Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Senyawa Islam dan Jurnalisme

Nilai-nilai Islam bisa menjadi kawan seiring-sejalan jurnalisme. Menolak tegas teori jurnalisme islami.

14 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Senyawa Islam dan Jurnalisme

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APAKAH Islam merupakan kawan atau lawan dari jurnalisme? Dalam dunia tempat Islam digambarkan sebagai lawan dari demokrasi, lebih khusus lagi lawan dari jurnalisme, kita bisa menempatkan posisi penting buku yang ditulis Janet Steele ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jalan pikiran Steele memang berbeda dengan pengkaji jurnalisme Barat umumnya, yang cenderung melihat kaitan Islam dengan jurnalisme dalam gambaran "miring". Buku Mediating Islam tidak hanya menantang pandangan monolitik tentang Islam dan jurnalisme, tapi juga membuktikan bahwa nilai-nilai Islam bisa menjadi kawan yang seiring-sejalan dengan jurnalisme. Singkatnya, Islam bisa bersenyawa dengan jurnalisme.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Steele mendasarkan pandangannya pada hasil penelitian lapangan yang ia lakukan selama 20 tahun di Indonesia dan Malaysia. Sebagai peneliti dan pengajar jurnalisme, Steele memang sudah lama malang-melintang dalam jagat ruang berita di kedua negara itu. Di buku ini, ada lima media yang ia teliti. Tempo, Republika, dan Sabili mewakili media Indonesia, sementara Harakah dan Malaysiakini mewakili Malaysia.

Menempatkan Republika, Sabili, dan Harakah sebagai media Islam tentu tidak problematik. Namun bagaimana dengan Tempo dan Malaysiakini? Apakah kedua media tersebut juga bagian dari apa yang disebut sebagai jurnalisme islami? Steele tak mau terjebak dalam perdebatan definisional. Melalui kelima media itu, ia justru ingin menyatakan bahwa definisi kita tentang jurnalisme islami masih terlalu sempit.

Buku Steele memang tidak ditujukan untuk menyusun "teori" jurnalisme islami. Associate professor jurnalisme di George Washington University, Amerika Serikat, ini malah tegas menolak teori jurnalisme islami. Melalui pendekatan etnografis dan historis, ia berfokus pada praktik jurnalisme sehari-hari yang dipahami dan diterapkan kalangan muslim profesional di kedua negara. Selain memberi alternatif dalam memahami media dan jurnalisme, pendekatan etnografis layak diikuti peneliti media di Indonesia yang masih asing dengan etnografi ruang berita.

Steele menggambarkan contoh persenyawaan Islam dengan jurnalisme. Jurnalis Indonesia dan Malaysia sering menyebut verifikasi dalam satu konteks tambahan yang disebut isnad atau proses mengikuti "mata rantai penyebaran" ujaran dan tindakan Nabi serta para sahabatnya (halaman 131). Perintah Al-Quran bahwa orang beriman harus ragu akan siapa pun yang membawa berita adalah satu ayat yang paling sering dikutip jurnalis Indonesia dan Malaysia yang dikunjungi Steele. Ini sejalan dengan pandangan, misalnya, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel bahwa esensi jurnalisme adalah bersikap disiplin dalam melakukan verifikasi.

Persenyawaan lain adalah kaitan antara jurnalisme dan dakwah yang melahirkan praktik yang populer dengan sebutan jurnalisme kenabian. Amar makruf nahi mungkar adalah prinsip utama Islam dan jurnalisme islami. Bagi Steele, ada kemiripan antara jurnalisme kenabian di Indonesia dan Amerika Serikat. Bedanya, di Amerika, "kenabian" diartikan sebagai keberatan atau mengatakan "kebenaran menyakitkan tentang kondisi masyarakat", sedangkan di Indonesia cenderung dipahami sebagai istilah yang mengandung cita-cita atau menjadi jurnalis yang wataknya mirip Nabi Muhammad (halaman 135). Perbedaan lain terkait dengan pandangan bahwa nilai-nilai jurnalisme dan ajaran Islam itu satu dan sama.

Buku ini membuktikan bahwa cara pandang terhadap Islam dan jurnalisme yang monolitik itu keliru. Sementara banyak pengkaji Barat menggambarkan Islam sebagai antitesis dari jurnalisme akibat bias Arab, di Indonesia dan Malaysia, Islam justru menjadi sumber inspirasi bagi para jurnalis. Selain itu, sementara di Barat jurnalisme dianggap sebagai pengelolaan sekular dan karena itu agama harus disingkirkan, di Indonesia dan Malaysia upaya membela pluralisme, keadilan, serta hak-hak kaum lemah bisa saja dijalankan oleh jurnalis yang tidak liberal dan tidak sekular. Inilah kosmopolitanisme dalam jurnalisme yang antara lain diusung Tempo.

Seperti diakui Steele, Islam tidak statis. Dengan logika yang sama, kita juga bisa mengatakan kosmopolitan jurnalisme tidak statis. Ancaman dari kontra-kosmopolitan dalam jurnalisme, seperti fundamentalisme yang merayakan eksklusivitas, juga tak bisa diabaikan. Apalagi Indonesia berada di tahun politik, banyak pihak menengarai agama telah dan akan dipakai sebagai alat untuk memenangkan kandidat. Mengingat banyak kelompok media terhubung dengan partai dan kandidat, bukan tak mungkin nilai kosmopolitan jurnalis bergerak ke kontra-kosmopolitan.

Karena itu, independensi media menjadi makin penting. Terkait dengan itu, saya ingin mengubah kalimat terakhir yang ditorehkan Steele untuk mengakhiri buku ini, "Dalam banyak kasus Islam memang menginspirasi, tapi dalam hal lain (ketika agama dipakai untuk menjustifikasi dukungan politik) justru bisa membatasi."

Hanif Suranto, Pengajar Pada Universitas Multimedia Nusantara


Mediating Islam: Cosmopolitan Journalisms in Muslim Southeast Asia

Penulis : Janet Steele

Penerbit: NUS Press, 2018

Tebal : xi + 161

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus