Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK seperti dua pemeriksaan sebelumnya, pemeriksaan Anggodo Widjojo ketiga kalinya di Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis pekan lalu, terbilang singkat. Berawal tatkala matahari di atas ubun-ubun, pemeriksaan itu kelar menjelang malam. Dia ditetapkan sebagai tersangka dalam upaya menghambat perkara yang tengah ditangani komisi antikorupsi dan percobaan penyuapan. Di pemeriksaan terakhir ini pula penyidik baru mengantongi bukti penting untuk menguatkan tuduhan percobaan penyuapan seperti diatur Pasal 15 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 53 KUHP.
Dalam mengenakan pasal penyuapan, Komisi memang tak mau serampangan. Alasannya, menurut sumber Tempo, sejak awal pasal itu terbentur kasus pemerasan yang pernah dituduhkan kepada dua pemimpin KPK: Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah. Dalam kasus itu, Anggodo diposisikan sebagai korban. Sedangkan untuk percobaan penyuapan, posisinya sebaliknya: pelaku. Jerat pasal 53 juga mensyaratkan bukti komunikasi Anggodo dengan subyek yang hendak disuap. ” Kalau tidak ada, gugurlah tuduhan itu,” kata dia.
Ada alasan lain yang tak kalah penting. Keterangan Ari Muladi ke KPK sama dengan keterangannya dalam perkara Bibit dan Chandra. Artinya, kalau kesaksian Ari tetap digunakan, tuduhan itu mudah dipatahkan. ”Publik sudah tahu, bahwa ada missing link dari pengakuan Ari itu,” kata sumber ini. Sejak kasus kliennya bergulir, pengacara Anggodo, Bonaran Situmeang, sudah melancarkan gertakan: akan melakukan perlawanan jika pasal ini tetap dikenakan.
Kepada Tempo, (Pelaksana Tugas) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Tumpak Hatorangan Panggabean mengaku sudah memperhitungkan semua kemungkinan itu. Menurut dia, pihaknya sudah punya cara dan bukti untuk menghadapi perlawanan pihak Anggodo. Soal alat buktinya, Tumpak enggan menjelaskan. ”Tak perlu ada komunikasi dengan orang KPK, cukup ada niat dan bukti Anggodo menyerahkan uang,” kata dia. Kendati demikian, posisi Anggodo dalam kasus pemerasan dan percobaan penyuapan ini tetap saja membuat KPK berhitung. Alhasil, percobaan penyuapan pun tidak jadi fokus penanganan kasus ini. ”Hanya sangkaan kedua,” kata Tumpak.
Ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, Rudy Satrio Mintohardjo, menyayangkan putusan itu. Menurut dia, seharusnya tuduhan percobaan itu menjadi fokus utama dalam kasus Anggodo. Alasannya, buktinya sejauh ini lebih mengarah ke tuduhan itu. ”Saya yakin KPK punya bukti yang cukup,” kata dia. Menurut Rudy, tak mungkin jika penyidik tidak mengantongi adanya komunikasi antara Anggodo dan subyek yang akan disuap. ”Ini logika pembuktian, mutlak hukumnya,” ujarnya.
Soal benturan dengan kasus pemerasan yang memposisikan Anggodo sebagai korban, kata Rudy, tidak perlu digubris. Dia mengatakan, dengan keluarnya surat ketentuan penghentian penuntutan, kasus itu secara hukum dianggap tidak ada. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy juga menyatakan hal yang sama. ”Itu dua kasus yang berbeda, tidak ada kaitannya,” kata dia. Sehingga, kata Marwan, tuduhan percobaan penyuapan itu tidak bisa dipatahkan dengan kasus pemerasan yang sudah dihentikan kejaksaan.
Pengacara Ari Muladi dan juga pelapor dalam kasus Anggodo, Sugeng Teguh Santoso, meminta KPK tak gentar menghadapi ancaman Bonaran. Sejauh memiliki bukti kuat soal percobaan penyuapan, logika terbalik tentang posisi Anggodo yang sering dilontarkan kuasa hukumnya bisa dipatahkan. ”Dalam tuduhan percobaan ini, bukti komunikasi Anggodo dan orang KPK menjadi sangat penting,” kata dia.
Sumber Tempo lain membisikkan, KPK sebenarnya sudah menerima banyak masukan ketika akan mengenakan pasal percobaan ini. Komisi sudah mengantongi dua alat bukti yang kuat untuk meng-counter polemik pemerasan dan percobaan penyuapan itu. Buktinya, kata sumber itu, adanya transkrip percakapan antara Anggoro Widjojo, Anggodo, dan Antasari Azhar—mantan Ketua KPK yang diberhentikan karena menjadi terdakwa kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. ”Anggodo pun sudah membenarkan percakapan itu,” kata dia. Sehingga, ujarnya, sebenarnya tak ada alasan bagi KPK takut terhadap gugatan pengenaan pasal itu.
Anton Aprianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo