Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Adu Jotos Anak TK

5 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANGGOTA DPR sekarang berani sekali mengajukan interupsi dan berbicara keras—walau berhadapan dengan jenderal rada sedikit sopan. Tapi yang namanya anggota DPRD, wah, lebih berani. Ini ada kisah dari Maluku. Dalam salah satu sidang November lalu, anggota terhormat Chr. Sahetapy, S.Th., anggota DPRD Tingkat I Maluku dari Fraksi PDI Perjuangan, mengecam anggota dewan lainnya sebagai orang yang tidak reformis. Ucapan itu jelas memancing reaksi. Siapa sih anak Indonesia yang mau dicap tidak reformis sekarang ini? Sahetapy diminta mengklarifikasi ucapannya di sidang pleno. Ketika sidang digelar, klarifikasi itu berubah menjadi ajang cekcok mulut. Akhirnya sidang diskors, agar pemimpin sidang bisa berunding dengan Sahetapy. Ternyata, ketika perundingan sedang berlangsung, anggota dewan lainnya tetap saja meneruskan adu mulut. Di tengah suasana yang panas itulah Ir. Niko Putileihalat, lelaki berusia 58 tahun yang rambutnya mulai memutih, mengambil ancang-ancang. Anggota dewan yang satu fraksi dengan Sahetapy itu tiba-tiba melepaskan tinjunya ke arah kerumunan di dekatnya. Aksi Pak Niko dicoba dihentikan temannya dengan menarik dasinya. Dengan leher hampir tercekik dasi, pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Pattimura ini juga ditenangkan oleh Poli Matulameten. Namun, bogem Niko melayang mengenai Poli. Poli tak bisa terima. Ia naik darah dan ingin membalas. Untung, banyak yang meleraikannya. Yang menjadi korban karena ikut meleraikan adalah Monica Balubun, satu-satunya wanita anggota dewan. Sikut Niko mampir di rusuk Monica. Dengan menahan rasa sakit, wanita berusia 65 tahun ini meninggalkan gedung. ''Tingkah mereka layaknya anak-anak TK (taman kanak-kanak)," kata Monica Balubun kepada Friets Kerley dari TEMPO. Wah, Ibu, komentarnya sama….


Sertu Johni Menculik Kambing
SEANDAINYA di sini sudah diperkenalkan HAB (hak asasi binatang), pastilah tiga ekor kambing dan seekor sapi ini bisa selamat dari kasus hukum yang berbelit-belit buatan manusia. Bayangkan betapa lamanya penantian binatang-binatang ini untuk menyelesaikan kasus hukumnya. Mereka ditangkap 28 Mei 1995, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Ketika Soeharto lengser dan digantikan Habibie, tiga kambing dan seekor sapi itu tetap belum ''bebas". Di masa kepemimpinan Habibie, para binatang ini juga tak disentuh hukum. Baru November lalu, ketika presidennya Gus Dur, tiga kambing dan seekor sapi itu dibawa ke depan Mahkamah Militer Manado. Apakah binatang ini tersangka? Tidak, mereka hanyalah ''saksi korban". Tersangkanya adalah Sersan Satu TNI-AD Johni. Karena ini kasus langka dan melewati tiga masa kepresidenan, urutan ceritanya harus diperjelas sejak awal. Pada hari yang sudah disebutkan tanggal dan tahunnya di atas, Sertu Johni, kini 43 tahun, anggota Komando Distrik Militer 1307 Poso, melihat tiga ekor kambing di pinggiran Desa Mountong, di tepi jalan trans-Sulawesi. Johni dan enam temannya, dengan dua mikrolet, rupanya tengah beristirahat di sana, dalam perjalanan menuju Manado. Melihat sang kambing merumput dengan lahap, muncul ide Johni untuk menculik ketiga kambing itu. Tanpa perlu dibentuk dulu tim, ketiga kambing itu dengan mudah diikat, lalu dimasukkan ke atas mikrolet. Operasi tanpa nama ini sukses besar karena suasananya memang sepi, tak seramai kalau mau menculik kambing--apalagi manusia—di Jakarta. Mungkin karena usaha penculikan itu sukses, dan kambing itu patuh saja diculik, komplotan Johni melirik lagi seekor sapi. Kali ini bukan sapi liar—karena diikat pemiliknya di pohon kelapa. Operasi dirancang, suasana juga mendukung. Tanpa ada perlawanan sama sekali, sang sapi dapat ''diamankan" ke dalam mikrolet. Setelah berhasil dengan tiga kambing yang bukan hitam dan seekor sapi yang bukan merah, dengan mikrolet biru itu, Johni dan kawan-kawan meninggalkan lokasi. Rupanya, usaha penculikan oleh tentara di mana-mana lagi sial. Mudah sekali korbannya ditemukan kembali. Pada saat itu, ternyata ada seorang polisi—ini faktanya, tak ada maksud mengadu domba polisi dan tentara—yang langsung saja bertindak gesit. Polisi ini langsung melaporkan hal itu ke Pos Polisi Mountong. Dari situ, lewat radio antarpenduduk, laporan Pak Polisi diteruskan ke Kepolisian Sektor Gorontalo. Pokoknya, semua jalur diblokir untuk menyelamatkan tiga kambing dan seekor sapi itu. Singkat cerita, Johni dan enam kawannya ditangkap polisi dan diproses sebagai tersangka. Tiga kambing dan seekor sapi itu juga ditangkap polisi dan diproses sebagai ''saksi korban". Nah, beginilah jalannya hukum. Kasus ini baru disidangkan bulan lalu. ''Kan, perkara yang ditangani militer cukup banyak," kata Kapten Polisi Massarapi, S.H., anggota majelis hakim, memberikan alasan kepada Verianto Madjowa dari TEMPO. Para binatang itu dihadirkan sebagai barang bukti—soalnya, kalau jadi saksi, tak bisa ditanya. Selesaikah urusannya? Belum juga. Sebab, Johni, yang dijatuhi hukuman kurungan tujuh bulan, menyatakan naik banding. Itu artinya perkara akan digelar lagi di Mahkamah Militer III Surabaya, entah kapan, mungkin setelah Pemilu 2004. Mudah-mudahan tiga kambing dan seekor sapi itu masih sehat-sehat saja nantinya. Embek….

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus