Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH itu tak pernah sepi. Terletak di tengah Kampung Cisadang, Desa Mandalasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, dari sana setiap hari terdengar suara mesin jahit. Di sinilah Ainul Bahri menghabiskan masa kecilnya. Pria 38 tahun ini dituduh terlibat sejumlah pengeboman di Tanah Air. Pada Sabtu dua pekan lalu ia ditangkap.
Ainul dikenal sebagai orang baik dan santun. ”Dia pendiam dan penyabar,” kata Yaya Sunarya, pamannya. Ainul adalah anak kedelapan dari sembilan bersaudara. Ibu Ainul, Sariah, adalah kakak Yaya Sunarya. Tamini, ayah Ainul, merupakan orang terpandang di kampung itu. Pensiunan Perhutani yang taat beragama ini dikenal suka membantu tetangga.
Dia pernah menyumbangkan tanah di depan rumahnya untuk dibangun masjid. Mereka juga mendirikan Yayasan Pendidikan Islam As-Syifa yang berlokasi di masjid itu. Yaya hanya mengikuti perkembangan Ainul hingga tamat SMA. Sejak itu, yang dia tahu, Ainul sering ke Malaysia.
Adalah polisi yang memastikan Ainul adalah Abu Dujana. Jaringan terorisme pimpinan Abu Dujana dikenal sebagai kelompok baru setelah Dr Azahari yang tewas di Malang, Jawa Timur, pada 2005.
Menurut Sidney Jones, Direktur International Crisis Group untuk Asia Tenggara, Dujana adalah orang yang menolong Noor Din M. Top menyembunyikan diri.
Adalah Dadang Hafidz, anggota organisasi Darul Islam yang mempunyai hubungan dekat dengan Zulkarnaen, Kepala Operasi Militer Jamaah Islamiyah, yang menggembleng Ainul menjadi militan pada 1988.
Pada tahun yang sama, dalam catatan polisi, Ainul bersama 22 anggota Jamaah Islamayah mengikuti latihan militer mujahidin di Afghanistan. Dia tercatat masuk angkatan VII. Dujana menjadi anggota Jamaah Islamiyah untuk perwakilan Penshawar, Pakistan. Setelah lulus pendidikan militer, dia menjadi instruktur Jamaah Islamiyah di Towrkhom, Afghanistan, 1992-1997.
Kembali ke Asia Tenggara pada 1997, Ainul bersama Abdullah Sungkar menjadi guru di Pondok Pesantren Lukmanul Haqiem, Malaysia. Di sini ia akrab disapa Guru. Pada 1998 ia menyunting Sri Mardiyati di Dusun Saratan, Desa Sumber Agung, Kecamatan Batuwarno, Wonogiri, Jawa Tengah.
Kepada keluarga istrinya, dia mengaku tukang reparasi komputer di dekat Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo. Di Wonogiri nama Ainul tercatat di kelurahan. Setelah berkeluarga, dia sering bolak-balik Malaysia-Indonesia. Bahkan dia sempat pula bergabung dengan Front Pembebasan Moro di Filipina Selatan pada 2000. Ainul menjadi instruktur di kamp Hudaibiyah, Mindanao.
Setahun kemudian, ia kembali ke Indonesia dan menjadi guru di Mahad Ali, Gading, Solo. Di sini dia disapa Ustad Mahmud. Menurut riwayat di kepolisian, sambil mengajar Ainul mengorganisasi Jamaah Islamiyah. Dalam aktivitasnya ini dia memakai nama sandi ”Abu Dujana”.
Menurut polisi, Dujana ikut merancang bom Bali I pada 12 Oktober 2002. Setelah peristiwa ini, seorang temannya Umar alias Abdul Ghani yang terlibat dalam kasus ini ditangkap, menyusul sejumlah tersangka lainnya. Setelah itu dia sering berpindah tempat tinggal.
Bersama keluarganya, dia pernah bersembunyi di sebuah desa di Kecamatan Baki, Sukoharjo—bertetangga dengan keluarga Imam Samudra. Bertahan dua bulan, lalu ia pindah ke tempat lain, masih di kawasan Sukoharjo.
Seorang polisi mengatakan, di tempat baru ini dia pernah meninggalkan anak dan istrinya selama empat bulan pada 2003. Itu saat bom meledak di Hotel JW Marriot, Jakarta, 5 Agustus 2003. Kemudian disusul peledakan di Kedutaan Besar Australia, Kuningan, Jakarta, pada 9 September 2003. Polisi percaya Ainul terlibat.
Aparat memburunya. Namun dalam sejumlah penyergapan dia selalu lolos. Dia meninggalkan jejak di kawasan hutan Selawi, Subang, Jawa Barat. Saat bersembunyi, dia sering mengadakan kontak dengan penduduk, terutama mencari kebutuhan makanan teman-temannya di persembunyian. Setiap pindah tempat, dia selalu berganti nama, antara lain Mas Hud, Sohrim, Sobirin, dan Dedi.
Pada saat tenang, Ainul kembali ke keluarganya. Identitasnya sudah berganti menjadi Yusron Mahmudi. Kendati berganti jati diri, pada Agustus 2004 Ainul bersama keluarganya menghilang dari Sukoharjo. Enam bulan lalu, polisi mencium jejaknya di Banyumas. Di kantor Kecamatan Kemranjen, Banyumas, Yusron tercatat memiliki kartu keluarga pada 7 Februari 2007. Dalam identitas baru itu, dia mengubah nama anaknya yang pertama dan kedua.
Nurlis E. Meuko, dan Imron Rosyid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo