Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MATERIAL bekas bertebaran di berbagai bagian rumah. Genting apkiran dipakai kembali untuk melapisi hampir seluruh dinding ruang tamu, yang menyatu dengan ruang tengah. Tujuannya agar pemilik tak repot mengecat berulang. Kayu sisa konstruksi pun ditata apik sebagai hiasan dinding. Bahkan pintu rumah dibuat dari kayu eks bantalan rel kereta api. Kesan seni terasa kental di kediaman Jonathan-Shanty di Green Ville, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, ketika Tempo berkunjung, Kamis dua pekan lalu.
Tapi bukan kediaman berseni yang hendak diwujudkan keluarga ini, melainkan hunian yang berkonsep ramah lingkungan. Pemilik meminta bantuan arsitek Yu Sing untuk merancang desain. Dimulai pada 2009, renovasi akhirnya kelar pada 2011. Proses pembangunan ulang rumah berlantai tiga ini selama 1 tahun 10 bulan tergolong lama, karena biasanya cukup 9-10 bulan. "Karena mulai konsep hingga pemilihan material berbeda dengan hunian umumnya," kata Yu Sing kepada Tempo.
Yu Sing, yang mengaku anti-mainstream, mengumpulkan sejumlah material yang dianggap sampah. "Barangkali nanti terpakai," ia menjelaskan. Diferensiasi bahan inilah yang membuat Yu Sing menamai karyanya "rumah puzzle". Beragam bahan berhimpun menjadi sebuah rumah yang lebih hemat energi dan bersahabat dengan alam.
Lihat saja, bambu bekas perancah selama konstruksi digunakan sebagai bahan railing alias pegangan tangga, juga lantai dan plafon ruang produksi kue. Kebetulan, nyonya rumah adalah pengusaha kue. Karung wadah terigu pun tak terbuang, dan dimanfaatkan sebagai gorden jendela. Tentu dengan sentuhan desain yang yahud.
Dari ruang tengah menuju area untuk menjemur pakaian, terdapat sekat berupa dinding yang terhimpun dari botol-botol bening. Tampak unik. Cahaya pun masih bisa menembus ke dalam dan mengurangi konsumsi listrik buat penerangan tambahan. Posisi rumah yang menghadap ke timur pun dimanfaatkan betul. Properti dinding bolong-bolong-ukuran lubang sekitar 3 x 3 sentimeter-dipilih sebagai ventilasi untuk lalu lintas udara sekaligus cahaya.
Sirkulasi udara yang lancar memungkinkan ruang-ruang tidak menggunakan penyejuk udara. Hanya kamar tidur yang dipasangi AC-itu pun multifungsi. Panas yang keluar dari mesin AC di luar ruangan dimanfaatkan untuk menghangatkan air kamar mandi.
Langit-langit rumah, kecuali kamar tidur, dirancang tanpa plafon. Pipa-pipa listrik ditata rapi terekspos. Lantai rumah hampir seluruhnya menggunakan acian semen ekspos yang ditaburkan dan digosok saat beton cor pelat lantai belum mengering. Lebih irit, tak perlu keramik, apalagi granit atau marmer.
Lantai rumah utama ditinggikan sekitar 200 sentimeter untuk mengantisipasi banjir, yang pernah menggenangi area itu beberapa waktu lalu. Bagian bawah rumah (basement) dijadikan gudang serta tempat bak-bak penampung air bersih dan air hujan. Air hujan yang merembes dari taman di atas atap dialirkan ke bak penampungan, lantas disaring agar bisa langsung diminum.
Filter dibeli seharga Rp 26 juta, dan alat untuk menjadikan air mentah siap minum Rp 5 juta. Dengan konsep ini, air sumur dan air dari Perusahaan Daerah Air Minum jarang digunakan selama musim hujan. Si empunya rumah mesti menyiapkan empat tangki air untuk perlengkapan daur ulang tersebut. Satu tangki penadah air hujan, satu untuk grey water (air sisa), satu wadah dangkal untuk air dari sumur resapan tanah, dan satu lagi penampung air bersih.
Jonathan mengaku puas dengan konsep ini karena menghemat pengeluarannya untuk urusan air. Lebih dari 90 persen kebutuhan air sehari-hari berasal dari daur ulang. Dengan anggota keluarga delapan orang, kebutuhan air rata-rata 60 kubik sebulan. "Saya bayar lima kubik dari PDAM, sisanya dari filter ini," ujarnya.
Berkurangnya pembayaran air sempat membuat petugas PDAM heran. Sampai-sampai petugas tiga kali mengecek ke rumah Jonathan. "Setelah dijelaskan bahwa kami menggunakan filter, mereka baru ngerti."
Ini bukti keyakinan Yu Sing bahwa konsep rumah eco green bisa murah. Ia berbagi trik, antara lain menyiasati arah bangunan dan atap utara-selatan untuk mendapatkan cahaya dan udara alami. Juga memperbanyak tanaman, memanfaatkan material bekas, dan mengusung konsep unfinished untuk menghemat biaya.
Menurut dia, mahalnya "rumah hijau" bergantung pada besar-kecilnya porsi aspek ekologis. Aspek ekologis yang terus aktif, seperti fasilitas pengolahan limbah dan pengolah air hujan, memang memerlukan biaya besar.
Pengamat perkotaan, Yayat Supriatna, mendefinisikan hunian berkonsep eco green: pemanfaatan sumber daya-air dan energi-seefisien mungkin. Hunian ramah lingkungan juga harus menekan limbah sebanyak mungkin untuk menghindari kerusakan dan menjaga keseimbangan hayati ekosistem sekitar.
Yayat memuji penggunaan air daur ulang oleh Jonathan. "Sebisa mungkin hidup minimal dan mandiri dalam sumber daya," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo