Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penampilan dan jabatannya adalah dua hal kontras yang dipadukan dengan berhasil oleh Abu Dujana. Di dalam organisasi Jamaah Islamiyah, dia menyandang jabatan yang ”sangar”: Qaid Sariyah alias pemimpin sayap militer. Dalam kehidupan sehari-hari, sang Qaid beralih menjadi pedagang kelontong sederhana yang mahir menjahit tas serta sepatu.
Pola tuturnya bersahabat, jauh lebih pas sebagai pedagang kecil ketimbang petinggi militer Jamaah, yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dituding sebagai organisasi terorisme. Bicaranya lembut dan hati-hati. Perawakannya sedang. Di atas air mukanya yang ramah, melintang kumis tebal dan rapi.
Seperti pengakuannya kepada polisi, jabatan komandan militer dia pegang sejak dua tahun lalu. Amir Jamaah kala itu, Adung alias Sunarto bin Kartodiharjo, yang menunjuknya. Ketika Adung digantikan oleh Zarkasih alias Mbah pada 2004, jabatan tersebut tetap diberikan kepada Abu, kini 37 tahun.
Sebelum memimpin pasukan, dia disebut-sebut menjadi Sekretaris Markaziyah (semacam dewan pimpinan) Jamaah Islamiyah. Pemimpin tertinggi Jamaah di masa itu dijabat oleh Abu Rusdan. Kepada Tempo, Abu Rusdan menyatakan informasi itu keliru. ”Dia hanya anggota biasa,” tuturnya. Namun, kepada polisi, Abu Dujana alias Ainul Bahri alias Yusron Mahmudi mengaku menduduki posisi tersebut.
Posisi Sekretaris Markaziyah pula yang membawanya bertemu dengan Noor Din Mohammad Top dan Dr Azahari, dua bulan sebelum peledakan Hotel Marriott, Jakarta, pada 5 Agustus 2003. Pertemuan mereka dilangsungkan di Lampung dengan dihadiri pula oleh Qotadah alias Basyir, seorang anggota senior Jamaah Islamiyah. Beberapa hari setelah peledakan, mereka kembali berkumpul di Bandung.
Semula polisi menduga pertemuan itu adalah bentuk restu Jamaah Islamiyah kepada Noor Din dan Azahari untuk melancarkan serangan. Abu Dujana diduga ikut merencanakan aksi yang menewaskan belasan orang itu. Dia membantah. ”Itu kan analisis intelijen yang dipublikasikan,” kata alumnus Akademi Militer Saddah, Afganistan, angkatan VII itu kepada Tempo.
Nama Abu disebut-sebut pula sebagai tokoh yang turut mengendalikan sejumlah aksi kekerasan di Poso, Sulawesi Tengah. Antara lain, dia disangka memerintahkan pengiriman senjata, bahan peledak, dan amunisi ke daerah konflik itu.
Setelah penangkapan, polisi membawa Abu Dujana ke Yogyakarta. Dan sepekan setelah Abu dibekuk, wartawan Tempo Budi Setyarso mendapatkan kesempatan mengadakan wawancara khusus dengan orang yang diyakini aparat sebagai teroris kelas kakap ini. Pertemuan berlangsung di Markas Satuan Tugas Brimob Kepolisian Daerah Yogyakarta. Abu mengenakan polo shirt cokelat bermotif. Celananya digulung sebetis. Jalannya masih tertatih karena luka tembak di kaki kirinya.
Setiap pertanyaan disimak dengan hati-hati sebelum dia menjawabnya dalam rentetan kalimat pendek-pendek. Berikut ini petikannya.
Apa saja yang dibicarakan dalam pertemuan Anda dan Qotadah dengan Noor Din serta Azahari sebelum peledakan bom Marriott?
Noor Din menyampaikan rencana untuk melakukan aksi. Ia meminta Markaziyah Jamaah Islamiyah memberikan bantuan. Pada pertemuan sebelumnya, ia sebenarnya berharap sayalah orangnya (yang ikut bergabung). Tapi saya diam saja. Noor Din akhirnya meminta gantinya kepada Ustad Adung, yaitu Qotadah. Jadi pada pertemuan itu sebenarnya saya mengantar Qotadah untuk bertemu dengan Noor Din.
Anda setuju menyerahkan Qotadah?
Saat itu dia sudah membawa beberapa orang kami dari Sumatera. Saya katakan bahwa dia seharusnya bilang ketika merekrut orang.
Mengapa demikian?
Karena kami harus mempertanggungjawabkan semua tindakan kepada Allah, kepada umat, dan kepada anggota. Pengiriman orang harus dilakukan oleh Jamaah. Noor Din hanya menjawab, ”Iya, kita praktisnya sajalah di lapangan.” Setelah berdiskusi, saya putuskan untuk tidak menyerahkan Qotadah. Belakangan saya tahu, justru pertemuan itulah yang membuat saya dituduh ikut merencanakan bom Marriott. Itu kan analisis intelijen yang dipublikasikan. Saya ketawa saja ketika membacanya di media massa. Kan, saya orang yang dalam posisi lemah, sedangkan pemerintah dalam posisi amat kuat.
Anda tidak setuju dengan pengeboman Marriott?
Iya (tidak setuju).
Lalu mengapa ada anggota Jamaah Islamiyah yang terlibat?
Noor Din sudah membawa orang-orang itu sebelum bertemu dengan saya. Ia misalnya sudah membawa Rais dan Tohir (alias Masrizal alias Ali Umar, tersangka pelaku bom Marriott) dari Sumatera.
Jamaah Islamiyah mengenal prinsip wajib taat kepada pemimpin. Mengapa ada anggota yang tidak taat dan bergabung dengan Noor Din?
Karena mereka itu bermaksiat, menyimpang dari perintah organisasi. Kalau mau bergabung, seharusnya mereka memperoleh izin dari organisasi. Kalau tidak, mereka mesti melepaskan diri dari baiat.
Beberapa hari setelah bom Marriott, Anda dan Qotadah kembali bertemu dengan Noor Din dan Azahari. Apa yang dibicarakan ketika itu?
Saat itu saya mengantar Qotadah. Ia yang banyak bicara, saya diam saja. Saya sudah marah dengan tindakan Noor Din. Dalam pertemuan, Noor Din minta laluan (jalan keluar) untuk mengasingkan diri. Qotadah yang lebih banyak bicara. Saya menyampaikan kepada Ustad Adung tentang permintaan Noor Din. Adung lalu mengirim Noor Din dan Azahari kepada Ustad Fahim (Usman bin Sef, Ketua Wakalah Jawa Timur, kini dalam penjara).
Pertemuan-pertemuan itu atas inisiatif siapa?
Noor Din yang meminta, melalui Adung, yang kemudian meminta saya dan Qotadah datang.
Anda dari Markaziyah. Mengapa mengalah untuk datang kepada Noor Din dan bukan meminta dia yang datang?
Saya ini ngemong-lah. Lagi pula, kalau dia yang disuruh datang, pertemuan itu mungkin tidak akan terjadi. Mungkin karena alasan keamanan atau alasan yang lain.
Soal lain, mengapa Jamaah Islamiyah memilih Zarkasih sebagai amir pengganti Adung? Bukankah ada banyak tokoh yang lebih senior?
Itu darurat.
Kan, ada Zulkarnaen?
Dia sedang dalam pengasingan.
Abu Fatih?
Dia tidak datang saat pertemuan pemilihan amir.
Fahim?
Dia memang ulama, tapi untuk menjadi pemimpin kan butuh syarat lebih. Misalnya ketegasan. Bedanya ulama dengan pemimpin itu begini. Kalau ulama, dia bilang kumpulkan infak sampai terkumpul. Kalau pemimpin, akan bilang kumpulkan infak dan dalam tiga minggu sudah harus terkumpul. Jadi kami setuju memilih Zarkasih, yang lebih memenuhi syarat tersebut.
Banyak anggota Jamaah menganggap Abdullah Sungkar sebagai pemimpin terbaik. Anda setuju?
Iya. Memang banyak yang bilang, jika Abdullah Sungkar masih hidup, dia akan marah kepada Ustad Abu Bakar Ba’asyir. Mengapa? Karena Abu Bakar mendirikan Majelis Mujahidin Indonesia yang dianggap tidak sesuai lagi dengan sifat gerakan Jamaah Islamiyah. Ustad Abu Bakar Ba’asyir juga dianggap teman-teman salah memilih teman.
Siapa, menurut Anda, yang paling mendekati kepemimpinan Abdullah Sungkar?
Banyak yang bilang Ustad Adung karena dia memang bekas pengawal Abdullah Sungkar di Afganistan. Jadi bisa dikatakan seperti fotokopinya.
Benarkah Anda mengendalikan sejumlah aksi kekerasan di Poso?
Selama beberapa waktu Poso itu sebetulnya mengalami keadaan lost of command.
Maksudnya?
Seperti aksi mutilasi. Itu kan tidak diketahui oleh Markaziyah. Itu dilakukan atas ide Ustad Sanusi (kini dalam pelarian), yang katanya untuk hadiah Lebaran. Setelah peristiwa itu, Majelis Markaziyah bertemu di Bandungan, Ambarawa, Jawa Tengah, termasuk memanggil Ustad Hasanuddin (terpidana sejumlah aksi kekerasan di Poso, kini dalam tahanan). Zarkasih menegur Hasanuddin karena mutilasi. Hasanuddin juga ditanyai tentang jumlah uang hasil fa’i (rampokan) gaji pegawai Poso. Dari jumlah fa’i Rp 500 juta, Markaziyah sebenarnya memperoleh Rp 50 juta. Ternyata Hasanuddin telah memakai Rp 20 juta. Zarkasih bilang, ”Lain kali ajukan proposal kalau mau memakai uang Jamaah.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo