Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Adu Taktik dengan Anggodo

Pengusaha Anggodo Widjojo akhirnya menjadi tersangka. Dia dijerat dengan dua tuduhan: menghalang-halangi penyidikan kasus korupsi dan percobaan penyuapan.

18 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
head1248.jpg

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANGGODO Widjojo terperangah. Matanya mendelik, seperti tak mempercayai pendengarannya. Baru satu jam pengusaha asal Jawa Timur ini dimintai keterangan ketika penyidik menyatakan ia menjadi tersangka, Kamis pekan lalu. Ini bukan pertama kalinya pria 53 tahun itu diperiksa. Sebelumnya, pada Jumat dua pekan lalu dan Selasa pekan lalu, ia sudah diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi.

”Lha, kok jadi tersangka? Saya kan dipanggil untuk dimintai keterangan,” kata Anggodo dengan nada tinggi, seperti dituturkan sumber Tempo. Bonaran Situmeang, pengacara Anggodo, yang saat itu berada di ruangan lain, tergopoh-gopoh masuk ruang pemeriksaan. Sesuai dengan aturan KPK, hanya mereka yang berstatus tersangka yang bisa didampingi pengacara saat diperiksa.

Pemeriksaan Anggodo pun berlanjut dalam status tersangka, berlangsung empat jam. Lalu di ujung pemeriksaan, kejutan kedua datang. Penyidik KPK, Erwanto Kurniadi, menyodorkan selembar surat kepada Anggodo. Isinya berita acara penahanan. ”Bapak kami tahan dua puluh hari,” ujar Erwanto.

Kali ini Anggodo tak bisa menyimpan kemarahannya. ”Saya ditahan?” ujarnya setengah berteriak. Protes langsung dilancarkan Bonaran. ”Klien saya kooperatif. Diminta datang, kami datang. Anda kan tidak memanggil klien saya sebagai tersangka?” cecarnya. Di muka lobi gedung Komisi, mobil tahanan sudah siap. Malam itu juga Anggodo dijebloskan ke tahanan Cipinang, Jakarta Timur.

Pelaksana Tugas Ketua Komisi Tumpak Hatorangan Panggabean menjelaskan, sudah lama Komisi menyelidiki kasus Anggodo. Penyelidik sudah menemukan cukup bukti permulaan buat menetapkan pengusaha yang biasa dipanggil teman-teman dekatnya Cungek itu sebagai tersangka. ”Kami khawatir akan seperti Anggoro,” ujar Tumpak. Anggoro Widjojo adalah kakak Anggodo. Direktur PT Masaro Radikom itu kini tersangka korupsi kasus pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan. Anggoro keburu raib ke luar negeri sebelum KPK mencekalnya pada Agustus 2009.

Ada dua tindak pidana yang dibidikkan kepada Anggodo. Yakni, menghalangi penyidikan kasus korupsi pengadaan Sistem Komunikasi dan melakukan percobaan penyuapan kepada pimpinan KPK.

Untuk tuduhan pertama, Anggodo akan dijerat dengan Pasal 21 Undang-Undang Antikorupsi. Ancaman pidana pasal ini penjara minimal tiga tahun dan maksimal 12 tahun plus denda maksimal Rp 600 juta. Adapun tuduhan kedua, dibidik dengan Pasal 15 Undang-Undang Antikorupsi dan Pasal 53 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ancaman pidananya 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 1 miliar. ”Fokus kami pasal 21,” kata Tumpak. ”Dan ini untuk pertama kalinya pasal ini dipakai.”

l l l

NAMA Anggodo Widjojo moncer ketika Mahkamah Konstitusi, pada 3 November 2009, membuka rekaman penyadapan KPK. Dari rekaman itu terdengar Anggodo—nama aslinya Ang Tjoe Nie—bertelepon-teleponan dengan sejumlah pejabat hukum. Inti percakapan itu merekayasa agar Wakil Ketua KPK Bidang Penyidikan Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah bisa dijebloskan ke penjara. ”Tujuan akhirnya agar KPK menyetop penyidikan kasus korupsi Sistem Komunikasi,” kata Tumpak.

Dari pemeriksaan polisi terhadap Ari Muladi, karib Anggodo, terungkap pula ada penyerahan uang Rp 5,1 miliar kepada pimpinan KPK. Menurut Anggodo kepada polisi, uang itu diberikan karena dia diperas pimpinan KPK.

Ari mengaku uang Rp 5,1 miliar dari kakak-adik Anggoro dan Anggodo Widjojo diserahkan kepada para pemimpin Komisi lewat Deputi Bidang Penindakan KPK Brigadir Jenderal (Polisi) Ade Raharja. Sebuah kronologi pun disusun Anggodo untuk meyakinkan pemerasan itu. Rekayasa kisah ini diteken Anggodo dan Ari pada 15 Juli 2009.

Belakangan, pada akhir Agustus, Ari mencabut kesaksiannya. ”Saya berbohong. Saya tidak kenal Ade Raharja dan tidak kenal satu pun pemimpin KPK,” katanya (Tempo, 9-15 November 2009).

Tumpak mengatakan bukti awal Anggodo menghalang-halangi penyidikan dan melakukan percobaan penyuapan pimpinan Komisi sudah cukup. Bukti-bukti: laporan masyarakat—antara lain Tim Pembela Suara Rakyat Antikriminalisasi—rekaman rekayasa, dan keputusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam kasus korupsi Tanjung Api-api dengan terdakwa Yusuf Erwin Faishal.

Dalam putusannya, hakim menyebutkan Yusuf terbukti menerima suap dari Anggoro terkait dengan proyek Sistem Komunikasi. Dalam pemeriksaan, menurut Tumpak, Anggodo membenarkan suara dalam rekaman itu adalah suaranya. Karena itu, kata Tumpak, ”Kami berani itu dijadikan alat bukti.”

Sejumlah saksi juga sudah diperiksa Komisi. Mereka, antara lain, Ari Muladi, Eddy Sumarsono—yang mempertemukan bekas Ketua KPK Antasari Azhar dengan Anggoro di Singapura—dan Direktur Utama Masaro Putranefo Prayugo. Komisi juga sudah memeriksa Bibit, Chandra, dan Ade Raharja. ”Ketiganya membantah kenal Ari dan menerima duit dari dia,” ujar Tumpak.

Setelah geger rekaman itu, polisi memeriksa Anggodo. Tapi pemeriksaan polisi ini menimbulkan kecaman aktivis antikorupsi lantaran dinilai tidak serius. Belakangan, polisi menyatakan belum menemukan kesalahan Anggodo dan melemparkan perkara ini ke Komisi Pemberantasan. Pelimpahan itu tanpa menyertakan bukti, dokumen, atau pasal apa yang akan dipakai. ”Yang ada surat pelimpahan saja,” kata Tumpak.

Tumpak sendiri menjamin tak ada unsur dendam dalam penanganan kasus ini. Agar tidak muncul konflik kepentingan, Bibit dan Chandra tidak dilibatkan dalam kasus ini. ”Mereka sendiri juga meminta supaya tak dilibatkan,” ujar Tumpak.

Sumber Tempo menyebutkan, agar kasus ini tidak diintervensi kepolisian, KPK membentuk ”tim spesial”—begitu sebutannya. Tim ini didominasi para penyelidik dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dan bukan dari kepolisian seperti lazimnya. ”Tim spesial ini juga yang menangani kasus Bank Century,” ujarnya.

Tapi Tempo juga mendapat informasi dari sebuah sumber: diam-diam sebetulnya terjadi kesepakatan yang dibuat KPK dengan petinggi kepolisian dan kejaksaan. Intinya, KPK akan membatasi kasus ini hanya sampai Anggodo, dan tidak menjalar ke korps kepolisian dan kejaksaan.

Dalam rekaman terungkap Anggodo berkomunikasi dengan penyidik Komisaris Polisi Farman, Wakil Jaksa Agung Ritonga, bekas Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto, serta Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban I Ketut Sudiharsa.

Benarkah ada kesepakatan itu? Kepada Tempo yang menemuinya Kamis malam pekan lalu, Tumpak membantah keras adanya deal-deal dengan kepolisian dan kejaksaan serta adanya tim spesial. ”Sama sekali tidak ada batas-membatasi,” ucapnya. ”Yang suaranya muncul dalam rekaman, siapa pun dia, jika ada kaitan, akan diperiksa,” kata Tumpak.

l l l

Tempo mendapat informasi ini dari sejumlah sumber: ada perbedaan persepsi antara KPK dan polisi dalam kasus Anggodo yang menyebabkan perkara ini berjalan bak siput. Sementara Komisi memperlakukan Anggodo sebagai pelaku percobaan menyuap, polisi sebaliknya melihat dia sebagai korban pemerasan. Apalagi kejaksaan—seperti terlihat dalam surat keputusan penghentian penyidikan untuk Bibit dan Chandra menyatakan perbuatan yang disangkakan kepada dua pemimpin KPK itu, yakni memeras seseorang, telah memenuhi rumusan delik yang disangkakan.

”Ini yang menyebabkan penetapan tersangka dan penahanan Anggodo menjadi lama,” sumber ini menambahkan. Menurut dia, jika Komisi Pemberantasan tidak lihai, pihak Anggodo bisa dengan mudah menyerang balik dengan surat keputusan dari kejaksaan itu. ”Surat kejaksaan itu memang menjebak,” ujarnya.

KPK sudah menyadari kemungkinan ”serangan” dari Anggodo dengan bekal status Bibit Chandra di kejaksaan. ”Kami sudah siap,” katanya. Yang pasti, menurut Tumpak, meski dalam kasus dugaan penyuapan itu duit Anggodo tidak sampai ke pimpinan KPK, tidak berarti itu bukan tindak pidana. ”Artinya sudah ada percobaan.”

Pukulan balik kini tengah disiapkan tim pengacara Anggodo. Pekan ini, Bonaran akan melayangkan sanggahan ke Komisi Pemberantasan. ”Dalam SKPP sudah terpenuhi pasal pemerasan, tapi KPK kok justru menuduh Anggodo melakukan percobaan penyuapan,” katanya. Soal Anggodo dituduh menghalang-halangi penyidikan Masaro, dia membantahnya. Penyidikan perkara korupsi Sistem Komunikasi terjadi pada Agustus 2008, kata Bonaran, sedangkan aliran uang dari Anggodo ke Ari antara 10 dan 20 Agustus 2009. ”Waktunya selisih setahun, bagaimana disebut menghalangi?”

Peneliti Indonesia Corruption Watch, Febri Diansyah, berpendapat, jika argumentasi itu dipakai Bonaran, mudah dipatahkan. Menurut Febri, tindakan pemerasan harus menemukan bukti, atas inisiatif siapa. ”Jika tidak bisa dibuktikan, ya percobaan penyuapan itu yang digunakan.”

Febri menyarankan, untuk menguatkan sangkaan penyuapan, KPK memakai data aliran dana temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Jika temuan itu tak bisa dijadikan alat bukti, laporan itu dibawa ke Bank Indonesia untuk dimintakan klarifikasi. ”Klarifikasi Bank Indonesia bisa sebagai bukti di pengadilan,” ucapnya. Bukti lainnya adalah kronologi 15 Juli 2009 yang disusun Anggodo dan Ari. Kronologi ini bisa dipakai membuktikan pelanggaran pasal 21. ”Kronologi itu sarat rekayasa,” katanya.

Hanya, menurut dia, untuk pembuktian pasal 21 itu, Komisi Pemberantasan butuh kerja keras. Sebab, pasal 21 akan memaksa Komisi—mau tidak mau—harus memeriksa polisi dan jaksa yang diduga memfasilitasi Anggoro. Nah, pada bagian ini, kata dia, Anggodo punya peluang berbuat baik, yakni menunjuk siapa saja aparat yang membantunya. ”Pengakuan Anggodo ini bisa menjadi pertimbangan hakim di pengadilan,” katanya.

Artinya, memang tidak sekadar adu ”nyali”, KPK pun kini mesti ”adu taktik” dengan Anggodo.

Anne L. Handayani, Anton Aprianto

Pembicaraan Menggegerkan Itu

Pada 3 November 2009, Mahkamah Konstitusi memutar rekaman pembicaraan telepon antara Anggodo dan beberapa orang. Rekaman ini menguak persekongkolan untuk mempidanakan Bibit-Chandra.

23 Juli 2009 (pukul 17.52.28)

Anggodo kepada Ketut (Komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban):
”Saya takutnya kita disadap nih, Pak.”

24 Juli 2009 (22.47.12)

Anggodo kepada Ketut:
”Caranya nanti kalau dibuka oleh Imigrasi, bawa aja dulu ke Jakarta dilindungi oleh polisi secara sementara, baru nanti ditemukan. Saya datang ke tempat persembunyian di sana kita bicara, kemudian langsung pernyataan ditandatangani....”

27 Juli 2009 (18.28.22)

Anggodo kepada Pria:
”Yo makane. Dan ini anu, Pak, kronologis saya sudah di Bang Farman semua.”

8 Agustus 2008 (01.41.53)

Anggodo kepada Putranevo:
”Loh aku wis ngomong, Pak, iku rencana soko Truno, aku ngomong ngono.” (Saya sudah bicara, Pak. Itu rencana dari Truno. Saya bilang begitu.)

Anggodo:
”Wis ngono iku, permintaan sing diajari Susno ngono, analisa-en to. Kon yo iso analisa, dheweke yo kon analisa, ngono lho.” (Begitulah permintaan yang diajarkan Susno. Kamu analisa saja. Kamu juga bisa menganalisa, dia pun juga.)

10 Agustus 2009 (18.13.38)

Bonaran kepada Anggodo:
”Bahwa itu bukan pemerasan, bukan penyuapan tapi pemerasan gitu.”

16 September 2009 (18.52.26)

Pria kepada Anggodo:
”Tapi lek sing situk, Chandra sesuk dilebokno malah tak pateni ndik jero kok.” (Tapi kalau yang satunya, Chandra, besuk dijebloskan, malah di dalam saya bunuh sekalian.)

29 September 2009 (22.14.30)

Pria kepada Anggodo:
”Dan Wadir bilang itu memang ada rencana bisa sita.”

Dari Surabaya ke Jakarta
Anggodo Widjojo alias Ang Tjoe Niek punya nama panggilan lain: Cungek. Sebutan ini sudah ada sejak masa kecilnya, yang dihabiskan di Jalan Karet 12, Bongkaran, Surabaya. Dia punya dua saudara dengan nama mirip-mirip, Anggoro Widjojo dan Anggono Widjojo. Pernah mengelola SDSB dan tempat hiburan, Anggodo merambah ke bisnis kayu dengan mendirikan PT Sapta Wahana Mulia. Dia kemudian hijrah ke Jakarta dan bergabung dengan dua saudaranya yang mendirkan PT Masaro Radiokom. Perusahaan ini yang menyeret tiga bersaudara ini ke KPK.

Tak Mempan oleh Polisi

Polisi mencokok Anggodo Widjojo setelah Mahkamah Konstitusi memutar rekaman percakapan teleponnya yang menghebohkan itu. Enam sangkaan sebagai amunisi menjerat Anggodo rontok. Lalu KPK pun turun tangan.

Polisi

  • Pencatutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
  • Penghinaan institusi dan pejabat publik.
  • Fitnah.
  • Pencemaran nama baik.
  • Pemerasan/penyuapan.
  • Ancaman pembunuhan terhadap Chandra M. Hamzah.

KPK

  • Menghalangi penyidikan kasus korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan.
  • Percobaan penyuapan.

Jejak Cungek di Pusaran Masaro

Seperti kakaknya, Anggoro Widjojo, kini Anggodo berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dia dijerat dengan pasal menghalangi penyidikan dan percobaan penyuapan.

Januari 2008
KPK menyelidiki dugaan korupsi Direktur PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo dalam pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu Departemen Kehutanan dan proyek Pelabuhan Tanjung Api-api, Sumatera Selatan.

26 Juni 2008
Anggoro ke Cina, kemudian ”bersembunyi” di Singapura.

29 Juli 2008
Kantor PT Masaro digeledah KPK.

22 Agustus 2008
KPK mencekal Anggoro, Putranefo A. Prayugo (direktur utama), Anggono Widjojo (presiden komisaris), dan David Angkawijaya (direktur keuangan).

10 Oktober 2008
Ketua KPK Antasari Azhar bertemu dengan Anggoro di Singapura.

16 Mei 2009
Antasari menulis testimoni yang menyebutkan sejumlah pemimpin KPK menerima suap dari Anggoro.

23 Juni 2009
KPK menetapkan Anggoro sebagai tersangka dan buron.

6 Juli 2009
Antasari melaporkan dugaan suap di KPK ke Kepolisian Daerah Metro Jaya.

Juli 2009
Ari Muladi mengaku menerima uang Rp 5,1 miliar dari Anggodo Widjojo dan diserahkan ke oknum KPK.

27 Juli 2009
Ari Muladi, Eddy Sumarsono, dan Anggodo menjalani pemeriksaan di Markas Besar Kepolisian RI terkait dengan dugaan suap pemimpin KPK.

4 Agustus 2009
Beredar testimoni Antasari empat halaman. Isinya, Antasari mengaku bertemu dengan Anggoro Widjojo, Direktur PT Masaro, di Singapura. Dalam pertemuan itu, Anggoro bercerita bahwa ia telah memberikan uang Rp 6 miliar kepada dua pejabat KPK.

25 Agustus 2009
Ari Muladi mencabut berita acara pemeriksaan. Dia mengaku tidak pernah menyerahkan langsung uang itu ke pemimpin KPK. Uang dari Anggodo itu diserahkan ke Yualianto yang mengaku dekat dengan KPK.

11 September 2009
Empat pemimpin KPK (Haryono Umar, M. Jasin, Bibit Samad Rianto, dan Chandra M. Hamzah) diperiksa polisi berkaitan dengan kasus Anggoro.

15 September 2009
Chandra dan Bibit tersangka kasus dugaan penyalahgunaan wewenang. Belakangan, kuasa hukum Bibit dan Chandra mengatakan tuduhan untuk kliennya berubah-ubah, dari penyuapan hingga pemerasan.

29 Oktober 2009
Chandra dan Bibit ditahan dalam kasus pemerasan terhadap Anggoro.

3 November 2009
Mahkamah Konstitusi memutar rekaman sadapan telepon Anggodo. Penahanan Bibit dan Chandra ditangguhkan. Polisi memeriksa Anggodo.

9 November 2009
Tim 8 merekomendasikan fakta dan bukti yang dimiliki Polri tidak cukup bagi dilanjutkannya proses hukum tindak pidana penyuapan ataupun pemerasan kepada Bibit dan Chandra.

13 November 2009
Kuasa hukum Ari Muladi melaporkan Anggodo ke KPK dengan dugaan menghalang-halangi penyidikan KPK.

24 November 2009
Polisi menyerahkan kasus korupsi Anggodo ke KPK karena tidak mampu membuktikan enam sangkaan itu.

26 November 2009
KPK mulai menyelidiki Anggodo dengan dugaan pidana menghalang penyelidikan kasus korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan.

1 Desember 2009
Bibit dan Chandra memperoleh surat ketetapan penghentian penuntutan.

11 Januari 2010
KPK mulai memeriksa Anggodo dengan tuduhan menghalang-halangi penyidikan KPK dan percobaan penyuapan.

14 Januari
Anggodo ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Rumah Tahanan Cipinang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus