Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK seperti biasanya, banyak pemulung yang datang ke Desa Kebarongan, Banyumas, Jawa Tengah, sejak Rabu dua pekan lalu. Mereka mencari aneka barang rongsokan: besi tua, botol, dan koran bekas. Warga tak curiga, desa mereka memang sedang sibuk mempersiapkan pemilihan kepala desa. Hajatan seperti itu biasanya memang ramai didatangi pemulung yang mencari rezeki.
Warga mempersiapkan pesta itu dengan riang gembira. Pada Sabtu dua pekan lalu mereka berduyun-duyun ke tempat pemungutan suara. Semua biasa saja: situasi aman sentosa. Namun, ketika terik matahari menikam kepala, tiba-tiba terdengar salak bedil. Warga terkejut. Mereka berlari kencang ke sumber letusan.
Di situ Yusron Mahmudi sudah berdarah. Beberapa polisi membopong ayah empat anak ini ke atas motor, lalu membawanya pergi. Warga yang tak tahu sebab-musabab kejadian itu bertanya-tanya: apa yang terjadi dengan Yusron yang sehari-hari mereka kenal sebagai pedagang kelontong?
Lima hari kemudian, terjawablah pertanyaan itu. Yusron yang pandai menjahit diumumkan polisi sebagai Abu Dujana, perancang sejumlah aksi bom di Tanah Air. Lelaki murah senyum itu juga disebut-sebut sebagai panglima militer Jamaah Islamiyah, organisasi yang dituding bertanggung jawab terhadap sejumlah aksi teror.
Sesudah Yusron ditekuk polisi, Kebarongan bisa dikatakan sepi dari pemulung. Yang hilir-mudik kemudian juru warta dan polisi yang menyisir halaman dan rumah Dujana. Belakangan warga menyadari bahwa pemulung yang lalu-lalang itu adalah polisi yang menyamar.
Perburuan itu sesungguhnya sudah digelar sejak lima tahun silam—setelah bom melumat sejumlah kafe di Legian, Bali, 12 Oktober 2002. Beberapa pelaku peledakan seperti Imam Samudra, Amrozy, dan Mukhlas ditangkap. Mereka dijatuhi hukuman mati. Dujana juga ditengarai terlibat.
Dujana juga diduga terlibat dalam kasus peledakan bom yang melumat Hotel JW Marriott di Jakarta pada 5 Agustus 2003, dan ikut merancang bom di Kedutaan Australia di Jakarta, September 2004. Dalam catatan polisi, namanya berkibar dalam rangkaian peledakan bom di Poso, Sulawesi Tengah.
Mencari Abu Dujana sulitnya mintan ampun. Pada Januari 2005 jejaknya tercium di Subang, Jawa Barat. Bersama sejumlah kawan, dia bersembunyi di hutan dekat Kampung Banggal, Cipeunduy. Warga di sana mengetahui adanya kelompok ini setelah seorang anak buah Dujana mengoda istri penduduk. Warga yang marah melapor polisi. Namun, saat didatangi, rombongan Dujana sudah kabur. Setelah itu jejaknya gelap lagi.
Dujana baru terendus lagi enam bulan kemudian. Pada Juni 2006 dia diketahui mengontrak rumah di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Polisi menyergap rumah kontrakan itu tapi tak ada hasilnya. Dia melarikan diri sebelum polisi tiba.
Perburuan kemudian berpindah ke Yogyakarta. Pada pertengahan Maret 2007, polisi mengintai kelompok Dujana di Maguwoharjo, Sleman. Di situ anak buahnya baku tembak dengan polisi. Satu tewas, tapi Dujana raib. Dia dikabarkan lari ke Sukoharjo, Jawa Tengah.
Polisi langsung merangsek ke sana. Ia lagi-lagi lolos, tapi polisi meringkus Sikas bin Karim, salah satu anak buahnya. Dari rumah Sikas ini ditemukan ribuan amunisi, senapan mesin AK-47, M-16, 200 detonator aktif, 16 bom lontar, dan 20 kilogram TNT. Barang laknat itu ditemukan di bunker rumah.
Pada akhir Maret 2007 polisi juga merangsek ke Surabaya. Di sana mereka menangkap Choirul, juga anak buah Dujana. Sejumlah barang bukti disita dari rumah Choirul, antara lain 12 kilogram bahan peledak dan sejumlah dokumen tentang Abu Dujana.
Dari berbagai dokumen dan kesaksian itu, polisi akhirnya tahu posisi Dujana dalam Jamaah Islamiyah. Menurut aparat, Dujana adalah panglima militer organisasi itu. Posisinya lebih tinggi dibanding Noor Din Mohammad Top yang berasal dari Malaysia. Dari anak buahnya itu pula diketahui bahwa Dujana orang yang banyak akal. Di setiap tempat pelarian, dia selalu menggunakan nama samaran dan mengubah penampilan.
Tak ingin kalah set, polisi juga rajin menyamar. Rambut mereka dibiarkan gondrong dan mereka kerap memakai celana selutut. Polisi-polisi itu sanggup bergadang hingga subuh. ”Mereka gila kerja,” kata seorang aparat.
Anggota tim pemburu bukan cuma polisi. Ada juga ahli komputer, mantan hacker, dan petugas dari operator jaringan telepon seluler. Tim ini bekerja sama dengan kepolisian Australia dan Biro Penyelidik Federal Amerika Serikat.
Belakangan polisi mengendus aktivitas dunia maya orang-orang dekat Dujana. Mereka antara lain Aris Widodo dan Arif Syarifuddin. Dari pelacakan polisi, diketahui bahwa keduanya berkomunikasi lewat surat elektronik.
Polisi menelusuri email itu. Polisi mencurigai bahasa yang mereka pakai. Pada akhir surat mereka kerap menulis, ”Salam dari pimpinan.” Artinya, ”Mereka kirim surat atas perintah pimpinan,” kata sumber Tempo itu. Selain memeriksa email, polisi juga menyadap komunikasi telepon Abu Dujana dan anah buahnya.
Dari penyadapan itu akhirnya diketahui lokasi sejumlah orang ini. Mereka tinggal di tempat yang berbeda-beda. Tapi di mana persisnya Abu Dujana berada belum diketahui.
Polisi akhirnya menemukan rumus jitu mengunci Dujana, yakni operasi serentak. Operasi itu digelar di lima lokasi sekaligus, yaitu di Sleman Yogyakarta, Banyumas, Karanganyar, Sukoharjo di Jawa Tengah, dan di Surabaya. Daerah itu dianggap sebagai tempat persembunyian Dujana. Dengan operasi serentak ini, ”Dia sudah kita kunci. Sudah dalam target,” kata Inspektur Jenderal Sisno Adiwinoto, Kepala Divisi Humas Markas Besar Kepolisian RI.
Sejumlah polisi yang menyamar dikirim ke lokasi itu. Di Desa Kebarongan, selain menyamar jadi pemulung, ada juga yang menyamar jadi tukang ojek. Begitu diketahui Yusron Mahfud berada di rumahnya, polisi itu menempel ketat.
Sumber Tempo di kepolisian menuturkan, rencananya Yusron ditangkap pada Jumat malam dua pekan lalu. Tapi, karena takut jatuh korban, rencana itu ditunda sehari.
Di empat lokasi lain, polisi juga sukses mengunci anak buah Dujana. Aris Widodo, yang kerap kali berkomunikasi lewat surat elektronik, dibekuk di Tegalgede, Karanganyar, Jawa Tengah. Arif Syarifudin ditangkap di Surabaya. Rombongan Dujana ini ”disimpan” di tempat yang dirahasiakan.
Sri Murdiyati, istri Abu Dujana, membantah suaminya itu adalah teroris. Dia menyangkal suaminya pandai merakit bom. ”Walah, mana mungkin?” katanya. ”Kalau menjahit pakaian dan tas itu iya.”
Wenseslaus Manggut, Budi Setyarso (Banyumas) dan Imron Rosyid (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo