Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKERANJANG duku Palembang yang ranum menemani Fauzi Bowo menyampaikan niatnya maju lagi dalam pemilihan Gubernur Jakarta kepada Megawati Soekarnoputri. Persamuhan Rabu sore dua pekan lalu di rumah Ketua Umum PDI Perjuangan di Jalan Teuku Umar, Jakarta, itu menandai cairnya kembali hubungan keduanya.
Megawati sempat kurang sreg ketika Fauzi berlabuh ke Partai Demokrat sebagai anggota dewan pembina setelah pemilihan Gubernur Jakarta lima tahun lalu. Sudah jadi rahasia umum bahwa Mega berselisih dengan pendiri Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, sejak pemilihan presiden 2004.
Di samping Mega, duduk suaminya, Taufiq Kiemas, Ketua Dewan Pertimbangan PDI Perjuangan, dan Puan Maharani, anak mereka sekaligus ketua fraksi partai banteng di Dewan Perwakilan Rakyat. Kepada Mega, Foke—panggilan Fauzi—menyampaikan peluang kemenangan karena survei-survei menempatkan namanya di nomor satu. Data itu akan kian legit jika ditopang koalisi PDI Perjuangan, partai nomor tiga di Jakarta—setelah Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera.
Foke, menurut seorang petinggi PDI Perjuangan, sore itu mengaku telah mengantongi restu Yudhoyono. Dua bulan lalu, Yudhoyono mengundang Fauzi ke Cikeas dan menyampaikan dukungan agar dia maju lagi memimpin Jakarta.
Setelah satu jam, pembicaraan kian mengerucut ke soal calon pendamping Foke dalam pemilihan 11 Juli. "Sebagai ketua umum, saya memilih Pak Adang Ruchiatna," kata Mega seperti dituturkan orang dekatnya kepada Tempo.
Adang adalah wakil Puan di DPR. Dia jenderal bintang dua yang pernah menjadi Panglima Komando Daerah Militer Udayana. Pengalaman Adang di militer dan birokrasi dinilai klop dengan Foke. Sebagai bekas Ketua DPD PDI Perjuangan, Adang dinilai punya massa fanatik di Jakarta Timur.
Menjelang magrib, Foke pamit dengan hati riang sembari menggantang sekeranjang duku Palembang. Tiga hari kemudian, deal politik itu diumumkan kepada publik. Meski tak resmi, Taufiq Kiemas menyebut Foke sebagai calon partainya. "Dukungan PDIP harus ke Foke, dan wakilnya yang cocok ya Pak Adang," katanya.
Praktis, pilihan ini menyingkirkan peluang Joko Widodo, Wali Kota Solo, yang masuk daftar pendek calon hasil penjaringan partai itu. Dalam pertemuan empat mata dengan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto di kantor pusat PDI Perjuangan, Mega menolak usul tamunya untuk memasangkan Joko Widodo dengan Basuki Tjahaja Purnama, anggota DPR dari PDI Perjuangan yang pernah memimpin Kabupaten Belitung Timur.
DI sudut Jakarta yang lain, Nono Sampono masygul mendengar pertemuan Foke dan Mega. Sehari sebelum pertemuan, pada saat uji kepatutan calon gubernur dari PDI Perjuangan, Komandan Pasukan Pengamanan Presiden zaman Megawati itu memang tak masuk hitungan. Dua nama yang masuk daftar akhir adalah Adang dan Joko Widodo.
Nono bukan kader PDI Perjuangan. Jenderal bintang tiga ini hanya mendaftar sebagai bakal calon bersama Wakil Gubernur Jakarta Prijanto, Boy Sadikin, Joko Widodo, dan Adang Ruchiatna. Meski begitu, Nono mengaku kecewa namanya diabaikan.
Pucuk dicita ulam tiba. Tiba-tiba teleponnya berdering. Fuad Mansyur, Ketua Bidang Informasi dan Penggalangan Opini Partai Golkar, menyapa di ujung telepon. Fuad menawarkan posisi calon wakil gubernur untuk mendampingi Alex Noerdin, yang dipilih Golkar sehari sebelumnya. "Saya tak langsung menjawab," kata Nono.
Ia bilang akan mempertimbangkannya lebih dulu. Fuad lalu meminta Nono menyampaikan hasil pertimbangannya langsung kepada Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie esok harinya.
Di lapangan tenis Rasuna Epicentrum di kawasan Kuningan, Kamis pagi dua pekan lalu, Aburizal baru saja menyelesaikan game-nya melawan bekas Gubernur Jakarta Sutiyoso. Di lapangan itu, selain Fuad, ada petinggi Golkar seperti Theo Sambuaga. Mereka beringsut ke meja lain begitu Nono datang.
Nono bulat menerima pinangan Golkar. Mereka lalu berbincang soal situasi Jakarta, pemilihan gubernur, dan pemilihan presiden 2014. "Semua tahu Pak Ical mau maju menjadi presiden," ujar Nono. Ical menggenapi pembicaraan itu dengan mengangkat gelas minumnya. "Ini kopi terenak yang pernah saya minum," kata Aburizal seperti ditirukan Nono.
Bagi Golkar, Nono dipilih karena ia tentara. Perpaduan sipil-militer masih dianggap sebagai magnet menarik suara warga Ibu Kota. "Dalam survei, Nono ada di urutan ketiga, setelah Fauzi Bowo dan Alex," kata Ade Komaruddin, Ketua Tim Pemenangan Pemilu Golkar, mengutip survei Indobarometer. Ia mengakui ada kesan buru-buru pada pemilihan Nono oleh partainya.
Sama buru-burunya ketika Golkar memilih Alex Noerdin. Popularitas Gubernur Sumatera Selatan ini, dalam survei lain, kalah dibanding Tantowi Yahya, kader Golkar yang juga berniat jadi gubernur. Tantowi terpental karena ia tak bisa membawa gerbong koalisi.
Kursi Golkar di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta hanya tujuh. Perlu delapan kursi lagi untuk memenuhi syarat yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum Daerah. Alex berhasil membawa Partai Persatuan Pembangunan, yang punya tujuh kursi, dan Partai Damai Sejahtera dengan empat kursi. "Sampai tenggat, dua partai besar yang saya ajak tak memberi kepastian," kata Tantowi.
Padahal Tantowi tak risau dengan modal. Kepada Aburizal Bakrie, ia menyatakan sanggup membiayai sendiri pencalonannya tanpa merepotkan partai. "Ada 30 pengusaha di belakang saya," katanya. "Saya paling tidak sudah pegang Rp 60 miliar." Menurut presenter kondang ini, di Jakarta, "Banyak orang yang mau 'buang' Rp 3 miliar untuk menyokong calon gubernur."
Tantowi mungkin tak sadar: uang Rp 60 miliar sesungguhnya tak seberapa. Kelemahan lain penyanyi lagu country itu adalah tak menguasai jaringan partai politik—sesuatu yang dimiliki pesaingnya. Alex, misalnya, bisa menggandeng PPP karena dekat dengan Djan Faridz. Pengusaha tambang dan properti yang kini Menteri Perumahan Rakyat itu punya banyak konsesi batu bara di Sumatera Selatan. Djan adalah Bendahara PPP yang sudah bergerilya menyiapkan pendukungnya menjadi Gubernur Jakarta sebelum mendapat kursi menteri.
Alex juga karib Suharso Monoarfa, Wakil Ketua Umum PPP, yang posisinya diisi Djan di kabinet. Menurut Wakil Ketua PPP Jakarta Joko Krismianto, Suharso mendapat mandat dari Ketua Umum PPP Suryadharma Ali untuk bernegosiasi dengan Alex. "Setelah kami konfirmasi, memang ada mandat itu," ujar Joko.
Pertemanan dengan Alex terjalin ketika Suharso masih menjabat Menteri Perumahan. Banyak proyek perumahan rakyat di Palembang, sehingga keduanya kerap bertemu. "Dengan Pak Suryadharma juga sudah kenal sebelum beliau jadi menteri," kata Alex.
Melalui Suharso, seorang petinggi partai hijau itu membisikkan, Djan meminta PPP mendukung Alex Noerdin karena ia punya kepentingan mengalahkan Fauzi Bowo, gubernur yang dulu didukungnya. Menyerahkan suara kepada Alex yang disokong Golkar menjadi pilihan paling mungkin.
Hubungan Fauzi dan Djan renggang sejak kisruh kontrak Blok A Pasar Tanah Abang yang dikelola perusahaan Djan tahun lalu. PD Pasar Jaya menghentikan kontrak pengelolaan karena menilai kerja sama dengan perusahaan Djan merugikan kas DKI Jakarta.
Permintaan itu tentu saja tak gratis. Djan kabarnya menggelontorkan Rp 50 miliar. Bos PT Priamanaya Djan International ini buru-buru menyangkal. "Gua kagak tahu apa-apa, enggak ikut-ikut," katanya kepada Tempo. Joko Krismianto juga menyangkal menerima modal pemilihan dari Djan. "Angkanya saya baru dengar dari Anda, tuh," ujarnya.
Faktor "gizi" memang paling menentukan Golkar memilih Alex. Seorang petinggi partai kuning mengatakan Alex punya uang banyak. Ia juga dianggap bisa menggaet dukungan media, sehingga citranya selalu baik selama menjadi Gubernur Sumatera Selatan. Tak aneh, kata sumber itu, meski baru dua bulan bernegosiasi dengan petinggi Golkar dan hasil survei tak menjanjikan, Alex terpilih.
Selama mengikuti pemilihan Gubernur Jakarta, Alex akan cuti dari Palembang. Ia mundur jika sudah dinyatakan menang di Jakarta. Alex merasa banyak kebetulan selama menjalani proses calon gubernur. Lobi-lobi yang dibangunnya selama ini dengan tokoh politik pusat membuatnya tak ciut nyali meski datang dari luar Jakarta. "Saya nothing to lose. Kalau kalah, paling yang lose money saja, kan?" katanya terkekeh.
TIKET PDI Perjuangan dan restu Yudhoyono tak begitu saja memuluskan jalan Fauzi Bowo menjadi calon gubernur. Ia belum mengantongi dukungan resmi dari Majelis Tinggi Demokrat. Masalahnya, keputusan majelis itu harus disahkan Ketua Demokrat Jakarta Nachrowi Ramli—yang juga ngebet jadi calon gubernur—sebelum diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum Daerah.
Nachrowi merasa punya modal cukup untuk maju. "Hasil musyawarah kerja wilayah, saya didukung semua cabang Demokrat untuk jadi calon gubernur," ujarnya. Dukungan itulah yang membuat tentara bintang dua yang lama bekerja di dinas intelijen ini percaya diri bergerilya mencari dukungan partai lain.
Meski Demokrat punya 32 kursi, jumlah yang lebih dari cukup untuk menyorongkan calon sendiri, keputusan tertinggi ada di tangan Majelis Tinggi. Dari sembilan anggota Majelis, baru Anas Urbaningrum, Ketua Umum Demokrat, yang terbuka mendukungnya. "Tapi suara Pak Anas hanya satu per sembilan keputusan Majelis," kata Nachrowi.
Seorang anggota Majelis membisikkan, faktor Nachrowi ini membuat Yudhoyono tak kunjung menetapkan calon gubernur yang disokong partainya. Bagaimanapun, Nachrowi sama-sama angkatan 1973 di Akademi Militer. Padahal, kata sumber itu, Taufiq Kiemas berkali-kali menelepon, meyakinkan Yudhoyono agar memilih Fauzi. "Ini juga bikin kami waswas," ujar orang dekat Fauzi.
Kebuntuan itu pecah Jumat siang pekan lalu. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, yang kerap jadi utusan khusus Yudhoyono, mempertemukan Nachrowi dan Foke di kantornya. Menurut sumber Tempo, dalam pertemuan itu Nachrowi setuju Demokrat mendukung Fauzi. Nachrowi tak menyangkal pertemuan dengan Djoko. "Saya memang ketemu, tapi membahas reuni angkatan 1973," katanya.
Meleburnya Demokrat-PDI Perjuangan ini menjadi koalisi pertama sejak Megawati-Yudhoyono berselisih pada pemilihan presiden 2004. Kisruh berlanjut hingga hari ini. PDI Perjuangan menjadi partai paling lantang menolak rencana pemerintah Yudhoyono menaikkan harga bahan bakar minyak pada 1 April mendatang.
Bagi PDI Perjuangan, yang sejak awal tak berminat mengusung calon gubernur sendiri, datangnya Fauzi menjadi tiket lempeng mendapat kekuasaan. Orang dekat Taufiq Kiemas mengutip pepatah kuno yang kerap disitir petinggi partai banteng: jangan melihat pungguk di dahan, punai di tangan dilepaskan. "Konteksnya mahar untuk modal pemilihan presiden," kata politikus ini.
Bagja Hidayat, Amandra Megarani (Jakarta), Pharliza Hendrawan (Palembang)
Lenggak-lenggok jakarta
Jakarta adalah magnet kuat, termasuk bagi para politikus. Memimpin Ibu Kota tak hanya menikmati segunung kemewahan ekonomi, tapi juga prestise. Di wilayah berpenduduk 8,5 juta ini, berdiri lambang kekuasaan nasional: Istana Negara. Berikut ini sejumlah kekuatan ekonomi Jakarta.
Anggaran pendapatan dan belanja daerah
Rp 36,023 triliun
Pendapatan asli daerah
Rp 16,022 triliun (naik 16 persen dibanding tahun sebelumnya)
Pada 2011 mendapatkan alokasi dana perimbangan keuangan pusat dan daerah hampir
Rp 9 triliun
Setiap tahun, 200-400 bangunan dan pusat belanja baru dibangun. Biaya izin mendirikan bangunan ini tak kurang dari
Rp 2 miliar per bangunan.
Selama 2011, total investasi asing di Jakarta mencapai
US$ 4,8 miliar atau 24,8 persen dari total investasi asing.
Partai Demokrat
PKS
PDIP
Golkar
Gerindra
PPP
PAN
PDS
Hanura
PKB
Syarat
Pencalonan oleh partai:
"Partai politik atau gabungan partai politik dapat mengajukan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur apabila memperoleh kursi paling rendah 15 persen, yakni 15 kursi dari 94 kursi yang ada di DPRD Provinsi DKI Jakarta hasil Pemilu 2009."
Pencalonan dari jalur independen:
"Untuk dapat mendaftarkan diri, bakal pasangan calon perseorangan harus didukung 407.340 jiwa atau empat persen dari jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta. Dukungan harus tersebar minimal di empat kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo