Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tiga Serangkai Penuh Misteri

Mereka adalah penjaja keripik, penjual pisang goreng, dan pegawai negeri rendahan. Polisi mencoba membuktikan bahwa mereka adalah komplotan ''teroris radikal Islam".

26 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ACHMAD Tazul Arifin mengaku merasa tidak enak tentang keluarganya hari itu. Dan benar saja. Ketika pulang ke rumahnya, di Kompleks Total Persada Raya, Tangerang, dia tak menemukan istri dan empat anaknya. Malah, sejumlah polisi dari Kepolisian Daerah Metro Jaya datang mencokoknya. Tanpa perlawanan, Arifin rela diringkus. Sehari sebelum Arifin mengaku ditangkap, rumahnya digerebek. Kedatangan polisi pada tengah malam itu—ketika semua orang terlelap tidur—masih membuat Imas, istrinya, ketakutan. Wajahnya masih menampakkan stres, dan matanya sembap, ketika wartawan TEMPO mengunjunginya pekan lalu. Malam itu, polisi membawa Imas dan empat anaknya yang masih kecil (yang tertua berusia 9 tahun) berkeliling di Ancol sebelum menginapkan mereka ke sebuah hotel. ''Saya tidak tahu nama hotelnya dan di mana," kata Imas. Keesokan harinya, mereka diboyong ke Polda Metro Jaya. Imas diminta menandatangani sebuah berkas. ''Saya tidak tahu isinya," katanya. Dua hari kemudian, keluarga ini mendengar Arifin ditangkap. Imas merasakannya sebagai mimpi buruk. ''Saya tak menyangka Abi Pipin terlibat kasus dengan polisi," katanya. Arifin memang biasa dipanggil dalam keluarganya sebagai Abi (Ayah) Pipin (Arifin). Nyonya Euis, ibu mertua Arifin, mengetahui menantunya ditangkap polisi dari berita televisi. ''Keluarga kami tidak pernah berurusan dengan polisi, apalagi masalah hukum," kata Siswo, paman Imas. Bersama istri, mertua, dan empat anaknya, Arifin tinggal di rumah sederhana tipe 36 itu. Sangat sederhana. Kayu-kayu kusen pintunya berlubang dimakan rayap. Dipisahkan sebuah almari kayu tempat cangkir-cangkir keramik putih, terdapat ruang makan dan ruang tamu. Di dinding menghadap ruang makan, melekat lukisan kain bergambar Ka'bah. Siapa sebenarnya Arifin? Para tetangga mengenalnya sebagai orang yang sopan dan ramah. ''Dia tak pernah berbuat aneh-aneh," kata Ruhiat, ketua RT setempat. Tubuhnya tidak tergolong tinggi. Dan itulah yang mengganjal cita-citanya menjadi tentara seperti almarhum ayahnya, seorang purnawirawan sersan mayor di Kostrad. Arifin puas menjadi anggota resimen mahasiswa ketika kuliah di Akademi Manajemen Indonesia, yang tidak diselesaikannya karena kurang biaya. Imas mengaku tak banyak tahu kegiatan suaminya. Arifin jarang di rumah. Imas mengatakan sudah empat bulan sang suami jarang pulang. Arifin berjualan keripik di Cibitung, Bekasi, dan hanya setiap akhir pekan pulang menjenguk anak-anaknya. Arifin, seperti pengakuannya sendiri, terlibat dalam sebuah gerakan radikal Islam. Meski mengaku terlibat, Arifin lebih banyak melemparkan kesalahan—dan sejumlah teka-teki—kepada Muhammad Ichwan (Zulfikar) dan Ahmad Riyadi (Assadullah), dua tokoh yang belum diketahui di mana rimbanya. Adalah Riyadi, kata dia, yang mengajaknya ikut dalam pengajian Zulfikar. Keluarga Ahmad Riyadi, 40 tahun, tinggal di Kelurahan Waringinjaya, Bojonggede, Bogor. Bekerja sebagai pegawai negeri di Biro Rumah Tangga Departemen Sosial (kini Badan Koordinasi), pria ini juga memiliki keluarga sederhana. Dari Sri Rusmiyati, is-trinya, dia mempunyai tiga anak yang semuanya masih berusia di bawah lima tahun (balita). ''Pendiam. Ia bukan orang yang banyak bicara. Tapi ia sopan dan rajin bekerja," kata atasannya di Departemen Sosial, ''Dia tidak pernah berbuat yang aneh-aneh, tidak pernah mengajak rekan-rekannya ikut pengajian atau ngomong-ngomong politik." Andi, ketua RT setempat, juga mengenal pria kelahiran Gombong, Jawa Tengah, itu sebagai warga yang sopan. ''Tutur katanya halus. Hubungan sosialnya pun bagus. Tak tercela," ujar Andi. Setiap hari kerja, Riyadi memilih berjalan kaki sepanjang sekitar 1 kilometer dari rumahnya menuju Stasiun Cilebeut, dan melanjutkan perjalanan ke kantor dengan kereta rel listrik (KRL) Bogor-Jakarta. Dia akan pulang sekitar magrib. Namun, Riyadi menghilang dari rumah sejak 2 Maret lalu. Padahal, menurut Rusmiyati, ''Suami saya tak pernah pergi lebih lama dari dua hari." Arifin menyebut Riyadi sebagai mentornya. Dan polisi mengaku menemukan sebuah granat, 83 detonator, sejumlah paspor, dan tujuh lembar peta foto udara kota-kota di Jawa Barat, di rumahnya—bukti-bukti yang layak dipertanyakan (lihat: Anatomi Sebuah ''Skenario"). Rusmiyati mengatakan tak pernah mengenal Achmad Tazul Arifin alias Sabar. ''Saya tak tahu siapa Sabar. Dan tak pernah ia datang ke rumah," katanya. Muhammad Ichwan atau Zulfikar menghilang tanpa pesan setelah namanya disebut sebagai otak pembunuhan Matori. Terasa tampak kesan ketakutan pada keluarga itu ketika wartawan TEMPO mengunjungi rumahnya, di sebuah gang sempit, di kawasan Tanahabang. Pekerjaan sehari-hari Ichwan, penjual pisang goreng, sama sekali tak mewakili gambaran seorang ''teroris Islam", bahkan tidak juga seorang guru mengaji yang punya pesantren. Keluarganya menempati rumah petak selebar empat meter, yang hanya berjarak 10 meter dari sebuah posko PDI Perjuangan. Anak Ichwan masih kecil-kecil (yang tertua 6 tahun, sementara yang bungsu masih menyusu pada ibunya). Rumah berlantai semen itu terasa lebih sumpek karena tinggal pula orang tua Ichwan. Sesekali tikus got menyerobot masuk rumah memutus pembicaraan. ''Selama ini, keadaan keluarga ini baik-baik saja dan tidak pernah ada masalah," kata seorang adik Ichwan. Namun, sejak nama Zulfikar disebut-sebut, anggota keluarga itu berjatuhan sakit. Abdul Azis, ayah Ichwan, yang kini terbaring sakit, tidak pernah bisa membayangkan anaknya melakukan teror dan mencoba membunuh seseorang. Salah satu anggota keluarga Ichwan yang menemui TEMPO tak mau banyak bicara. ''Kita takut dipanggil polisi lagi," katanya. Agung Rulianto, Edy Budiyarso, Wenseslaus Manggut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus