Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Akibat Payung Hukum Tak Kunjung Terbit

Kekosongan payung hukum sebagai dasar pembatasan penjualan Pertalite dianggap membuat penyalurannya tak tepat sasaran.

20 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • DPR meminta pemerintah menerbitkan revisi Perpres 191 Tahun 2014 untuk membatasi penjualan Pertalite.

  • Pemerintah diduga tak kunjung mengeluarkan revisi perpres karena alasan elektoral.

  • Anggaran subsidi diprediksi terus melambung jika penjualan Pertalite tak segera dibatasi

JAKARTA — Penyaluran Pertalite sebagai bahan bakar khusus penugasan dianggap masih belum tepat sasaran. Musababnya, pemerintah tak kunjung menerbitkan revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual BBM, yang salah satunya mengatur kriteria kendaraan yang boleh membeli BBM bersubsidi.

"(Subsidi BBM) tentu belum (tepat sasaran) karena masyarakat umum bebas membeli BBM bersubsidi, baik solar maupun Pertalite," ujar Wakil Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Eddy Soeparno, kepada Tempo, Senin, 19 Juni 2023. Ia mengatakan sampai saat ini tidak ada sanksi bagi masyarakat mampu yang membeli BBM bersubsidi.  

Baca: Sedot Data Menjelang Pembatasan BBM Bersubsidi

Eddy mengatakan Dewan mendorong adanya pembatasan penjualan Pertalite melalui revisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014 yang sampai saat ini masih belum dikeluarkan pemerintah. Revisi peraturan ini diyakini akan membantu pembatasan penjualan Pertalite sehingga penyalurannya tepat sasaran.

Eddy memperkirakan kuota volume kompensasi Pertalite pada 2024 sama seperti tahun ini. "Kalaupun ada peningkatan, itu karena kegiatan masyarakat yang meningkat pada tahun pemilu dan pilkada," kata dia. 
 
Anggota Komisi Energi DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mulyanto, mengatakan sampai saat ini masih ada temuan mobil mewah yang membeli Pertalite. Temuan lain, masih ada kendaraan industri dan perkebunan yang membeli solar bersubsidi. Ia menduga banyaknya ketidaktepatan penyaluran BBM bersubsidi disebabkan oleh mandeknya pembahasan aturan sebagai landasan pembatasan tersebut. 

Mulyanto pesimistis aturan itu akan terbit di tahun politik saat ini karena langkah tersebut dianggap kurang populis. "Saya menduga pemerintah tidak berani mengambil langkah tersebut. Padahal sebelumnya sudah terbuka peluang untuk itu," kata dia. Tanpa adanya aturan tersebut, dia menyebutkan upaya pengendalian penjualan yang kini tengah diuji coba PT Pertamina (Persero) menggunakan aplikasi MyPertamina menjadi tidak memiliki dasar regulasi yang kuat. 

Pertamina tengah menguji coba penggunaan kode QR MyPertamina sebagai syarat pembelian Pertalite. Kode QR akan diperoleh setelah kendaraan didaftarkan dan diverifikasi. Dengan demikian, harapannya, penyaluran BBM bersubsidi bisa tepat sasaran. 

Sekretaris Perusahaan Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting, mengatakan uji coba pembelian Pertalite menggunakan syarat kode QR telah dilakukan di empat wilayah, yakni Aceh, Bengkulu, Bangka Belitung, dan Timika. Hingga kemarin, ia mengatakan sudah ada 7,15 juta kendaraan dari berbagai daerah yang mendaftar ke MyPertamina. "Kalau solar, secara umum, sudah menggunakan full kode QR," kata dia. 

Ketepatan penyaluran bahan bakar bersubsidi menjadi isu hangat pada tahun lalu setelah realisasi subsidi energi dan kompensasi membengkak mencapai Rp 551,2 triliun, atau setara dengan 17,9 persen dari total anggaran belanja negara. Rinciannya, Rp 379,3 triliun untuk kompensasi Pertalite dan Rp 171,9 triliun untuk subsidi BBM (solar dan minyak tanah). Angka tersebut juga melampaui rencana kompensasi dan subsidi berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022 yang sebesar Rp 502,4 triliun dan tiga kali lipat dari pagu awal yang sebesar Rp 152,5 triliun.  

Petugas mengisi bahan bakar di SPBU M.T. Haryono, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

Penyaluran BBM Bersubsidi Tidak Tepat Sasaran

Di tengah jumlah anggaran yang melonjak, pemerintah sempat menemukan penyaluran BBM bersubsidi tidak tepat sasaran. Pada Agustus 2022, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Pertalite dikonsumsi oleh 30 persen orang kaya dan solar bersubsidi digunakan oleh 40 persen orang kaya. 

Dari total anggaran subsidi untuk Pertalite, Sri Mulyani mengatakan 86 persen di antaranya dikonsumsi oleh 30 persen orang kaya. Sedangkan untuk solar bersubsidi, dari total anggaran subsidi Rp 143 triliun, orang kaya dan dunia usaha menikmati Rp 127 triliun di antaranya. Artinya, ada 89 persen dari total subsidi solar dipakai oleh orang kaya. 

Selain tidak tepat sasaran, penyelewengan penyaluran BBM bersubsidi kerap terjadi. Pada 19 Juni lalu, misalnya, Kepolisian Resor Kota Besar Palembang membongkar praktik penyimpangan pemanfaatan solar bersubsidi di daerah tersebut. Penyimpangan itu diduga terjadi pada sebuah SPBU di Jalan R.E. Martadinata, Ilir Timur II, Palembang.

Polisi mendapati SPBU tersebut melangsungkan praktik jual-beli solar bersubsidi dengan cara yang tidak sesuai dengan ketentuan pemerintah. Pengendara semestinya memiliki kode batang resmi pada kendaraannya yang diterbitkan PT Pertamina untuk setiap pembelian solar bersubsidi.

Kode batang itu memuat identitas kendaraan dan pemiliknya berupa KTP, STNK foto kendaraan, serta dokumen pendukung lainnya agar pembelian solar tepat sasaran. “Namun di lapangan ditemukan pada SPBU itu berlangsung pengisian solar secara berulang dengan menggunakan truk yang sama, kemudian dijual kembali ke masyarakat,” kata Kepala Polrestabes Palembang, Komisaris Besar Haryo Sugihartono, Senin pekan lalu.

Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas), Saleh Abdurrahman, mencatat, hingga 8 Juni 2023, penyaluran solar bersubsidi mencapai 43,19 persen. Sedangkan Pertalite sebesar 39,9 persen. "Untuk solar sudah sedikit di atas proyeksi bulanan (penyalurannya)," ujar dia.

Saleh mengatakan Pertamina akan melanjutkan program subsidi tepat solar dengan menerapkannya pada Pertalite. "Sistem ini diharapkan membuat subsidi lebih tepat sasaran dan kuotanya cukup," kata dia. Ia mengatakan lembaganya pun masih menunggu terbitnya revisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014. 

Pada Agustus 2022, Direktur BBM BPH Migas, Patuan Alfon, mengatakan draf revisi itu juga sudah diberikan kepada Presiden Joko Widodo. Artinya, perpres penjualan BBM ini tinggal menunggu tanda tangan Jokowi. "Jadi, revisi Perpres 191 itu sebetulnya sudah rampung," kata Patuan, kala itu. 

Nelayan mengumpulkan jeriken untuk mengisi bahan bakar solar bersubsidi di SPBU Limbangan, Juntinyuat, Indramayu, Jawa Barat. ANTARA/Dedhez Anggara

Konsumsi Pertalite Diperkirakan Tembus 35 Juta Kiloliter

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, yakin kuota Pertalite yang sebesar 32,5 juta kiloliter akan terlampaui pada tahun ini lantaran penyalurannya sudah mencapai 40 persen pada lima bulan pertama 2023. Pada tahun depan, konsumsi Pertalite diperkirakan bisa menembus 35 juta kiloliter karena adanya penjualan mobil dan sepeda motor baru. 

Untuk itu, ia mengatakan pembatasan konsumsi Pertalite dan solar melalui revisi Perpres 191 Tahun 2014 menjadi krusial untuk menjaga penyaluran tidak melampaui kuota serta menekan subsidi tidak tepat sasaran. "Namun langkah ini tidak populer, sangat sulit dilakukan oleh penguasa yang menjaga citra diri menjelang pemilu." 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tanpa revisi Perpres 191 Tahun 2014, Yusuf yakin pembatasan ketat penjualan Pertalite dan solar tidak bisa dilakukan. Akibatnya, konsumsi BBM bersubsidi akan sulit dikendalikan dan anggaran subsidi BBM selalu meningkat.

Ekonom dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan selama ini persoalan yang perlu ditangani adalah perkara data. "Kita tahu bahwa terdapat kesalahan data yang selama ini mengurangi efektivitas penyaluran dari beragam pos anggaran subsidi," kata dia.  

Kesalahan penyaluran acap kali terjadi karena pemerintah tidak memasukkan orang yang seharusnya berhak menerima bantuan subsidi dari data yang digunakan. Masalah lainnya adalah pemerintah memasukkan orang yang seharusnya tidak menerima bantuan, tapi kemudian menerima subsidi.

Sementara itu, menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, selama pemerintah masih menerapkan subsidi terbuka, penyaluran BBM akan cenderung bocor dan tidak tepat sasaran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CAESAR AKBAR | RIANI SANUSI | ANTARA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus