Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sri Murdiyati: Suami Saya Ditembak di Depan Anak-anak

18 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MELIHAT suami dicokok polisi adalah mimpi buruk bagi Sri Murdiyati, 35 tahun. Sabtu dua pekan lalu, ia, suami, dan keempat anaknya baru saja meninggalkan rumah untuk menonton pemilihan kepala desa di kampungnya di Kemranjen, Banyumas, Jawa Tengah. Sri berjalan kaki beserta seorang anaknya, sementara tiga lainnya membonceng motor sang suami. Saat itulah polisi datang, memepet, dan membekuk Ainul Bahri alias Yusron Mahmudi—orang yang diyakini aparat sebagai teroris kelas kakap, Abu Dujana.

Kini Sri ”mengungsi” ke sebuah tempat di Jakarta. Difasilitasi oleh sejumlah kerabat, wartawan Tempo Erwin Dariyanto menemui perempuan berjilbab itu di sebuah rumah yang dirahasiakan, Kamis pekan lalu. Sri menjawab pertanyaan Tempo dengan tenang meski terkesan tertutup.

Bagaimana cerita penangkapan suami Anda?

Waktu itu sekitar pukul 11.30. Di kampung saya ada pemilihan kepada desa. Kami sekeluarga tidak memilih karena tidak terdaftar. Tapi kami ingin melihat. Tiga anak saya (duluan) sama bapaknya. Baru saya selesai mengunci pintu, anak saya yang pertama dan kedua berlari. “Bu, Ibu, Bapak ditembak.”

Bagaimana persisnya suami Anda ditembak?

Yusuf, anak saya yang berumur 8 tahun, bercerita. Bapak dan ketiga anak kami naik motor dengan posisi anak-anak di depan. Ketika jalan, motor dipepet mobil. Bapak lalu disuruh turun, tangan diletakkan di atas (kepala), dan diminta jongkok. Saat jongkok itu, suami saya ditembak dari jarak dekat, di depan anak saya.

Anda juga dibawa polisi?

Saya dibawa mobil polisi bersama anak saya yang nomor empat dan nomor satu. Dua anak saya lainnya dibawa terpisah dengan saya. Baru tiga jam kemudian saya bisa bertemu dengan mereka di Hotel Ramayana, Yogyakarta, dekat Bandara Adisutjipto. Sejak penembakan itu, saya tidak pernah ketemu lagi dengan suami saya.

Anda juga diinterogasi polisi?

Saya ditanyai tentang data keluarga saya dan suami, termasuk empat anak kami. Saya diminta membuat surat pernyataan meminta jaminan keamanan dari polisi. Kalau saya tidak mau, polisi itu bilang tidak bertanggung jawab terhadap keselamatan saya dan keluarga. Tapi, karena dalam surat itu tercantum kata-kata bahwa suami saya ditangkap dalam kasus terorisme, saya tidak mau (teken). Saya tidak merasa suami saya teroris.

Tapi akhirnya Anda mau teken?

Saya tak punya pilihan. Meski dalam surat pernyataan itu tertulis saya tidak terpaksa, sebenarnya saya terpaksa.

Apakah polisi mengambil sesuatu dari rumah Anda?

Kata polisi tak ada. Tapi saya lihat polisi membawa kotak nyamuk bakar Baygon. Itu kotak tempat compact disc anak-anak, juga kaset yang menceritakan perlunya menyusui anak, dan kaset kartun anak-anak.

Di rumah ada komputer atau laptop?

Tak ada. Yang ada mesin jahit.

Dari Hotel Ramayana, Anda ke mana?

Dari hotel, saya disuruh memilih mau pulang ke mana: ke Wonogiri, tempat asal saya, ke Kemranjen, Banyumas, atau ke Bandung, rumah mertua. Saya pilih Bandung dengan pertimbangan, kalau suami saya dibawa ke Jakarta, lebih dekat kalau saya mau menengok.

Sehari-hari apa aktivitas suami Anda?

Saya kan jualan kelontong. Suami saya sehari-hari ya belanja keperluan warung. Kadang dia mendapat pesanan tas dan seragam taman kanak-kanak.

Dia aktif berdakwah di masjid?

Ke masjid, ya, tiap salat fardu saja, lima kali sehari. Lalu mengajar di taman pendidikan Al-Quran sehabis magrib.

Suami Anda tak pernah ke luar kota?

Ke luar kota saat memasarkan tas. Ke Kebumen dan Purwokerto.

Anda tahu bahwa suami Anda Abu Dujana?

Tidak. Tahunya setelah terakhir ini. Ini pun saya kaget.

Suami Anda pernah berganti nama?

Sewaktu menikah dengan saya pada 1998, namanya Ainul Bahri. Terakhir namanya Yusron Mahmudi.

Dia pernah memakai nama Abu Dujana?

Tak pernah. Keluarga juga tak tahu.

Apa yang Anda ketahui tentang suami Anda?

Mas Mahmud orangnya baik, bertanggung jawab, sayang sama anak dan istri. Tidak pernah menyakiti, memukul, atau mencubit. Dia jujur. Sisa uang belanjaan Rp 50 saja dia kembalikan.

Pernah berdiskusi agama dengan suami Anda?

Paling diskusi rumah tangga saja, soal anak-anak dan urusan belanja. Kalau urusan lain, tidak pernah. Urusan anak saya yang empat saja sudah bikin repot.

Menurut polisi, suami Anda pandai merakit bom?

Walah, mana mungkin, Mas. Kalau menjahit pakaian dan tas itu iya.

Setelah suami Anda dibawa polisi, pernah ada komunikasi?

Ada, pada hari Selasa (12 Juni 2007), melalui telepon genggam polisi. Mas Mahmud berpesan. Pertama, semua yang terjadi sudah takdir, saya harus sabar, doakan Bapak istiqomah, Ibu juga harus istiqomah. Jangan jual akidah dengan harga murah. Urusan keluarga dan lainnya silakan dimusyawarahkan dengan keluarga besar.

Anda percaya suami Anda Abu Dujana?

Saya tidak percaya. Sosok suami saya sangat berbeda dengan Abu Dujana yang disebutkan di media massa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus