Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RATUSAN orang tampak berjajar di tepi Pantai Labuang, Majene, Sulawesi Barat, pada Selasa ketiga Agustus lalu. Ketika terdengar suara tembakan, mereka berlarian menuju perahu masing-masing dan segera mendorongnya ke arah laut. Tak lama kemudian, mereka melompat ke atas perahu, mendayungnya, dan mengembangkan layar untuk memacu perahu. Dengan cepat mereka terlihat meninggalkan bibir Pantai Labuang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Total ada 22 perahu yang berlayar dari pantai itu. Setiap perahu terdiri atas delapan orang awak, yang disebut passandeq. Satu orang menjadi juru kemudi, sementara tujuh lainnya bertugas mengatur layar dan menjaga keseimbangan. Perahu-perahu yang mereka naiki itu disebut sandeq. Perahu tradisional suku Mandar, Sulawesi Barat, ini berbahan dasar kayu dengan cadik bambu di kanan-kirinya. Ukurannya tak besar. Panjangnya hanya 12-13 meter, sementara lebarnya 50-60 sentimeter. Kendati begitu, perahu ini mampu mengangkut beban hingga ratusan kilogram.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari Pantai Labuang, perahu-perahu itu beradu cepat menuju perairan Desa Banua Sendana, Majene. Jaraknya kurang-lebih 35 kilometer. Namun tak semua sandeq berhasil menyelesaikan perjalanan. Angin kencang yang bertiup di sepanjang rute membuat beberapa sandeq terbalik, antara lain perahu bernama Bintang Merdeka, Dewa Laut, Pammase, dan Surya Persada. "Angin membuat perahu kami bertabrakan dengan perahu lain sehingga terbalik," kata Abdullah, salah seorang awak Bintang Merdeka.
Sejumlah sandeq membutuhkan waktu hampir tiga jam untuk menuntaskan perjalanan dari Pantai Labuang ke perairan Desa Banua Sendana. Perahu bernama Masya Allah menjadi yang pertama, diikuti Cahaya Mandar, Merpati Putih, Merpati, dan GPS. Ullah, awak Masya Allah, mengungkapkan, sepanjang perjalanan, perahunya dan sandeq lain terus-menerus diterjang angin kencang yang membuat ombak makin tinggi. "Karena itu, para passandeq memilih rute di pinggir pantai," ujarnya.
Adu cepat perahu sandeq itu merupakan bagian dari Festival Sandeq Race 2018 yang berlangsung pada 11-17 Agustus lalu di Sulawesi Barat. Rutenya berawal dari Pantai Bahari, Polewali Mandar, menuju Pantai Manakarra, Mamuju. Rute ini berbeda dengan jalur dalam pergelaran tahun lalu, yang dimulai dari Pantai Manakarra dan berakhir di Pantai Losari, Makassar, Sulawesi Selatan. Selain menampilkan lomba balap sandeq, festival tahunan tersebut menghadirkan sejumlah acara, antara lain pentas seni, pemutaran film dokumenter, dan pesta kuliner rakyat.
Sama seperti pergelaran sebelumnya, festival tahun ini memperlombakan dua jenis balap sandeq, yakni racing segitiga dan maraton. Balap racing segitiga berlangsung di Pantai Bahari, Pantai Labuang, dan Pantai Manakarra. Adapun lomba maraton dibagi menjadi empat etape, yakni etape I dari Pantai Bahari menuju Pantai Labuang, etape II (Pantai Labuang-perairan Desa Banua Sendana), etape III (perairan Desa Banua Sendana-Pantai Deking, Majene), dan etape IV (Pantai Deking-Pantai Manakarra).
Perahu Masya Allah menjadi juara umum dalam perlombaan tahun ini, diikuti Cahaya Mandar dan Merpati Putih sebagai pemenang kedua dan ketiga. Juara pertama festival mendapatkan Rp 30 juta, piagam penghargaan, dan piala bergilir. Adapun juara kedua dan ketiga masing-masing memperoleh Rp 25 juta dan Rp 20 juta serta piagam penghargaan. Perahu yang menduduki peringkat keempat hingga terakhir juga mendapat hadiah, yakni Rp 11 juta dan piagam penghargaan.
Salah seorang passandeq, Jamaluddin, mengatakan rute lomba balap sandeq tahun ini sangat menantang karena arus laut cukup kuat. "Terutama di daerah perairan Majene hingga Pantai Deking," ucapnya. Passandeq lain, Gusman, menyebut etape I maraton dari Pantai Bahari hingga Pantai Labuang sebagai rute yang paling menantang. "Ombaknya besar dan anginnya kencang," kata awak Masya Allah itu.
NAMA sandeq berasal dari bahasa Mandar, yang berarti "runcing". Perahu itu diduga diciptakan para pelaut suku Mandar pada 1930-an. Konon, modelnya terinspirasi perahu-perahu Belanda yang ketika itu dipakai untuk berdagang di Selat Makassar. Layar segitiga sandeq juga merupakan hasil adopsi terhadap perahu-perahu itu lantaran dianggap bisa memacu laju dan praktis digunakan saat berlayar mengarungi lautan. Model tersebut kemudian dilengkapi dengan cadik sebagai ciri khas budaya bahari Sulawesi Barat.
Menurut peneliti sandeq asal Jerman, Horst H. Liebner, sejak diciptakan, perahu tersebut dirancang bisa berlayar dengan cepat di laut untuk memburu aneka ikan. Salah satunya cakalang. Hal ini berkaitan dengan kemampuan mata pancing, yang bisa menjerat ikan hanya jika kecepatan perahu lebih dari 5 knot. "Kalau tidak cepat, ikan cakalang tak mau menggigit umpan," tutur Liebner. Layar segitiga sandeq diperkirakan mampu mendorong perahu itu hingga mencapai kecepatan 20 knot atau melebihi laju perahu motor, seperti ketinting.
Pada 1980-an, sandeq tak hanya digunakan nelayan Mandar untuk mencari ikan, tapi juga untuk berdagang. Fungsi yang bertambah itu membuat ukuran sandeq menjadi sedikit lebih besar. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, sandeq perlahan ditinggalkan. Dengan alasan efektivitas dan kepraktisan, para nelayan Mandar memilih menggunakan perahu berteknologi modern untuk melaut. "Perahu-perahu bermesin lebih nyaman dan gampang digunakan," ujar Liebner.
Kondisi tersebut memunculkan kekhawatiran akan punahnya sandeq. Karena itu, sejak 1995, digelar lomba balap sandeq di Sulawesi Barat, yang kini dikenal sebagai Festival Sandeq Race. Lomba berawal di Pantai Manakarra dan berakhir di Pantai Losari. Lomba yang berlangsung setiap Agustus itu diinisiasi Liebner atas usul sejumlah nelayan Mandar asal Majene.
Peneliti sandeq, Muhammad Ridwan Alimuddin, mengatakan lomba itu hanya diikuti 15 perahu ketika pertama kali digelar. Jumlah peserta terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya, yang pada 2007 mencapai angka terbanyak dengan 53 perahu. Setelah itu, jumlah sandeq yang mengikuti lomba sekitar 20. Menurut Ridwan, lomba tersebut telah berkontribusi melestarikan sandeq. "Kalau tak ada lomba, sandeq pasti sudah ditinggalkan. Apalagi sudah tak ada sandeq yang dipakai untuk menangkap ikan," ucapnya.
Selain bertujuan melestarikan budaya bahari Mandar, lomba balap sandeq digelar untuk mengasah kemampuan melaut para passandeq, dari soal navigasi hingga membaca arus dan angin. Tapi kemudian lomba itu justru menjelma menjadi ajang adu kemampuan passandeq. "Ini semata-mata adu gengsi karena berlangsung satu tahun sekali," kata seorang passandeq, Masdar.
Belakangan, lomba balap sandeq memunculkan sejumlah inovasi pada bentuk perahu itu. Menurut Horst H. Liebner, para passandeq membuat perahu yang lebih ramping dan ringan, seperti sandeq yang sekarang dilombakan. Tujuannya adalah sandeq bisa lebih gesit melaju di laut. Selain itu, para passandeq membuat inovasi pada cat perahu. Mereka mencampur semacam kapur dan lem agar cat bisa bertahan lama. "Dulu perahu dicat setiap dua bulan, tapi sekarang tahan sampai satu tahun," ujar Liebner.
Sandeq biasanya dicat warna putih sebagai lambang kebersihan dengan harapan disukai banyak orang. Di Mandar, sandeq bercat putih itu dikenal dengan sebutan "lopi sandeq malolo", yang berarti "perahu sandeq cantik itu putih". "Cat putih juga membuat perahu tak cepat rusak karena bisa memantulkan cahaya panas," kata Ridwan Alimuddin.
PARA passandeq membutuhkan setidaknya sepuluh hari untuk mempersiapkan diri menghadapi lomba balap sandeq. Masdar, passandeq asal Desa Galung Tulu, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, menjelaskan, persiapan itu antara lain pengecekan semua bagian perahu, termasuk perbaikan jika ada bagian yang rusak. Selain itu, passandeq bersiap dengan menjalani semacam ritual di rumah masing-masing. "Ritual ini untuk keselamatan," ucapnya.
Menurut Masdar, ritual setiap passandeq berbeda. Ada yang duduk di kursi lalu mengambil tali berwarna hijau dan mengikatkannya di kepala. Ada juga yang berpuasa satu hari sebelum bertanding. "Intinya, para passandeq membaca doa keselamatan sendiri-sendiri," ujarnya.
Pada hari dimulainya lomba, mereka yang tergabung dalam satu tim menjalani ritual berjalan kaki bersama-sama menuju tempat berkumpul di salah satu rumah passandeq. Di sana, mereka berdoa bersama sebelum menuju rumah pemilik sandeq. Pemilik sandeq pun menjalani ritual dengan mengumpulkan semua anggota tim dan masyarakat setempat. Selagi dupa dibakar dan doa dibacakan, disajikan berbagai jenis makanan di atas baki, seperti pisang, ikan, telur, nasi ketan putih dan hitam, nasi putih, serta aneka kue. "Ini supaya para passandeq selamat saat pergi dan kembali," tutur seorang pemilik sandeq, Syarifuddin.
Seusai doa, dupa yang dibakar bersama sabut kelapa diberikan kepada sandeq untuk dimasukkan ke lubang di tengah perahu, yang dikenal dengan istilah "pusar kapal". Kemudian baki berisi berbagai makanan kembali disajikan di dekat sandeq, sementara pemilik sandeq dan para passandeq membaca doa serta menyirami bagian tengah dan kedua ujung kapal dengan air. "Semua ini bertujuan agar sandeq tak mengalami masalah selama perjalanan," kata Syarifuddin.
Menurut seorang passandeq, Mustakim, ritual doa sebagai persiapan menghadapi lomba antara satu tim dan tim lain bisa jadi berbeda. Bahkan ada passandeq yang tidak menjalani ritual doa sebelum berlomba. "Kalau di Polewali Mandar, pasti ada ritual doa karena sudah dijalankan secara turun-temurun," ujar warga Desa Bala, Balanipa, Polewali Mandar, itu.
Didit Hariyadi (Makassar), Arif Budianto (Mamuju), Prihandoko
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo