Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Afghanistan, afghanistan

Veteran perang afghanistan tak mendapat tempat di masyarakat uni soviet. masyarakat uni soviet sendiri bertanya-tanya, untuk apa mereka berada di afghanistan. laporan tentang nasib para afghantsi.

16 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apa sebenarnya yang diperoleh Soviet dari Afghanistan, negeri seluas 647.500 km yang kini ditaksir berpenduduk 17 juta? Veteran perang Afghanistan tak mendapat tempat di masyarakat Soviet, masyarakat itu sendiri bertanya-tanya untuk apa mereka berada di Afghanistan. Sebuah laporan tentang nasib para Afghantsi, ditambah tiga tulisan tentang Afghanistan dari seorang wartawan Soviet sendiri, seorang wartawan keturunan Iran yang bekerja untuk The Sunday Times Magazine, dan laporan koresponden TEMPO di New Delhi. Disusun kembali oleh Zaim Uchrowi (tiga artikel) dan Priyono B. Sumbogo (satu artikel). ALEXANDR Simonov pulang perang musim panas tahun lalu. Tubuhnya merah tembaga dan berotot. Di apartemen tiga kamar yang rapi di Moskow - yang ditinggalinya bersama ibu, nenek, dan abangnya - ia, yang kini 21 tahun, menyimpan hari-harinya di Afghanistan dalam dua album foto. Ada rasa rindu pada persahabatan dalam perang di mata Simonov, tiap kali ia menunjukkan koleksi fotonya kepada siapa saja. Salah satu foto merekam pemuda itu telanjang dada, bergaya bak Rambo, menyandang sebuah bazoka, berdiri di truk lapis baja bersama kawankawannya. Tentara-tentara muda itu tampak bergurau. "Di Afghanistan," kata Simonov, "saya belajar mencintai manusia." Lalu Simonov bercerita. Sekali waktu ia dan kawannya melihat roket gerilyawan nyasar menghajar sebuah bis. Mereka lalu menghambur menyelamatkan penumpang yang masih hidup. Seorang ibu tewas, bayi di gendongannya menangis menjeritjerit. Simonov melepaskan tangan si ibu dari bayinya, lalu membawa orok itu keluar dari bis. Setelah ia kembali di Soviet, adakah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Moskow ini bisa menyesuaikan diri, hidup normal dalam masyarakatnya? "Tiga bulan pertama, susah," katanya. "Udara Afghanistan sangat jemih. Setiap malam aku bermimpi tentang perang dan kawan-kawan tentaraku." Tiba-tiba pemuda ini menutupi wajahnya, air matanya menetes. Setelah glasnost membuat celah di negeri tirai besi itu, luka Afghanistan dalam masyarakat Soviet kian nyata adanya. Bayi yang menangis di gendongan ibunya yang tewas dan air mata Simonov hanyalah sedikit nyeri dalam luka yang kini meruyak. ini sering dikatakan bahwa Soviet di Afghanistan sama dengan Amerika di Vietnam 20-an tahun lalu. Sebetulnya, itu tak sepenuhnya benar. Tapi bahwa ada hal-hal yang mirip, antara Perang Vietnam dan Perang Afghanistan, sulit dibantah. Perang seperti ini - berkepanjangan, di negeri asing, dan tak jelas tujuannya - dampaknya tak cuma terasa di medan tempur. Dentuman bom dan meriam pun meninggalkan goresan luka yang tak terlihat. Membuat tangisan dalam masyarakat, meski tak terdengar menimbulkan keraguan pada diri banyak orang terhadap kebijaksanaan pemerintah, meski tak dikatakan. Bagi orang Rusia, perang di Afghanistan hanya menambah pencandu narkotik dan memperbesar jumlah yang mengelakkan wajib militer. Ibu-ibu pun bertanya, mengapa anak pimpinan partai menolak dikirim ke Afghanistan. Lalu terdengar suara bemada protes, perang pasti sudah lama berakhr bila anak para pejabat partai tewas di Afghanistan. Mungkin sudah sejuta anak muda yang dikirim Soviet ke Afghanistan, sejak penyerbuan Desember 1979. Kremlin menolak menyebutkan jumlah yang tewas atau luka. Dugaan menyebutkan, sekitar 35.000 tentara Soviet kehilangan nyawa atau luka dalam perang yang telah berlangsung 9 tahun ini. Angka itu termasuk mereka yang meninggal karena malaria, sakit kuning, tifus, disentri, hepatitis, stroke, dan disengat kalajengking padang pasir. Bagi anak-anak muda Rusia, tak ada istilah "patriot perang" seperti di masa lalu, ketika orangtua mereka melawan kaum fasis Jemman. Bagi mereka, petualangan di Afghanistan adalah pengalaman yang tak dikehendaki. "Anda pergi berperang untuk menggempur musuh," tutur Simonov: "Tapi, begitu Anda sampai ke medan, kenyataan perang sama sekali lain. Sulit untuk memahami siapa menggempur siapa." Bertahun-tahun media massa Soviet hanya menceritakan bahwa pasukan Soviet cuma membantu pemerintah Afghanistan dalam urusan di luar perang. Dan inilah cerita Valery Burkov, mayor udara berusia 30 tahun. "Pada 1984, kami disiapkan untuk operasi penyerbuan di daerah Kandahar. Tapi kemudian saya dengar dari Radio Soviet bahwa serangan itu disiapkan oleh pasukan komando Afghanistan. Memang, tentara Afghanistan ambil bagian juga, tapi mereka hanya 10 banding 1.000 tentara Soviet." Baru setelah glasnost, politik keterbukaan Gorbachev, digelindingkan, masyarakat Soviet memperoleh cerita perang yang lain. Salah satunya, tulisan Artyom Borovik, wartawan muda majalah mingguan populer Ogonyok. Borovik mengisahkan tentara letih yang bingung menghadapi penyergapan dan ladang ranjau, lalu memutar kaset Rod Steward. Atau menceritakan seorang tentara Rusia yang disiksa gerilyawan: sekeliling pinggangnya ditoreh dengan pisau, lalu kulitnya ditarik lepas lewat kepala, seperti melepas kaus oblong. Seorang ibu yang kemenakannya pergi berperang ke Afghanistan mendatangi Borovik. Ia dengan sangat memohon agar wartawan itu tidak menulis apa pun lagi tentang perang di Afghanistan. "Sebelum ini," kata wanita itu, "ringan perasaan kami menunggu pulangnya anak-anak." Tapi Borovik memang sengaja melukiskan ngerinya perang. Dengan cara itulah ia melawan infommasi yang tidak benar dari media massa Soviet selama ini. Dengan cara itulah ia membikin malu para pejabat, agar mereka memberikan perlakuan yang lebih baik kepada para veteran perang Afghanistan. Valery Burkov, mayor angkatan udara yang bercerita tentang penyerbuan ke Kandahar itu, kehilangan kedua kakinya sampai lutut, karena ia mendarat di tanah beranjau. Kini ia memakai kaki kayu bikinan sebuah pabrik yang dulu didirikan untuk membantu veteran Perang Dunia II, yang hingga kini tak pernah dimodemisasikan. "Saya terluka dan perlu perawatan dan pengobatan serius," kata Sergei Sokolov, seorang pilot yang tertembak jatuh oleh peluru yang diyakininya sebagai peluru kendali Redeye bikinan Amerika. "Tapi di rumah sakit dan di klinik, mereka hanya tertarik pada urusan kertas. Saya dipingpong dalam lingkaran tak berujung." Sementara menunggu pembagian apartemen dari pemerintah, ia tinggal bersama anak dan istrinya yang tengah hamil di sebuah rumah tanpa toilet dan tanpa aliran air. Dan hingga kini lukanya pun belum sembuh. Sejumlah veteran, merasa terhina karena dianggap oleh masyarak. tak lagi punya kemampuan apa pun, mencari perlindungan di sanatorium khusus. Mereka tak mau kembali ke keluarga mereka. Sudah kerap kali koran memuat surat para veteran Perang Dunia II, yang menanyakan bilakah Afghantsi - demikian veteran perang Afghanistan disebut - berhak atas imbalan yang sama dengan yang mereka terima. Termasuk prioritas perumahan yang layak, waktu libur yang leluasa, hak naik bis gratis, dan prioritas untuk memperoleh makanan atau tiket pesawat tanpa antre. Kini sikap masyarakat Soviet terhadap Afghantsi mirip sikap masyarakat Amerika terhadap yang pulang perang dari Vietnam. Para serdadu yang masih bau mesiu itu acap kali ditanya mengapa mereka menjarah dan membunuhi penduduk sipil tak berdosa. "Kami tidak sesadistis itu," kata Valeri Burkov. "Tapi kami sering ditipu. Sekali waktudushmani (kaum Mujahidin) menembaki kami dan kami tentu saja membalas. Ternyata, hanya ada lima dushmani, sementara yang lain adalah penduduk sipil yang damai. Mereka menderita banyak, tapi itu bukan kesalahan kami." Itulah yang membuat para Afghantsi frustrasi, lalu terjerat alkohol, bahkan hashish, opium, dan heroin - untuk membunuh mimpi buruk yang menghantui mereka. Tapi gampang saja pemerintah Soviet mencari kambing hitam. "Opium ada di mana-mana di Afghanistan," kata seorang pejabat Soviet. "Di sana barang itu tak dilarang, dan anak-anak kita seenaknya saja mengisap madat." Dengan kata lain, bila mereka pulang lalu kecanduan, itu salah mereka sendiri, bukan salahnya perang. Di sejumlah kota, bila terjadi tindak kriminal perkelahian, perkosaan, penganiayaan - para Afghantsi-lah yang pertama-tama dituduh sebagai pelakunya. Tak sepenuhnya tuduhan itu salah, memang. Kata Borovik, wartawan itu, "Mereka pulang dari Afghanistan dengan semangat tempur yang masih tinggi. Karena itu, mereka memandang segalanya dari sudut militer semua masalah ingin dipecahkannya dengan senapan Kalashnikov atau tinju." Celakanya, masyarakat Soviet memang sarat dengan "masalah". Seorang Afghantsi yang cacat harus mendatangi 10 tempat hanya untuk mendapatkan kartu yang menyatakan bahwa ia cacat. Kaki-kaki palsu amat buruk kondisinya membuat kaki berdarah. Dan banyak dokter tak bersimpati kepada yang pulang perang itu. Bila mereka mengeluh, dokter bilang, "Saya tak menyuruh kalian pergi ke Afghanistan." Lalu apa komentar para Afghantsi terhadap niat pemerintah Soviet menarik mundur tentaranya dari Afghanistan? Simonov, seperti kebanyakan veteran, meragukan niat pemerintahnya. "Bila terjadi pertempuran, dan lautan darah akan muncul di seluruh pelosok Afghanistan. Bukan waktu yang tepat untuk menarik mundur tentara sekarang ini." Sementara itu, di sebuah pertemuan malam yang diselenggarakan oleh majalah Ogonyok, Borovik berbicara tentang kesannya meliput perang. Valeri Burkov memainkan gitar dan menyanyikan balada kematian di Afghanistan. Kertas-kertas mengalir dari tangan ke tangan ke panggung untuk dibacakan. Kertas-kertas yang menyuarakan kemarahan pada perang. "Mengapa kau tak bilang bahwa kita bertempur di Afghanistan? Kita tak butuh pahlawanpahlawan ini, luka-luka ini, dan kepulangan otang-orang pincang ini." "Pertanyaan terpenting tentang Afghanistan bukanlah apakah kekejaman dan kematian di sana benar adanya. Tapi mengapa kita berada di sana?" Sobekan karcis pun dicoreng tulisan cakar ayam, "Ingat Vietnam." Angket yang dibuat oleh sebuah lembaga Prancis dan Soviet akhir Oktober tahun lalu mendapatkan bahwa lebih dari separuh responden setuju penarikan total pasukan mereka. Pendapat ini kuat pada orang-orang Rusia berusia antara 45 dan 54 tahun, yakni para orangtua yang anak-anaknya masuk kriteria wajib militer. Seorang intelektual muda Moskow naik panggung dalam pertemuan majalah Ogonyok, lalu ia angkat bicara "Kita bersedia berkorban jika kita melihat hasiinya. Tapi kita secara psikologis tak siap bertempur untuk hal yang tak jelas."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus