jalan-jalan besar sebelah barat Madiun, hingga ketika
kami tusuk dari selatan, mereka panik".
Sambas mengakui, pasukannya tidak mobil, itu pun hanya membawa
1 radio kecil saja. "Tapi disiplin dan semangat tempurnya sangat
tinggi. Dan kami berpegang pada taktik pendadakan," ujarnya.
Gadis Rasid, ketika itu wartawati Siasat/Pedoman dan baru 24
tahun, adalah satu-satunya yang mengikuti operasi Sambas.
Tulisnya khusus untuk TEMPO: Waktu itu tidak ada pakaian seragam
yang betul. Sebab, pakaian pun rampasan dari Belanda. Banyak
prajurit tidak bersepatu. Penutup kepala pun diimprovisasikan.
Yang paling hebat ialah, hampir tidak mempunyai alat komunikasi,
pesawat radio sedikit sekali. Dan hampir tidak ada kendaraan.
Ini berarti: jalan kaki. Itulah sebabnya operasi ini makan
waktu 5 hari, dihitung dari Surakarta.
Jadi ini bukanlah gerakan Militer seperti invasi Normandi dalam
Perang Dunia ke dua ketika Sekutu melancarkan ofensif balasan
memusnahkan Hitler. Juga tak dapat disamakan dengan operasi
Jendral Montgomerv di pantai Afrika Utara menghancurkan Jerman
yang dipimpin Jendral RommeL Lain sekali . . .
Mengingat kembali kejadian-kejadian selama ikut operasi jalan
kaki dari Sala ke Tawangmangu, naik gunung lewat Cemoro Sewu,
turun ke Sarangan, melalui Magetan (sebagian pasukan) atau
Maospati (bagian lain), kemudian ke selatan dan timur melalui
pembantaian korban komunis di Gorang-Gareng, belok ke utara lagi
dan akhirnya masuk Madiun dari selatan saya menggeleng-gelengkan
kepala dan ketawa. . .
Tapi Gadis Rasid sendiri tidak ikut Siliwangi mengiris
perbatasan Madiun. Selama 5 hari 5 malam jalan kaki itu.
Batalyon Kean Santang tidak melayani tembakan-tembakan musuh,
apalagi yang dari belakang. "Kalau dilayani, akan terlambat,"
kata Sambas. Mereka jalan terus. Akhirnya berhasil masuk Madiun
1 hari lebih cepat dari rencana: 30 September, jam 16.45.
Ketika masih di Pagotan. Kompi Mursjid mendapat perlawanan dari
sebuah pabrik gula, tapi berhasil disapu. Lalu iseng-iseng
memeriksa stasion kereta api yang sudah sepi. "Tiba-tiba
terdengar telepon berdering. Ternyata dari Madiun, menanyakan
apakah Pagotan aman, apakah Siliwangi sudah datang. Suara dalam
bahasa Jawa dialaek Jawa Timur itu saya jawab: aman, Siliwangi
masih jauh," tutur Mursjid yang kini juga Mayjen. Dan sambil
meletakkan gagang telepon, Mursjid menggerutu: "Hati-hati kamu,
ntar saya tangkap." Esoknya menuju Uteran dan menyiapkan
beberapa dokar. "Menjelang masuk Madiun, dokar-dokar kami
tinggalkan di jalan." Kompi Mursjid masuk tepat di alun-alun
kota. Tembakan-tembakan dari kantor Kabupaten tak ada artinya
sama sekali. Sementara itu jam 20:00 terdengar suara Kapten
Darsono, wakil Sambas, lewat corong RRI Madiun, mengumumkan
kemenangan. Baru setelah itu Brawijaya masuk dari timur.
Beberapa hari kemudian Kolonel Sungkono ambil kebijaksanaan:
Madiun dibagi dua, sebelah barat dibersihkan Siliwangi, sebelah
timur oleh Brawijaya.
Sehari kemudian, Muso dan kawan-kawan yang lari ke tenggara arah
Dungus dikejar. Dungus penuh dengan gua-gua perlindungan
peninggalan Jepang, mungkin dengan perhitungan sebagai
pertahanan selama 6 bulan. Di Kresek tak jauh dari Dungus,
lagi-lagi komunis membunuh sejumlah orang. Tak kurang dari 1000
orang disembelih algojo Suhodo yang sangat terkenal
kekelamannya. Darah melimpah setebal 2 senti di lantai. Cerita
tentang inilah yang waktu "Gestapu" diingat orang kembali, yang
menyebabkan rasa takut --hingga merekapun bererak mendahului
membunuhi orang-orang PKI 17 tahun kemudian, dengan cara yang
mengerikan pula. Harian Nasional yang ketika itu terbit di Yogya
menyiarkan laporan Gadis Rasid:
Beberapa orang yang masih hidup menceritakan bahwa sebelum kaum
pengacau melarikan diri, dua orang menembaki kaum tawanan dari
luar melalui jendela. Tak akan saya lupakan pemandangan itu.
Badan manusia yang tidak berdosa berbaring terjatuh dalam sebuah
kolam darah!
Batalyon Sunandar Prijosudarmo (kini Gubernur Jawa Timur) yang
membersihkan wilayah sebelah timur, 5 Oktober menduduki
Ponorogo. Sisa-sisa kaum Merah berserakan di pegunungan Sewu.
Pacitan. Akhir Oktober, bersama Kapten Supomo, Lettu Sumadi,
Serma Sutadji, Prada Nawawi, ia menuju Sumoroto dan Balong
berkendaraan sedan. Di Semanding berjumpa dengan bendi. Kusirnya
seorang lelaki gemuk, dengan aman melewati penjagaan militer.
Mendadak sang kusir menembak ban mobil tapi tak kena. Mobil
dihentikan dan penumpangnya turun berlindung.
Mengemasi peluru-peluru di mobl. Lettu Sumadi terlambat turun.
Prad Nawawi menembakkan stengun, mengenai kaki kuda. Seperti
koboi, sang kusir melompat sembari menembak-nembakan 2 pestol
di kedua belah tangannya. Tak mengenai sasaran, ia lalu lari
masu mobil yang mesinnya masih hidup. Segera Sumadi menembak
bannya: kemudian Sang koboi nekad melarikan mobil para Balong.
Tapi mendadak mesinnya macet karena rem tangan masih bekerja.
Beberapa lama, Sumadi dan "koboi itu baku tembak. Tak satu pun
yang mengenai sasaran. Stengun Sumadi yang bikinan Republik itu,
sial, baru beberapa kali ditembakkan sudah macet. Sang koboi
berlindung di sebuah pohon besar. Keduanya saling
intip-mengintip, berputar-putar. "Persis seperti anak-anak main
tembak saja," tutur Suma kini Mayjen berusia 50 tahun, anggota
DPR fraksi ABRI. Tiba-tiba sang "koboi" lari, menyusup ke Warung
Ponorogo sembari berteriak: "Muso pantang menyerah! Muso pantang
menyerah.
Barulah diketahui siapa dia sebenarnya. Sebelumnya Sumadi dan
kawan-kawan cuma mengira anggota gerombolan Merah biasa saja.
Ketika pertama kali Muso menembak mobil barangkali ia curiga,
merasa dikuntit. Apalagi mobil itu berbendera komandan.
(Belakangan juga diketahui bahwa di Semanding, Muso telah
menembak polisi yang memeriksa surat-suratnya).
Tak lama, datang bantuan: 1 regu peleton Mustadjab dipimpin
Serma Abdul Rachman. Sumaai meminjam senjata otomatis, lalu
bersama 2 pembantunya menyerang Muso dari utara. Yang lain
mengepung dari timur dan selatan. Dengan peluru yang ia ambil
dari mobil, termasuk FN 32, Muso bertahan. "Tembak-menembak
cukup dekat. Cuma berjarak 1-10 meter' tutur Sumadi lagi.
Akhirnya gembong pemberontak ini tertembak di kamar mandi
penduduk, dalam jarak sangat dekat. Rakyat berkerumun, berebut
mau mencincang. Tapi Sumadi berhasil mencegahnya. "Rupanya
rakyat mulai sadar bahwa Muso akhirnya toh bisa mati juga.
Sebelumnya didesas-desuskan bahwa Muso itu warok yang kebal
peluru," tambah Sumadi.
Mayat Muso dibawa ke Sumoroto dengan bendi. Setelah mendapat
laporan, dari Ponorogo Kapten Sumartono datang membawa
tawanan-tawanan ini untuk mengenali mayat itu. Ternyata benar
Muso. Di Ponorogo, selain Kolonel Sungkono, Presiden Sukarno
sendiri kabarnya memerlukan membuktikan sendiri kematian Muso.
Sebulan kemudian konon rakyat Sumoroto membakar mayat Muso di
satu tempat.
Muso alias Musodo lahir di desa Pegu Papar, Kediri, anak Mas
Martorejo. Masa kecil pernah mengaji di surau, setelah dewasa
masuk Sarekat Islam dan mondok di rumah HOS Tjokroaminoto
bersama Ir. Sukamo. Gagal mencetuskan pemberontakan tahun 1926
melawan Belanda ia lari ke Moskow. Sembilan tahun kemudian
diam-diam ia menyusup ke Jawa, membangun PKI kembali. Menurut
Hatta, "satu kali Muso pernah membikin berantakan gerakan
rakyat." Dan Muso menjawab: "Hatta harus berguru dulu pada
saya." Kembali lagi ke Indonesia 11 Agustus 1948 menyamar
sebagai Suripto, sekretaris pribadi Suripno, pejabat Perwakilan
RI di Praha. Suripno yang aslinya Rochadi, lahir di Klaten, 18
Pebruari 1920.
Setahun setelah menghadiri Konperensi Pemuda (komunis) dan
Kalkuta 1947 Suripno ke Moskow "mengadakan penukaran
konsol"-antara RI - Uni Sovyet.
Kedatangan diplomat 28 tahun ini ke tanah air, atas panggilan
Presiden Sukarno, setelah terdengar kabar Suripno mengadakan
pertukaran konsol dengan Uni Sovyet. Yang juga terjadi ialah:
Suripno menemui Muso lalu membawanya kembali ke Indonesia
setelah mendapat 'perintah lengkap' dari Moskow. Di sini, Muso
melancarkan koreksi total dalam tubuh PKI yang dibangunnya
kembali tahun 1935. Terkenal dengan Koreksi Besar Muso hasilnya
fusi antara partai-partai kiri:
Partai Sosialis, Partai Buruh, SOBSI dan lain-lain ke dalam
FDR/PKI (akhir Agustus 1948). Berselisih dengan Amir, kemudian
Sjahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Setelah itu,
persetujuan Renville yang dihasilkan oleh Kabinet Amir (dan
didukung oleh partai-partai kiri) tiba-tiba ditolak. Amir
sendiri yang kemudian diserahi Sekretariat Urusan Pertahanan
mengakui kesalahannya, antara lain menyerahkan Kabinet kembali
kepada Presiden.
SETELAH Madiun jatuh, di mana Amir? Tokoh-tokoh PKI seperti
Muso, Amir, Djoko, sujono, Abdulmutalib, Maruto Darusman,
Suripno, Sumarsono, Fransisca Fangiday, Katamhadi, Ronomarsono,
D. Mangku buru-buru mengundurkan diri ke Dungus dan Ngebel dalam
keadaan kacau-balau. Dikawal sepasukan tentara merah dan ribuan
pemuda-pemudi Pesindo bersenjata lengkap berikut kaum ibu dan
anak-anak, mereka membawa berjuta-uta ORI (Oeang RI),
berkarung-karung beras, mesin tulis, mobil-mobil rusak, amunisi,
kambing, ayam, kereta cikar, bendi, kuda berceceran di jalan.
Hanya dokumen-dokumen tertulis saja yang tak ketinggaian. Mereka
jalan kaki, sebagian berkuda.
Sampai di Balong, Muso berselisih dengan Amir. Hanya dikawal
beberapa orang ia bertualang ke selatan, terdampar di pegunungan
sekitar Ponorogo. Sementara itu induk pasukan Amir menyusuri
jalan desa menuju Tegalombo terus ke Pacitan. Dari sini ke
Kismantoro dan di Purwantoro bertemu dengan pasukan Ahmad Jadau
yang lari dari Sala hingga bertambah kuat.
Atas saran Jadau, mereka bergerak ke utara. Tapi kecele, sebab
Wonogiri sudah jatuh ke tangan RI. Kembali ke Purwantoro lagi,
membelok kiri mendaki kaki gunung Lawu, menembus desa Jeruk,
Ngrete, Watusono dan ebang di pegunungan kapur yang tandus.
Iring-iringan yang tak kurang dari 2.000 orang ini dikawal oleh
anak-anak Pesinco, di depan, belakang, lambung kiri dan kanan
--tak ubahnya sebuah karavan di padang tandus. Di Kebang,
rombongan sipil yang dipimpin Abdulmutalib terpisah dari induk
pasukan, kepergok TNI dan sebagian tersesat di hutan. Dan di
Girimarto, 5 Nopember, Abdulmutalib dan Sriatin (sekretarisnya,
gadis Pesindo) tertangkap.
Pramoedya menggambarkan karavan Amir itu begini: Hari itu masih
pagi benar. Lalulintas mati. Beribu-ribu pasukan Merah yang
datang dari jurusan timur dan selatan memadati jalan-jalan kota
kami yang sempit itu -- dengan tiba-tiba saja. Warna Merah
berkibar-kibar di tiap kepala mereka. Juga gelang dan kalung
janur kuning tanda pasukan yang sedang menyerbu dengan seluruh
kepercayaan akan datangnya kemenangan di pihaknya. Para pengikut
Merah bersorak gegap-gempita menyambut induk pasukan yang datang
itu. Dan dengan tiada mereka ketahui sendiri, jenderal besar
mereka ada pula di tengah-tengah pasukan yang sedang datang itu
Sorak yang gemuruh itu tak membangkitkan reaksi apa-apa di
kalangan pasukan yang sedang datang itu. Muka mereka kuyu-kuyu
seperti banyak hal yang wajib mereka pikirkan. Kadang-kadang di
tengah-tengah barisan yang bersaf-saf duabelas-duabelas itu
terdapat usungan. Dan di atas usungan itu: mait atau orang yang
mengerang kesakitan.
Senjata yang ada pada mereka hampir seluruhnya baru -- senjata
yang sepanjang pengetahuan penduduk kota kecil itu belum pernah
dimiliki oleh angkatan perang dan mengkilat-kilat itu, tak ada
seorang pun berani menanyakan. Memikirkan pun barangkali tak
berani
Langsung saja berisan itu menduduki gedung-gedung yang bagus,
mengusir isinya -- hidup atau tak hidup -- dan segera saja tiap
tubuh di antara mereka merebahkan diri di lantai dingin . . .
Sore hari itu, pasukan Merah yang terpukul mundur oleh Siliwangi
bergerak dari semua asramanya: mencari mangsa! Tiap rumah
dimasuki! Penggeledahan berulang! Penggeledahan selalu dan
selalu berulang dalam tahun-tahun peperangan itu. Tiap benda
yang terbuat dari emas dan perak disita. Kemudian: kambing, sapi
dan ayam, dan buah-buahan yang sedang memasak di pohon-pohonnya.
Dan semua itu diangkuti ke markas untuk pengisi perut yang lapar
Dengan sengsara karavan merangkak ke Tawangmangu di kaki Lawu.
Maksudnya mungkin hendak menemui pasukan Sujoto yang kabarnya
masih menguasai Purwodadi. Atau ke Bojonegoro. Baru sampai di
Tawangmangu, mereka dipukul oleh Kean Santangnya Sambas. Buyar,
sebagian lari ke selatan. Tapi Amir tak mau kembali. Karavannya
belok ke kanan, Sarangan, yang sepi dari penjagaan, lalu ke
utara: Ngrambe dan Walikukun. Di sana mengasoh. Saat itulah
lewat iringan mobil di jalan Sala-Madiun. Mereka menyergapnya,
semua penumpangnya disembelih, antara lain R.M. Surjopranoto,
bekas Gubernur Jatim yang ketika itu Ketua DPA.
Karavan meneruskan perjalanan ke Ngawi, menjelajahi hutan jati,
menyeberangi Bengawan Sala menuju Cepu. Ternyata pasukan Sujoto
di Cepu, Blora, Pati dan Purwodadi telah habis disengat oleh
pasukan Kala Hitamnya Kemal Idris.
Maka sia-sialah Amir. Berkilo-kilometer jalan kaki, hanya untuk
ketemu Sujoto. Sebenarnyalah, Sujoto bekaravan pula ke timur
mencarinya, ketika didengarnya pasukan Djokosujonomasih
menguasai Ponorogo. Ketika Amir 2 hari istirahat di Sarangan,
Sujoto sudah menyeberangi Bengawan Sala. Tak jauh dari Madiun,
25 Nopember Sujoto menyerah. Sebagian anak-buahnya kembali ke
pangkuan RI. Malah seorang rekannya, Letkol Sudiarto kemudian
ikut menumpas RMS dan gugur di Ambon.
Sementara sisa-sisa Sujoto masih juga menuju Madiun, Amir
bergerak ke Cepu, lalu Purwodadi, lewat jalan hutan. Perbekalan
mulai menipis mereka makan jagung, ubi mentah atau daun-daun
muda. Banyak yang jatuh sakit. Amir sendiri terserang disentri.
Sampai di Brati sebelah barat Purwodadi, 26 Nopember, Amir
mendekati garis demarkasi RI-Belanda. Tapi di rawa-rawa Godong,
dekat Nawangan, Kala Hitam menyergap mereka. Djokosujono, Maruto
Darusman, Francisca Fangiday tertangkap. Juga puluhan
pemuda-pemudi Pesindo.
Amir lolos di Brati, pengawalnya tinggal puluhan. Mereka,
tergesa menyeberangi sungai Lusi menuju Klampok -- dan Beringin,
7 kilometer dari Purwodadi yang berpaya-paya dan sepi. Baru
sehari berkecupak di rawa-rawa bernyamuk itu, Seksi I Siradz dan
Seksi III Sarmada dari Batalyon Kala Hitam mengergapnya. Tapi
Amir sempat menggugurkan Kapten Hamid yang menghadangnya.
Sisa-sisa karavan ini lalu bersembunyi di Klambu karena hari
mulai malam. Paginya. Siradz dan Sarmada kembali mengepung.
Gerombolan menyerah, antara lain terdapat Letkol Maladi Jusuf.
Amir dan Jadau sekali lagi lolos, lalu kembali ke selatan,
menyeberangi sungai Lusi menuju rawa-rawa Godong dekat hutan
Ketu yang lebat dan terkenal angker.
Pagi-pagi sekali, Kompi Effendi lalu menugaskan Peleton Suratman
mengejar Amir. Yang lain menghadang dan menutup jalan-jalan.
"Pertempuran di hutan berawa-rawa itu sulit sekali. Pandangan
terhalang oleh pepohonan. Dan musuh banyak yang sembunyi di
balik glagah dan alang-alang," tutur Mayjen E. Suratman, yang 1
Agustus kemarin pensiun sebagai Inspektur Jendral Kekaryaan
Hankam. Amir dan kawan-kawan terjebak dan buru-buru balik ke
utara. Sampai di tepi hutan Klambu, sekali lagi mereka
menyeberangi sungai Lusi. Tapi terhalang oleh tembakan anakbuah
Suratman.
Menjelang tengah-hari, Suratman konsolidasi di pinggir jalan
kereta api. Ternyata prajurit Mamad tak hadir. Jam 14:00 jenazah
Mamad yang luka akibat bacokan-bacolan ditemukan di semak-semak.
Pasukan Kala Hitam semakin gemas, mereka memeriksa belukar dan
ilalang. Tiba-tiba tampak sekelompok orang melepaskan lelah,
kelihatannya memang cape sekali. Mereka mengaku sebagai tawanan
PKI. Kala Hitam curiga. Dan karena ada yang bersenjata, mereka
dilucuti lalu digiring ke pos terdekat.
Setelah istirahat dan diberi makan diperiksa. Ternyata mereka
adalah Amir Sjarifudin, Achmad Jadau, Suripno, Harjono.
Tokoh-tokoh ini tampaknya sudah putus-asa, kelelahan dan
kelaparan. Bagaimanapun, mereka adalah orang kota yang tak
terbiasa berkeliaran di hutan dan rawa-rawa. Dalam penggerebegan
itu tertangkap pula Zero, anjing herder milik Amir Sjarifudin.
Dalam perjalanan (kaki) ke Purwodadi, iring-iringan diawali oleh
1 regu kemudian jenazah prajurit Mamad, disusul Letnan E.
Suratman, lalu dibelakangnya para tawanan. Paling belakang regu
kawal lainnya. Di sepanjang jalan, rakyat menyambut meriah.
Mereka ingin melihat gembong-gembong PKI yang tertangkap. Mereka
berteriak-teriak "bunuh saja, bunuh saja!" Yang berusaha
membalas-dendam, setelah familinya dijagal di beberapa tempat
sekitar Purwodadi, dapat dicegah. Tapi ada seorang pemuda yang
tak mampu mengendalikan diri.
Setelah tahu para tawanan berjalan di belakang jenazah, ia
menerobos barisan. "Dan tiba-tiba melompat, menerobos langsung
meninju saya," tutur Suratman. Segera Suratman mencabut pestol
dan menodongkannya ke arah pemuda kalap itu, yang segera pula
diringkus oleh para pengawal. "Maklum, ketika itu pakaian saya
sudah lusuh, hingga tak jauh berbeda dengan para tawanan.
Setelah menyadari kekhilafannya, ia kami lepaskan," tambah
Suratman.
Gembong-gembong komunis itu kemudian dibawa ke Surakarta. Dan
setelah diperiksa di ibukota Yogya, dipenjarakan di Rumah
Penjara Surakarta jalan Pasar Pon. Menjelang agresi Belanda
kedua, dan Surakarta akan diserang Belanda, bulan Desember 1948
Amir dan kawan-kawan dihukum militer, ditembak mati di desa
Ngalihan, Karanganyar. Sebelum ditembak, Amir bersembahyang
secara Kristen (kitab Injil memang selalu dibawanya) dan
menyanyikan lagu "Internationale" Dua tahun kemudian bulan
Nopember, setelah merasa kuat kembali, PKI memperingati
ulangtahunnya dengan menyelenggarakan upacara di Ngalihan . . .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini