MENJADI tua memang takdir Ilahi yang tak terelakkan. Namun, beberapa ilmuwan tampaknya tak cukup puas menerimanya sebagai takdir belaka. Itu sebabnya penelitian untuk menelisik proses penuaan tak juga berhenti. Dari mana datangnya penuaan? Beberapa peneliti yang dipimpin Dr. Yuichi Michikawa dari Institut Teknologi California, Pasadena, Amerika Serikat, melaporkan penelitiannya dalam jurnal Science akhir Oktober lalu. Menurut mereka, mutasi pada mitokondria, organel sel penghasil energi, adalah salah satu penyebab terjadinya proses penuaan.
Mitokondria adalah organel yang punya peranan sangat vital. Organel ini ibarat pabrik yang mengolah energi hasil metabolisme yang masih "mentah" menjadi bentuk energi "siap pakai" yang bisa diterima sel tubuh. Energi siap pakai itulah yang dipergunakan organ vital tubuh seperti jantung, otak, dan ginjal. Karena itu, bila proses pengolahan energi itu terganggu, pasokan energi yang dibutuhkan organ tubuh untuk bekerja pun terganggu. Ternyata, gangguan pada mitokondria tak hanya membuat fungsi organ terganggu atau sakit. Penelitian Michikawa membuktikan, akumulasi mutasi yang terjadi pada mitokondria punya kontribusi yang cukup penting dalam proses penuaan.
Untuk membuktikan kontribusi mitokondria dalam proses penuaan, Michikawa membandingkan mtDNA (asam deoksiribonukleat pada mitokondria) pada anak-anak muda dan orang-orang tua. Para anak muda dan orang berusia lanjut itu sama-sama sehat. Ternyata, pada mtDNA 57 persen (8 dari 14) responden berusia lebih dari 65 tahun, ditemukan adanya mutasi spesifik. Sebaliknya pada 13 anak yang lebih muda. Pada mtDNA mereka tidak ditemukan mutasi semacam itu.
Para peneliti juga menganalisis dua set mtDNA dari individu yang sama tapi dengan pengambilan secara terpisah, yaitu pada usia yang berbeda (15 dan 19 tahun). Jadi, mtDNA responden ada yang diambil ketika usianya muda, dan ada satu set lain yang diambil ketika usia responden itu lebih tua. Sebagai perbandingan, peneliti juga menganalisis dua set mtDNA responden yang diambil dalam waktu bersamaan tapi sebagian disimpan untuk dianalisis kemudian. Hasilnya ternyata berbeda. Pada setidaknya 3 dari 9 orang, mutasi mtDNA diketahui terjadi pada sel-sel yang diambil—dalam keadaan hidup—pada usia yang lebih tua. Mutasi spesifik semacam itu tidak ditemukan pada mtDNA yang diambil pada usia yang lebih muda.
Bagaimana mutasi itu terjadi? Penelitian Michikawa dan koleganya membuktikan bahwa mutasi-mutasi itu tidak diturunkan. Mutasi itu terjadi mungkin disebabkan oleh radikal bebas, komponen tak stabil yang terbentuk selama proses normal sel. Selain itu, mutasi itu mungkin juga berhubungan dengan enzim-enzim yang membangun DNA atau oleh problem dalam mekanisme reparasi DNA. Bila terjadi kesalahan enzim polimerase mtDNA, fenomenanya sama dengan respons "SOS" sel menghadapi bakteri—mengakibatkan aktivasi gen yang membuat kesalahan reparasi DNA.
Bahwa akumulasi mutasi dalam mitokondria punya peranan yang signifikan dalam proses penuaan, itu sebenarnya jauh sebelumnya telah diduga oleh ahli biologi molekuler Indonesia, Prof. dr. Sangkot Marzuki. Guru besar Universitas Monash, Australia, yang kini memimpin lembaga penelitian di Jakarta (Eijkman) itu boleh dibilang adalah salah seorang ilmuwan yang pertama kali menegakkan postulat tersebut. Dalam laporannya, Michikawa juga mengutip postulat Sangkot dan beberapa koleganya tentang mutasi pada mtDNA dan proses penuaan, yang ditulis di jurnal kesehatan terkemuka Lancet pada 1989.
Sangkot menguraikan, mtDNA secara alami memang tidak stabil. Itu sebabnya laju mutasi di mtDNA bisa 5-10 kali lebih tinggi daripada mutasi pada inti sel—mitokondria terletak di luar sel. Berbeda dengan DNA pada inti sel, mtDNA itu telanjang, terbuka, tidak punya pelindung. Selain itu, di dalam mitokondria terjadi radikal bebas—terbentuk dari proses oksidasi—yang cukup tinggi. Terjadilah mutasi. Mutasi ini bersifat acak sehingga semua orang punya potensi yang sama untuk mengalami mutasi dalam dirinya.
Faktor lain yang menyebabkan mutasi gampang terjadi pada mtDNA—tak seperti pada inti sel—adalah tidak adanya mekanisme reparasi sel di organel ini. Jadi, ujar Sangkot, "Sudah radikal bebasnya tinggi, DNA-nya tidak diproteksi, dia (mtDNA) tidak mempunyai mekanisme reparasi kalau terjadi mutasi. Nah, kombinasi semacam inilah yang menyebabkan mutasi mtDNA bisa 10 kali lebih tinggi daripada di nukleus." Nah, akumulasi mutasi yang tinggi itulah yang membuat aktivitas manusia menurun—gejala yang tampak pada orang yang semakin tua.
Sejak ide itu pertama kali diluncurkan, rupanya banyak ahli yang tertarik untuk menelitinya. Prospek penelitian ini memang menjanjikan aplikasi yang barangkali banyak ditunggu orang. Setelah penelitian terbaru oleh Michikawa memberikan bukti yang kuat tentang kaitan proses penuaan dan mutasi mtDNA, orang mungkin akan berharap bahwa di masa depan akan ada sesuatu yang bisa dilakukan untuk membuat orang panjang usia.
Namun, Sangkot sendiri yakin bahwa penuaan adalah suatu proses poligenik. Jadi, ada beberapa gen—bukan hanya mitokondria—yang bertanggung jawab terhadap proses penuaan. Bila diibaratkan jam, Sangkot bahkan yakin bahwa "tombol" yang mengakhiri hidup manusia akibat proses penuaan bukan berada di mitokondria. "Orang hidup itu kan suatu saat mesti mati, biar di mana pun. Saya berpendapat clock itu bukan di mitokondria. Sedangkan kolega saya dari Jepang ingin mengatakan bahwa clock itu di mitokondria. Lalu, kalau saya ditanya, clock itu di mana, ya, somewhere, yang kita belum tahu. Di sini, sekali lagi, kan ada gen-gen lain yang berinteraksi," kata penerima ASEAN Achievement Award (Science-Biology) 1992 itu.
Hingga sekarang, bagaimana proses orang menjadi tua hingga akhirnya tubuh manusia terlalu renta untuk hidup memang masih ibarat kotak hitam pesawat yang belum terpecahkan. Atau, mungkin karena begitu rumitnya, hal itu akan tetap menjadi rahasia Tuhan. Menjadi tua, pada akhirnya, memang tidak bisa dielakkan manusia.
Gabriel Sugrahetty, Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini