Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH pojok di Blok M itu belum sampai separuhnya beres terbangun. Tapi konsep hunian di Perumahan Bangun Cipta Sarana di Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara, itu sudah tampak wujudnya. Lantai yang terpacak setinggi 1,1 meter dari permukaan tanah jelas menunjukkan rumah itu dirancang untuk mengatasi banjir yang kerap menerjang.
Sudah sepuluh tahun Ainun Najibah, si pemilik rumah, tinggal di kompleks itu. Saban tahun banjir selalu mampir. Gara-gara daerahnya berstatus pelanggan banjir itulah ia merobohkan rumah warisan dari mertuanya, Februari lalu. Ibu satu anak itu meminta bantuan desainer dari studio arsitektur Akar Anomali untuk merenovasi kediamannya. "Sudah lama kepikiran untuk punya rumah panggung, ketimbang harus ngurug," kata perempuan 41 tahun itu.
Dua tukang bangunan sedang memasang hebel di lantai dua ketika Tempo berkunjung ke sana, Senin dua pekan lalu. Bagian depan rumah masih belum ada temboknya. Baru dinding dari batu kali di sisi kanan dan lantai dasar yang sudah berdiri tegak. Batu kali seukuran dua kepalan tangan "diimpor" dari Citayam, Depok, Jawa Barat.
Tembok yang baru dibangun itu dilubangi seukuran pipa, membentuk pola berlian. Dinding sengaja diberi jarak sekitar satu meter dengan tepi lantai panggung sebagai area sirkulasi udara. Aliran angin akan bertambah karena dinding sisi belakang disusun dari roster. Ainun memang menginginkan rumah yang tak perlu penyejuk udara, selain meminta konsep rumah panggung anti-banjir dan irit air.
Tak hanya menggarap sirkulasi udara lewat dinding, atap pun didesain bisa meredam panas. "Arah atap utara-selatan, bukan barat-timur," ujar Yopie Hersiansyah, arsitek di Akar Anomali. Atap dibikin model sandar dengan bagian puncak ada di sisi selatan, sehingga panas matahari akan terbentur dinding hebel.
Yopie meyakinkan pemilik rumah tak perlu khawatir ancaman nyamuk lantaran dinding berlubang. Ia memperkirakan populasi nyamuk justru akan berkurang karena aliran angin lancar. Tapi Ainun sudah punya kiat: menanam bunga anti-nyamuk, lavender. Dia juga memasang jaring kawat.
Di pojok kanan halaman depan dibikin bak beton 5,8 meter persegi sebagai penampung air hujan. "Menurut arsiteknya, bak ini bisa menampung 7.500 liter air," ujar Ainun. Bak tadah air hujan adalah ciri khas Yopie dan kawan-kawannya yang tergabung dalam studio Akar Anomali. Tujuannya menghemat konsumsi air PDAM.
Prinsipnya, setelah melewati penyaring, air tampungan itu bisa digunakan untuk menyiram halaman, mencuci, dan mengguyur toilet. Belakangan, tim arsitek mengusulkan tambahan kolam pengolah air limbah rumah tangga untuk didaur ulang. "Yang pasti ada biaya lagi. Jadiin dulu deh rencana utamanya," kata Ainun.
Koordinator Green Map Jakarta Nirwono Joga mengatakan hunian ramah lingkungan harus mempunyai daerah resapan air minimal 30 persen dari luas lahan. Sebagian lahan bebas juga mesti ditanami pohon peredam gersang. "Banyak bangunan ramah lingkungan gagal karena enggak teduh," ujar Joga. Karena itu, ia meminta kediaman Ainun dicek: berapa besarnya koefisien lahan terbuka untuk resapan air.
Yopie menyebut koefisien resapan air rumah Ainun mencapai 72 persen. Dari total luas lahan 198 meter persegi, 135,6 meter persegi berupa tanah resapan. Lahan resapan meliputi dua bagian, yakni halaman depan dan belakang serta kolong panggung. Daerah tangkapan air juga ditambah dengan sumur resapan sedalam 250 sentimeter dan berdiameter 95 sentimeter. Luas rumah dua lantai dengan tiga kamar tidur itu 187,5 meter, meliputi seluruh ruangan lantai satu dan dua.
Halaman seluas 37,8 meter persegi di belakang dan 38,18 meter di depan sebagai peneduh rumah. Ainun telah memiliki pohon cermai, jambu biji, dan palem di halaman depan. Ia akan menambah beberapa tanaman baru. "Tapi cermainya enggak boleh diganti. Banyak sejarahnya," Ainun mengungkapkan sisi personal pohon dengan buah bulat-bulat sebesar kelereng itu. Tanaman pot juga akan disiapkan di pagar balkon dan dinding depan lantai dua.
Joga menambahkan, rumah ramah lingkungan juga harus hemat energi. Artinya, tak ada lampu yang menyala sepanjang hari. Ainun yakin akan hal itu karena sinar matahari dirancang bebas masuk melalui dinding sisi belakang, samping, dan depan. Dari semua syarat rumah ramah lingkungan, Ainun hanya belum sanggup menyediakan fasilitas pengolah air limbah dan panel tenaga surya. "Itu masuk rencana berikutnya alias menabung dulu," ucapnya.
Meski mengapresiasi konsep rumah panggung milik Ainun, Joga tak yakin rumah model ini diminati masyarakat. Menurut dia, rumah ramah lingkungan bisa terwujud jika si arsitek dan pemilik rumah sama-sama idealis. "Harga rumah ramah lingkungan lebih mahal 15-30 persen," ujar Joga.
Namun, menurut Yopie, urusan harga sebenarnya amat relatif dan selalu ada ruang untuk disiasati. Arsitek ini mengaku, bersama rekan-rekannya, dia pernah merancang rumah panggung di Dago, Bandung, dengan biaya konstruksi Rp 30 juta saja. "Tapi ukurannya 24 meter persegi dan menggunakan kayu bekas rumah lama."
Bandingkan dengan bujet renovasi rumah panggung Ainun, yang menelan Rp 525 juta. Semula Akar Anomali menaksir biaya cuma Rp 346 juta. Biaya perancangan dipatok lima persen dari anggaran konstruksi. Nyatanya, ongkos melar ketika sampai di tangan kontraktor. Toh, Ainun ngotot tetap melanjutkan rencana membangun rumah panggungnya. Ia telanjur cocok dengan desain yang mampu mengatasi banjir saat volume hujan berlebih tapi sekaligus hemat air ketika musim kering datang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo