Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Mimpi 121 Menit Ke Dunia Orang Kaya Raya

Sebuah film yang sudah diantisipasi jauh hari sebelum syuting selesai. Diangkat dari novel yang laku keras.

14 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sebuah film yang sudah diantisipasi jauh hari sebelum syuting selesai. Diangkat dari novel yang laku keras.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI New York, Rachel Chu (Constance Wu) hidup seperti perempuan muda kelas menengah yang lazim. Putri ibu tunggal yang bermigrasi ke Amerika Serikat, generasi yang besar dan tumbuh sebagai perempuan Amerika berdarah Tionghoa, Rachel adalah dosen ekonomi sebuah perguruan tinggi di New York yang memiliki kekasih tampan, Nick Young. Hanya ada satu hal yang tak diketahui Rachel tentang pacarnya. Nick bukan hanya "putra mahkota" keluarga terkaya di Singapura. Dia adalah bujangan terganteng yang sudah lama diidamkan semua gadis berikut para calon mertua. Rahasia itu akhirnya terkuak ketika sebuah undangan perkawinan terbesar abad itu meluncur. Perkawinan sahabat Nick yang akan berlangsung di Singapura itu tak bisa dilewatkan sehingga Nick mengajak Rachel hadir ke lokasi resepsi yang nun jauh di tanah airnya sekaligus memperkenalkan sang pacar kepada keluarganya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perlahan-lahan Rachel mulai menyadari keanehan yang semula menyenangkan. Sejak di bandar udara, mereka berdua diladeni orang-orang yang langsung mengurus koper dan menggiringnya naik ke kelas VIP yang luar biasa mewah. Nick yang selama ini tampil "biasa saja" perlahan mengakui bahwa hidupnya di Singapura "cukup nyaman".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Segalanya terbuka begitu pesawat mendarat, ketika akhirnya Rachel sadar bahwa ternyata keluarga besar Young adalah pemilik properti di Singapura, juga di berbagai negeri lain. Sebuah kilas balik puluhan tahun silam memperlihatkan bagaimana ibunda Nick, Eleanor Young (Michelle Yeoh), menepis sikap rasisme para pelayan hotel di Londonyang baru saja dibeli keluarganyadengan tegas sekaligus menjaga keanggunan. Penolakan anggun ala Eleanor itu pula yang dialami Rachel Chu.

Seperti Eleanor yang selalu dianggap "tidak cukup" oleh mertuanya, Su Yi (Ah Ma), itulah yang diucapkan Eleanor kepada Rachel. Dengan dingin dan tenang, Eleanor memegang dagu Rachel sembari mengeluarkan ucapan yang paling mengerikan: "Kau tak akan pernah cukup (untuk menjadi bagian dari keluarga Young)."

Menghadapi keluarga Young, Rachel tidak hanya mesti mengatur tingkah laku di hadapan neneknda matriarki Su Yi, yang langkah kakinya dinantikan segenap keluarga. Rachel juga harus bisa menghadapi "teror" kaum sosialita yang cemburu kepadanya.

Film ini disambut riang gembira jauh sebelum proses pembuatannya selesai karena dua hal. Pertama, inilah pertama kalinya, setelah 25 tahun, sebuah studio besar Hollywood memproduksi film dengan pemeran yang hampir semuanya orang Asia-Amerika. Sebelumnya, film The Joy Luck Club, yang dibuat berdasarkan novel karya Amy Tan (1993, Wayne Wang), pernah mewarnai Hollywood. Kedua, film ini diangkat dari novel laris karya Kevin Kwan. Kwan menyatakan ia ingin "memperkenalkan Asia kepada masyarakat Amerika" dengan mengingat pengalaman masa kecilnya di Singapura. Novel yang langsung meledak secara internasional ini sudah mempunyai dua "saudara" (China Rich Girlfriend dan Rich People Problems), yang sudah dibeli hak adaptasinya ke dalam film.

Meski ada beberapa perubahan kecil di sana-sini, terutama pada akhir cerita, karena film tak mungkin memborong semua karakter dalam novel, sutradara Jon Chu berhasil membuat gambaran yang menarik dari keluarga ultra-kaya Young. Nilai kekeluargaan khas negara Asia yang kemudian menjadi justifikasi untuk menolak "orang asing" masuk ke keluarga langsung menjadi filsafat yang terus-menerus didengungkan Eleanor Young, yang menganggap Rachel Chu sebagai "cewek Amerika".

Tata artistik dan tata busana film ini juga sangat terasa autentik dengan ditampilkannya beragam pakaian dan perhiasan asli, yang konon merepotkan saat syuting karena penjagaannya mirip dengan penjagaan kepala negara. Istana (atau mansion) milik keluarga Young digambarkan berada di atas sebuah bukit dan di antara rimbunnya "hutan", yang jauh dari bayangan umum tentang Singapura.

Di antara kemewahan yang fantastis inilah tokoh kita, Rachel Wu, harus menghadapi penolakan dan sinisme yang menghambur bertubi-tubi ke hadapannya. Tentu saja kita hafal formula Hollywood. Sang protagonis, Rachel, akan berdiri tegak menggenggam nasibnya. Ia mencapai satu titik saat ia ingat akan pelajaran dari ibunya: untuk memahami seberapa berharganya dirinya; seberapa jauh cinta dan harga diri bisa berkompromi.

Sangat mudah memahami mengapa novel dan film ini meledak secara komersial serta dipuja-puji kritikus dari berbagai negara. Meski pada judul novelis Kevin Kwan menyebutkan "Asia" dan "rich", penonton bisa menganggap kisah film ini cukup universal, cinta yang kuat akhirnya harus mengatasi segala hadangan, meski itu datang dari ibunda sang lelaki. Seluruh format film (juga novel) adalah komedi romantis dengan pembagian babak dan akhir film yang sangat kita kenal, sangat Hollywood, sangat menyenangkan dan diakhiri tepuk tangan. Seni peran Constance Wu sebagai Rachel Chu bersinar-sinar diimbangi keanggunan aktris senior Michelle Yeoh. Dengan rapper terkemuka Awkwafina berperan sebagai Goh Peik Lin, sahabat Rachel; dan Ken Jeong sebagai ayah Peik Lin, dua pemain yang berfungsi sebagai comical-relief itu bisa menutupi datarnya penampilan Henry Golding.

Tak ada gading yang tak retak. Jadi, bagi yang ingin menonton untuk sekadar hiburan dan menolak berpikir lebih dalam, silakan abaikan paragraf berikut ini. Ada yang perlu diingat: film ini juga menjadi kontroversi bagi kritikus dan penonton "Asia yang lain" karena Singapura dalam film tersebut tidak dianggap cukup representatif. Seratus dua puluh satu menit yang penuh warna pakaian, juga lagu Madonna, Material Girl, dalam bahasa Tionghoa, justru sama sekali mengabaikan keberadaan warga India dan Melayu. Bahwa Kevin Kwan dalam novelnya dan Jon Chu dalam filmnya justru ingin menunjukkan betapa "cupet"-nya keluarga kaya raya yang hanya bergaul antarsesama tentu masih bisa diolah lagi oleh sang sutradara karena sesungguhnya Singapura terdiri atas penduduk yang multirasial.

Penggunaan kata "Asia" dalam film ini sebetulnya cara orang Barat (baca: Amerika Serikat) menyebut penduduk Asia-Amerika yang pada masa lalu mereka sebut orang-orang dari "the east". Sebutan ini akhirnya diperkuat oleh orang-orang dari negara Asia yang berkunjung ke negara Barat dan lelah menjelaskan letak Indonesia dalam peta atau Bangladesh yang bukan bagian dari India. Artinya, "Asia" tidak hanya menyempitkan arti benua yang terdiri atas negara dan bangsa yang sangat tidak homogen ini, tapi juga menyempitkan pemahaman representasi.

Kritik teknis lain dalam film ini: saya kurang mendengar aksen Singlish, yang sebetulnya menjadi ciri khas warga Singapura di mana pun mereka berada. Tentu gambaran keluarga kaya raya Young yang konon hanya 1 persen dari total penduduk mungkin saja beraksen Inggris, tapi keunikan Singapurayang hanya digambarkan oleh adegan makanan pasar yang terlihat lezattak terlalu tampil.

Tapi, sekali lagi, ini film hiburan berdurasi 2 jam 1 menit dengan tujuan memperlihatkan orang-orang cantik, baju cantik, juga rumah dan pulau cantik dengan penyelesaian Hollywood. Setelah 121 menit itu, kita bisa kembali ke alam nyata.

Leila S. Chudori

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus