SELAMA Perang Dunia II gerakan komunis internasional
dikendalikan dengan Doktrin Dimitrov yang menggariskan: dalam
menghadapi fasisme, kaum komunis harus membentuk front persatuan
dengan kaum borjuis. Itu berarti, kekuatan-kekuatan yang melawan
kekuasaan kaum borjuis, harus pula dihadapi oleh kaum komunis.
Perjuangan Nasional rakyat Indonesia sejak Proklamasi 17 Agustus
1945 merupakan kekuatan yang demikian itu. Karena itu
tokoh-tokoh komunis Indonesia yang datang dari Negeri Belanda
seperti Abdulmadjid, Maruto Darusman, dll tiba di Indonesia
dalam rombongan NICA. Mereka masih dalam front persatuan dengan
kaum borjuis. Jadi tidak apa-apa bekerjasama dengan pemerintah
Belanda yang sedang menghadapi perjuangan rakyat Indonesia
mempertahankan kemerdekaan.
Dokumen Amir
Setelah masuk lingkungan RI, mereka memelopori politik
kompromistis terhadap kolonialisme Belanda yang menghasilkan
Persetujuan Linggajati dan Renville -- yang sangat tidak populer
di kalangan nasionalis karena jelas merugikan. Tetapi pada
peralihan tahun 1947-1948, Doktrin Dimitrov ditinggalkan,
diganti Doktrin Zhdanov-yang menggariskan: kaum komunis harus
menerjunkan diri dalam gerakan pembebasan nasional dan berusaha
merebut pimpinan.
Dengan doktrin baru itu, kaum komunis serentak banting stir dan
sekarang menentang kolonialisme, -- memihak gerakan pembebasan
nasional. Di Indonesia, mereka sekonyong-konyong menyerang
Persetujuan Renville, padahal arsiteknya mereka sendiri. Dan
segera pula mengadakan persiapan-persiapan untuk "mengambil oper
pimpinan". Rencananya termaktub dalam dokumen yang ditemukan di
rumah Amir Syarifuddin. Dokumen itu menyebut dua tahap gerakan
merebut pimpinan, yakni tahap parlementer dan tahap kekerasan.
Perintah dari Moskow, yang waktu itu masih memegang pimpinan
tunggal Gerakan Komunis Internasional, rupa-rupanya disampaikan
lewat konperensi pemuda di Kalkuta (Pebruari 1948) yang kemudian
segera dilaksanakan oleh pemimpin-pemimpin komunis setempat. Di
Cina, Mao Tse-tung melancarkan ofensif terhadap Chiang Kai-shek
yang dalam waktu kurang-lebih setahun berhasil menegakkan
kekuasaan komunis. Di Filipina dilakukan oleh Luis Tarue dengan
Hukbalahap-nya dan di Malaysia oleh Ching Pen. Di Indonesia,
pimpinan komunis diperkuat dengan pengiriman seorang pemimpin
kawakan dari Moskow, yakni Musso yang begitu datang segera
mendandani barisan komunis di Indonesia, lengkap dengan doktrin
Jalan baru bagi Republik Indonesia juga dikenal sebagai:
Koreksi Besar Musso.
Wild West
Karena menilai kekuatan militernya cukup kuat (banyak satuan TNI
adalah bekas laskar Pesindo/PKI), dalam waktu singkat mereka
melaksanakan rencana. Tahap parlementer hanya sebentar saja dan
segera beralih ke tahap kekerasan dengan menciptakan suasana
Wild West di Solo. Karena terdesak ke luar kota dan sudah
kepalang tanggung, mereka mencetuskan pemberontakan dari Madiun
(18 September 1948). Pada puncak pemberontakan, PKI mempunyai
lebih dari 20 batalyon. Pemerintah segera mengerahkan
pasukan-pasukan untuk menumpas dengan kekuatan hanya 14 batalyon
(tapi dengan mutu lebih tinggi). Dalam waktu 11 hari sejak
bergerak, pasukan-pasukan Pemerintah memasuki Madiun dan
kekuatan pemberontak cerai-berai.
Pemberontakan PKI yang kedua, berlangsung dalam situasi yang
agak berlainan. Strateginya juga meliputi dua tahap: tahap
padementer dan tahap "jalan lain". Menjelang percobaan cukup
tanggal 1 Oktober 1965, PKI telah melaksanakan"tahap
parlementer" untuk waktu yang cukup lama. Buah dari
kebijaksanaan yang dipimpin oleh D.N. Aidit dkk itu adalah
posisi respektabilitas bagi PKI. Berlainan dengan tahun 1948 -
ketika PKI mengambil postur underdog yang menghantam
establishment -- tahun 1965 PKI sudah masuk dalam establishment
dan sibuk dengan menyingkirkan underdog yang diberinya predikat
kontra-revolusi.
Dengan "aksi-aksi revolusioner" oleh mantel-organisasi serta
organisasi lain yang dikuasainya, dengan taktik bloc within,
mereka mengadakan aksi-aksi sefihak yang dipimpin BTI, aksi
ganyang kabir (kapitalis birokrat) oleh SOBSI, aksi-aksi di
bidang budaya oleh pelbagai organisasi seperti Lekra dan
Papfias. Sokoguru strategi PKI sebagai "revolusi dari atas"
(berlainan dengan Madiun, yang merupakan "revolusi dari bawah")
adalah dukungan Presiden Sukarno. Justru sokoguru inilah yang
membikin mereka panik ketika team dokter RRC menyatakan bahwa
Presiden Sukarno sakit parah, bahwa jiwanya terancam atau
setidak-tidaknya ada kemungkinan akan lumpuh. Ini terjadi awal
bulan Agustus 1965.
Analisa Suripto
Dengan perkembangan situasi itu Aidit memutuskan segera beralih
pada tahap kekerasan. "Dari pada didahului, lebih baik
mendahului", demikian argumentasinya. Pusat perhatiannya adalah
ABRI, khususnya TNI dan lebih khusus lagi TNI-AD. Dibanding
dengan Madiun, pendukungnya dalam TNI kurang banyak, belum
meliwati margin yang aman. Tetapi Presiden Sukarno masih ada.
Mumpung masih ada, mereka harus bertindak, sehingga di kemudian
hari tidak lagi memerlukan perlindungan Presiden. Sasaran utama
adalah Pimpinan TNI-AD yang dikwalifikasi sebagai lawan.
Kita telah mengetahui kesudahan Madiun maupun Lubang Buaya.
Kedua-dua kalinya PKI gagal. Mereka salah-hitung mengenai
kekuatan nasionalisme Indonesia yang berlandaskan Pancasila
sebagai sistim nilai. Secara khusus, jelas bahwa basis kekuatan
mereka ternyata sangat sempit, baik di kota-kota, apalagi di
pedesaan. Benar analisa Suripno, salah seorang pemimpin PKI pada
jaman Madiun (ketika ia dalam tahanan) bahwa PKI mengalami
kekalahan karena rakyat tidak beserta mereka. Itulah pelajaran
sejarah yang paling penting bagi kita semua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini