Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ada 'Udang' di Balik AMIN

Investigasi TEMPO menunjukkan bahwa AMIN hanyalah kambing hitam dalam kasus Matori. Karena polisi enggan mengungkap keterlibatan militer di situ?

26 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rumah kecil itu seperti terjepit dalam Gang Buaya yang sempit di sebuah kawasan Tanahabang, Jakarta, yang padat. Hanya empat meter lebarnya. Bagian depan dipakai untuk warung tempat berjualan pisang goreng. Bagian belakang dihuni tujuh kepala: si empunya rumah bersama seorang istri dan tiga anaknya, plus kedua orang tuanya. Tikus got kadang berseliweran di lantai semen rumah itu. Itulah rumah Zulfikar, yang namanya menjadi terkenal pekan-pekan ini. Polisi mengaitkan nama ini dengan kasus pembacokan terhadap Wakil Ketua MPR Matori Abdul Djalil. Zulfikar, atau Muhammad Ichwan, tak hanya disebut-sebut sebagai otak upaya pembunuhan terhadap Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa itu. Dia juga dikatakan sebagai pentolan Angkatan Mujahidin Islam Nusantara (AMIN)—sebuah organisasi misterius yang namanya muncul tahun silam. Tujuan gerakan ini, menurut polisi, adalah mendirikan Negara Islam. Polisi tak hanya menuduh. Mereka menghadirkan saksi penting—seorang tersangka dalam pembacokan Matori yang ditangkap tiga hari setelah peristiwa. Namanya Achmad Tazul Arifin, atau Sabar, menurut versi polisi. Dalam sebuah konferensi pers yang jarang, Arifin membeberkan pengakuan secara lancar. "Saya hanya mengantar Sarmo," katanya. Sarmo adalah pembacok Matori yang berlakangan tewas karena amukan massa. "Saya cuma pelaksana," tambahnya. rifin mengaku beraksi atas suruhan Zulfikar dan satu nama lagi: Ahmad Riyadi, atau Assadullah, menurut versi polisi. Zulfikar pun bukan nama sebenarnya. Keluarga dan para tetangga mengenalnya sebagai Muhammad Ichwan, sang pemilik warung pisang goreng itu. Menurut Arifin, Zulfikar menyuruhnya membunuh Matori, "orang PKI yang menyusup ke dalam Islam". Komunis? "Matori menolak menerapkan asas Islam dalam partainya." Arifin lebih jauh mengakui keterlibatannya dalam perampokan Bank BCA dan peledakan Masjid Istiqlal pada April 1999. Pengakuan inilah yang segera mengkaitkan Zulfikar dkk. dengan AMIN—organisasi yang menurut polisi bertanggung jawab atas dua peristiwa itu. Polisi tidak menjelaskan bagaimana sebuah gerakan radikal Islam melakukan teror dengan meledakkan masjid. Lebih dari itu, polisi tak pernah berhasil menangkap Amir yang disebut sebagai pemimpin AMIN. Dan AMIN memang sebuah organisasi yang bersaput misteri hingga kini. Dari selusin tersangka dua kasus itu, hanya tiga yang akhirnya divonis bersalah—ketiganya tertangkap basah di tempat kejadian. Selebihnya bebas murni dari semua tuduhan. Salah satu yang bebas adalah Edi Rochadi, pengasuh pengajian di Musala Almuhajirin, Maseng, Bogor, yang sempat mendekam dalam tahanan selama sembilan bulan sebelum dibebaskan awal Januari lalu. Musala itu, menurut polisi, adalah markas AMIN. Polisi memang kini memiliki "bukti keras", yakni pengakuan Arifin tadi. Namun, pelacakan TEMPO menunjukkan sejumlah keganjilan (lihat Anatomi Sebuah 'Skenario'). Melihat rumah Muhammad Ichwan alias Zulfikar, sulit untuk mendukung pernyataan Arifin bahwa dia adalah seorang guru mengaji yang punya pesantren. Pengakuan istri Arifin juga memunculkan keraguan terhadap kredibilitas kesaksian Arifin. Imas, sang istri, mengaku bersama anak-anaknya diungsikan polisi ke sebuah hotel pada tengah malam sehari sebelum Arifin ditangkap. Keesokan harinya, Imas diangkut ke Polda untuk menandatangani sebuah berkas yang tidak diketahui isinya. Namun, polisi tampaknya berkeras dengan "skenario gerakan Islam radikal" tadi. Mengutip seorang saksi, polisi mengatakan bahwa Zulfikar pernah belajar kemiliteran dari Mujahidin Moro, Filipina. Sang saksi mengaku mengenal Zulfikar sebagai penceramah di Masjid Nurul Jihad, Kapukmuara, Jakarta Utara. TEMPO menemukan hanya satu masjid di Kapukmuara dengan nama mirip: Al Jihad. Pengurus masjid itu, seorang simpatisan PKB, mengaku sama sekali tak pernah mendengar ada nama Zulfikar datang ke situ. Polisi juga mengaku menemukan tanda-tanda sebuah kegiatan militer di rumah Ahmad Riyadi atau Assadullah, di Bojonggede, Bogor: sebuah granat, puluhan detonator, dan sejumlah peta situasi beberapa kota di Jawa Barat. Barang-barang itu ditemukan pada penggerebekan 13 Maret. Jika barang itu benar-benar milik Riyadi, hampir mustahil polisi tak menemukannya pada penggerebekan pertama yang berlangsung tiga hari sebelumnya. Banyaknya keganjilan tadi membuat Mulyana W. Kusumah, ahli kriminologi dan pengamat hukum, berkesimpulan bahwa polisi terlalu dini mengaitkan kasus pembacokan Matori dengan kelompok AMIN. "Saya ragu apakah organisasi itu benar-benar eksis atau hanya sebuah organisasi yang dikonstruksikan secara politik untuk sasaran kambing hitam," ujarnya. Di sisi lain, polisi sebenarnya belum menemukan bukti cukup kuat keterlibatan AMIN. Selain dari pengakuan tersangka dan bukti yang ditemukan, meski terasa janggal, polisi tidak menemukan motif yang masuk akal. Bahkan, awalnya, ketika kasusnya ditangani Polres Jakarta Selatan, motif agama tidak pernah disebut. "Saya juga heran, kenapa begitu ditangani Polda kasusnya jadi melibatkan gerakan AMIN," ujar sumber di kepolisian. Pertanyaan lain yang juga mengganjal adalah kenapa polisi, lewat pengakuan tersangka, begitu gampang menyebut AMIN. Jelas ada sesuatu di balik itu. "Penyebutan AMIN mengesankan ada arahan dari polisi untuk mengaburkan teror politik dalam kasus Matori," ujar Mulyana. Bisa jadi. Pistol FN 46 yang dibawa tersangka adalah senjata organik TNI. Artinya, tidak tertutup kemungkinan ada oknum tentara yang terlibat di dalamnya. Nah, jika sudah timbul dugaan yang mengarah ke urusan tentara, biasanya polisi selalu berhati-hati. "Jika pelaku pembunuhan adalah oknum tentara, biasanya reserse memang agak takut mengungkap," ujar seorang reserse Mabes Polri. Sebenarnya, menurut sumber yang tidak mau disebut namanya itu, penemuan pistol FN 46 di tempat kejadian sudah memberi petunjuk terang ada oknum aparat yang terlibat. Soal motif, kata sumber itu, ada benang merahnya antara tentara dan Matori Abdul Djalil. "Sudah santer terdengar Matori ikut bermain dalam mutasi TNI baru-baru ini," tuturnya. Bisa jadi, pihak yang tersingkir atau merasa dirugikan ingin memberi "peringatan" kepada dia dan kelompoknya. Selain itu, tuntutan publik yang ingin kasus tersebut segera diungkap juga menjadi beban polisi. Karena desakan masyarakat melalui pers itulah, menurut dia, terkadang polisi mengambil jalan pintas. Nah, bisa jadi, cara termudah dan cepat adalah mengaitkan kasus tersebut dengan AMIN. "Cara itu sudah umum dilakukan reserse." Keterlibatan tentara dengan motif politik tadi bukanlah satu-satunya kemungkinan. Matori sendiri menolak berspekulasi tentang motif-motif usaha pembunuhan terhadap dirinya. Dia juga mengatakan tidak terlibat dalam mutasi TNI yang mungkin membuat sementara kalangan marah karena tersingkir. Di kalangan sipil, Matori juga bukan tokoh yang bisa diterima siapa saja. Kegigihannya dalam membela Megawati Sukarnoputri ketika bersaing dengan Abdurrahman Wahid untuk memperebutkan kursi presiden bahkan menjengkelkan sejumlah kalangan dalam PKB sendiri. Tentu saja ini tidak serta-merta memastikan bahwa kalangan inilah yang merancang penyerangan terhadap Matori. Matori adalah politisi yang lihai. Berkat kelicinan berkelit bak seekor belutlah pria tinggi besar ini tetap melaju di tengah kerasnya persaingan politik. Untuk itu, Matori tak segan dituding pihak lawan sebagai seorang oportunis. Suatu saat ia bisa terlihat akrab bercengkerama dengan Benny Moerdani. Namun, kala lain, ia pun tak sungkan-sungkan mengakui kebesaran mantan presiden Soeharto. "Negarawan idola saya, ya, Pak Harto, dong," katanya suatu ketika. Belakangan, dia termasuk yang mengecam sang idola. Motif non-politik, seperti motif pribadi, misalnya? Seorang sumber TEMPO di kalangan Nahdlatul Ulama menyebutkan "faktor wanita" bisa menjadi salah satu pemicunya. "Beliau itu ibaratnya kan sering buang air sembarangan," katanya. Sumber itu menyebut nama seorang wanita yang menurut dia mungkin merasa diperlakukan tidak adil. Namun, Matori menampik kemungkinan itu. "Mana orangnya? Istri saya bisa ngakak mendengar itu," katanya. Matori mempunyai dua istri. Sri Andarini adalah istrinya yang pertama, yang memberinya lima anak, dan tinggal di Jakarta. Istri kedua, yang kabarnya dilamarkan istri pertama, tinggal di Salatiga, Jawa Tengah, bersama tiga anak lainnya. Banyak kemungkinan bisa terjadi. Namun, banyak bukti akan menguap jika polisi menjurus kepada satu kemungkinan saja, dan yang lemah lagi. AMIN hanyalah kambing hitam. Dan itu merupakan pengambinghitaman yang berbahaya. Kiai Hasib Wahab Chasbullah, Wakil Khatib Syuriah PWNU Jawa Timur, menilai kesimpulan Polda Metro Jaya yang menyatakan kelompok AMIN di balik kasus pembacokan Matori cenderung mengadu domba umat Islam. "Kasus Matori itu sama sekali tidak bisa dikaitkan dengan kelompok AMIN. Apa, sih, kelompok AMIN itu? Sampai sekarang saya tidak pernah mengenal organisasi itu," katanya. Mulyana W. Kusumah sementara itu khawatir bahwa pengaitan serampangan AMIN dengan gerakan Islam akan luas dampaknya. "Akan muncul proses yang menyudutkan organisasi-organisasi Islam pada umumnya, seperti yang pernah dipraktekkan pada awal Orde Baru," katanya. Johan Budi S.P., Darmawan Sepriyossa, Handriani P., Edy Budiarso, Wenseslaus Manggut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus