Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KESUNYIAN di El Verde Green Living terusik saat matahari condong ke barat. Penghuni perumahan di daerah Gunung Batu, Cimahi, Kabupaten Bandung, itu beramai-ramai ke luar rumah, termasuk keluarga Surya. Bersama istri dan anaknya, ia menikmati sore di taman. "Saya jatuh hati dengan kompleks ini karena banyak ruang terbuka hijau dan taman bermain untuk anak-anak," katanya Ahad dua pekan lalu.
Taman bermain itu terletak di tengah-tengah kompleks. PT Global Realty, selaku pengembang, menyediakan satu taman seluas 100 meter persegi untuk setiap kompleks berisi 20 rumah, yang tergabung dalam satu rukun tetangga. Warga kerap memanfaatkan lahan kosong di taman berumput itu untuk menyalurkan hobi berkebun.
Hal lain yang membuat Surya kesengsem adalah jogging track dan jalur sepeda yang mengitari kawasan seluas 1,6 hektare tersebut. "Saya sudah di El Verde sejak 2013," ujarnya.
El Verde dalam bahasa Prancis berarti hijau. Sebagaimana namanya, menurut Sugi Abraham, Manajer Pemasaran El Verde Green Living, perumahan itu memang menawarkan konsep ramah lingkungan. "Kami menanam banyak pohon agar rindang dan segar," katanya.
Kesan hijau segar sudah terasa sejak gerbang utama. Sepanjang jalan masuk, pohon cengkeh hijau tampak berjajar rapi hingga ke jalan-jalan utama di perumahan itu. Pengembang sengaja memilih cengkeh lantaran tanaman itu sudah ada di sana sebelum proyek dimulai.
Adalah arsitek Baskoro Tedjo yang merancang El Verde pada 2009. Tapi baru tiga tahun kemudian perumahan itu mulai dibangun. Agar alih fungsi tanah bekas sawah tersebut tetap ramah lingkungan, Baskoro mempertahankan kontur lahan yang agak miring. "Alam yang meminta agar seperti itu," ujar dosen di Jurusan Teknik Arsitektur Institut Teknologi Bandung itu, Selasa dua pekan lalu.
Semaksimal mungkin, menurut Baskoro, mereka mempertahankan ruang terbuka hijau. Bangunan rumah menelan porsi 60 persen dari luas tanah setiap kaveling. Sisanya untuk taman dengan aneka pohon.
Bagi penghuni seperti Surya dan keluarganya, selain ramah lingkungan, El Verde "ramah" di kantong. Desain rumah yang memaksimalkan pencahayaan di setiap ruangan menghemat setrum sehingga biaya listrik bulanan jadi lebih ringan. Tinggal di dalam bangunan berdesain minimalis itu, para penghuni tak harus menghidupkan lampu di siang hari. Jendela berdaun lebar membuat sinar matahari bebas masuk ke rumah.
Setiap rumah juga dilengkapi panel tenaga surya. Cita-citanya, rumah tak lagi mengandalkan pasokan listrik dari luar dan bisa mencukupi kebutuhan energinya sendiri.
Selain soal listrik dan cahaya, sirkulasi udara dirancang sedemikian rupa agar angin bisa menembus ke dalam rumah. "Supaya di dalam rumah terasa dingin dan tak perlu menggunakan AC," kata Baskoro.
Konsep ramah lingkungan diterapkan pula pada pengelolaan air. Sang arsitek menggunakan cone block untuk jalan di dalam perumahan, agar dapat menyerap limpahan air hujan.
Air bagi kebutuhan penghuni berasal dari sumber di pegunungan. Agar air tidak terbuang begitu saja, di setiap rumah ada tiga bak penampungan untuk menyaring air bekas pakai. Saringan menggunakan lapisan ijuk, batu, dan pasir. Juga ada tanaman untuk membantu proses daur ulang air limbah menjadi air baku.
Bak-bak penampung air itu berukuran 2 x 4 meter, sedalam 60 sentimeter. Limbah air dari dapur dan kamar mandi, termasuk air hujan, masuk ke bak penampung. Setelah didaur ulang, air limbah bisa digunakan untuk mencuci piring, menyiram tanaman, atau mencuci kendaraan. "Dimasak sebagai air minum juga bisa, tapi banyak orang yang tidak tega," ujar Baskoro.
Perancang studio seni Lawangwangi dan Selasar Art Space ini membuat pula tempat pengolahan sampah warga secara komunal. Di sana, warga bisa membakar sampah yang tak dapat didaur ulang, sedangkan yang organik mereka olah menjadi kompos menggunakan insinerator.
Membangun rumah ramah lingkungan tentu membutuhkan ongkos tak sedikit. Belum lagi biaya ekstra untuk menyediakan ruang terbuka hijau, bak pengolah air, hingga fasilitas pengolahan sampah.
Untuk menekan biaya, pengembang menggunakan sebanyak mungkin komponen lokal, sehingga menghemat ongkos angkut material. Itu sebabnya, menurut Baskoro, mereka banyak membeli bahan bangunan dari perajin terdekat. Batu untuk fondasi dan pasir pun berasal dari sungai-sungai di Cimahi. Sedangkan bebatuan lain dan keramik mereka datangkan dari Citatah, Padalarang, yang tak begitu jauh dari perumahan. "Hanya kaca yang agak jauh karena produsennya di Tangerang," katanya.
Sarah Ginting dari biro arsitek SAGIarchitecs membenarkan, konsep rumah hijau seperti El Verde memang mahal. Konstruksinya juga tergolong rumit. Desainnya, menurut dia, tak bisa mentah-mentah mengadopsi Eropa atau Amerika Serikat, lantaran kelembapan dan iklim yang berbeda.
Misalnya, untuk membuat beton berumput sebagai atap rumah, perancang harus mempertimbangkan jarak yang tepat agar kelembapan tanah dan rumput di atap tidak sampai mengganggu penghuni rumah. "Kalau terlalu lembap, penghuni bisa sakit," ujar Sarah, Rabu pekan lalu.
Hal tersebut akhirnya membuat harga rumah ramah lingkungan cenderung lebih mahal daripada harga rumah biasa. Tapi itu tak menyurutkan minat konsumen. Apalagi, selain lingkungannya hijau, di perumahan seperti El Verde konsumen bisa menghemat pengeluaran untuk listrik dan air. "Rumah dengan gimmick ramah lingkungan banyak yang beli," kata Baskoro.
Menurut Sugi, El Verde menawarkan empat tipe rumah: Amazon, Valdivian, Madagaskar, dan Daintree. Luas lahan setiap rumah bervariasi, dari 133 hingga 187 meter persegi, dengan harga Rp 800 juta-1 miliar lebih. Dari 64 rumah yang ditawarkan, kini hanya tersisa enam kaveling.
Tingginya permintaan pasar mendorong Global Realty menambah sejumlah unit rumah lagi. "Kami akan melakukan ekspansi lahan sekitar 1,2 hektare di lokasi yang sama," ujar Sugi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo