PADA saat Madiun meletus, beberapa diplomat asing anggota Komisi
Tiga Negara yang mengawasi perundingan Renville masih berada di
Sarangan. Kapten Kartidjo dari Resimen 34 Kediri diperintahkan
menyelamatkan mereka. Mengendarai mobil bersama Letda Harsono
sebagai sopir, mereka dicegat oleh Batalyon Mustapa yang pro
Merah.
Bersama 12 tawanan lainnya (yang jumlahnya terus bertambah)
mereka disekap. Di kamar lain tampak Letkol Marhadi, Letkol
Wiyono dan Kapten Bismo, yang ditahan sejak Madiun meletus.
Tanggal 28 September malam, ketiganya dibawa keluar. "Bagaimana
nasibnya kemudian, saya tak tahu," ujar Kartidjo yang kini
Mayjen pensiun, wakil Ketua MPR. Esok harinya rombongan Kartidjo
dibawa ke Dungus dengan truk, menginap semalam di rumah
penduduk. Paginya, 30 September, naik truk lagi ke arah Kresek
di lereng gunung Wilis.
Begitu Madiun jatuh, kaum komunis mengundurkan diri ke sana. Dan
seperti biasanya, tak lupa mereka membawa serta para tawanan
untuk kemudian dijagali. Esoknya lagi mereka dibawa lagi lebih
ke atas, jalan kaki. Tiap tawanan dikawal seorang, lalu disimpan
di rumah pegawai kehutanan. Tak lama kemudian satu-persatu
diperintahkan keluar tangannya diikat ke belakang. Setelah itu
digiring lagi jalan kaki, mendaki sekitar 1 1/2 kilometer.
Iring-iringan tawanan bertambah, menjadi 30 orang dan hanya
dikawal 5 orang saja. Mereka 'diistirahatkan' di rumah bobrok
tanpa dinding.
Haji Pagotan
Paginya, 4 tawanan diperintahkan keluar. "Mereka sudah tua.
Wajahnya kerut-merut," kata Kartidjo. Rupanya 4 penembak sudah
siap di luar. Suara tembakan terdengar beruntun, 4 kakek-kakek
itu roboh mandi darah. Giliran kedua, juga 4 orang. Kali ini
Kartidjo seorang di antaranya. Dengan tenang ia berjalan
membelakangi regu penembak, melangkahi mayat-mayat yang masih
segar, darahnya masih bersemburan. Ia tak tahan. Tiba-tiba
dilihatnya kali bertebing landai tepat di depannya. Dangkal,
berbatu-batu tapi airnya deras. Belukar lebat tumbuh di
tepi-tepinya.
"Kalau saya diam saja, pasti mati tertembak, pikir saya ketika
itu," kata Kartidjo. "Kalau terjun ke jurang, masih ada harapan
hidup." Ia memang sudah memperhitungkannya. Begitu terdengar
ledakan pertama, cepat-cepat ia menjatuhkan diri seolah-olah
benar-benar tertembak. Tebing itu cukup dalam: 5 meter. Untung
si penembak tidak curiga meski jaraknya cuma kira-kira 7 meter
saja. Tembakan lain kemudian terdengar beruntun, hampir
bersamaan dengan yang pertama. Tiga tubuh yang lain berjatuhan.
10 menit tak berani bergerak, suasana pun sunyi. Ia baru sadar,
peluru penembak maut itu hanya mengenai kulit pipinya. Lecet
sedikit. Ketika ia terjun ke jurang, untung, tidak terlalu
cidera. Dan di antara 3 tubuh yang jatuh itu ternyata ada 1 yang
masih hidup. "Ia haji dari Pagotan. Sekarang saya sudah lupa
namanya." Kartidjo lalu menggigit ikatan tangan pak Haji.
Setelah lepas, gantian pak Haji mengurai tali pengikat Kartidjo.
Suara tembakan tak terdengar lagi. Aman. Keduanya lalu
menyeberangi sungai, tiba di hutan jati. "Di hutan itulah kami
berpisah. Lalu saya menuju Kediri. Jalan kaki, makan waktu 2
hari 2 malam," tuturnya. Adapun Letda Harsono, sopir Kartidjo,
tak sempat meloloskan diri dan gugur. "Sebelumnya penjagaan
memang ketat, sama sekali tak ada kemungkinan lolos," tambahnya.
Sempat studi kemiliteran di AS, kini usianya 60 tahun. Bersama
ke 6 anaknya, ia menghabiskan masa pensiun di rumahnya yang
besar, jalan Jendral S. Parman Blok N-4, Slipi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini