Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Suara dari kabul

Usaha sovietisasi yang dilakukan uni soviet ternyata diam-diam mendapat perlawanan terus. usaha menerapkan sistem pertanian kolektif, misalnya dimana-mana mendapatkan perlawanan dari kaum tani.

16 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HINGGA lahir niat Soviet menarik 115.000 tentaranya dari Afghanistan, setelah 9 tahun menduduki negeri itu, sebenarnya hanya di Kabul, ibu kota Afghanistan, boleh dikata Soviet menguasai keadaan. Selebihnya, kisah Afghanistan adalah darah dan api. Laki-laki tangguh yang dijiwai napas suci Islam gencar melakukan gerilya di bukit-bukit. Kendati selalu kekurangan dana dan senjata. Meski mereka sakit-sakitan, dan kadang diwarnai perselisihan antara sesama pejuang, kaum Mujahidin tetap antusias melayani jurus jurus gempur Rusia. "Seperkasa-perkasanya Soviet, sezalim-zalimnya penindasan, . sedahsyat-dahsyatnya teror, seampuh-ampuhnya subversi. bila dihadapkan pada sebuah bangsa dan kultur yang dijiwai ideologi suci, keangkaramurkaan tak bakal berdaya" kata Abbas, seorang wartawan foto kelahiran 1ran, yang dua tahun lalu selama dua bulan meliput Afghanistan dari dalam. Ia kemudian menuliskan laporannya di The Sunday Times Magazine. Mereka yang tak ikut bersembunyi ke gunung, tapi juga tak bersedia bekerja sama dengan pemerintah dukungan Soviet, lalu hijrah ke sekitar perbatasan Pakistan atau Iran. Kini, para pengungsi ini, di Pakistan saja jumlahnya hampir 3 juta. Orang-orang yang mengungsi itu pada dasarnya menolak politik pembangunan pemerintahan Babrak Kamal, yang kini dilanjutkan oleh Mohamad Najibullah. Politik itu oleh Abbas disebut "proses pembongkaran kemapanan tata nilai". Sasaran "pembongkaran" adalah merombak pola pikir dan tebalnya fanatisme terhadap Islam, yang oleh pejabat Soviet dinilai "sangat tradisional, ortodoks, miskin,dungu, dan sulit diubah." Caranya, dengan menggalakkan pendidikan sekuler, menggencarkan propaganda tentang sukses-sukses pemerintah, mempropagandakan Marxisme. Singkat cerita, suatu upaya Sovietisasi (lihat Sekolah Reuolusi Menghafal Slogan). Abbas sendiri menganggap, memang "kondisi Afghanistan warisan silam banyak yang harus diperbarui. Kebiasaan-kebiasaan lama, seperti keterikatan pada dominasi mullah dan batas-batas primordial kesukuan yang begitu mendarah daging sejak beberapa abad silam, patut dikikis atau paling tidak dikurangi, jika Afghanistan ingin membentuk sebuah negara yang siap berkembang." Bagi sebagian besar kaum wanita Kabul pikiran Abbas bukan sesuatu yang baru. Mereka sendiri secara lahir sudah mual pada dominasi mullah. Karena itu, mereka mendukung politik pembangunan pemerintah yang didukung Soviet. "Sebenarnya, kami tidak suka pada komunis atau Rusia. Tetapi lebih baik begini daripada dikuasai para mullah. Andaikan Mujahidin memenangkan perang, berarti Afghanistan akan dikendalikan mereka. Dan itu artinya, sejumlah kebebasan yang kini kami miliki akan berakhir," kata seorang wanita terpelajar. Mungkin wanita terlalu tergesa menilai. Menjelang intervensi Soviet, Kabul memang rusuh. Para istri tiap hari cemas, adakah suami mereka pulang ke rumah hari itu. Tapi adakah itu karena tentara Soviet? Tentu saja kaum Mujahidin punya sikap yang lain. Bagi mereka orang-orang yang bersedia bekerja sama dengan Soviet adalah munafik. Benar, mereka ikut puasa di bulan Ramadan bergopoh-gopoh salat ke masjid bila suara azan memanggil. Tak lupa mengutip ayat-ayat Quran guna menguatkan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tapi, "Apakah mereka mengira kami terlalu dungu untuk dikecoh?" kata seorang pejuang muslim dengan berang. Pejuang lainnya menambahkan, "Ini betul-betul rezim ateis." Secara resmi pemerintah Kabul memang tidak menindas kebebasan beragama. Bahkan orang Soviet dengan tak malu-malu menyebut bangsa Afghanistan sebagai "'kawan". Di sekolah, panti asuhan, dan di mana ada kesempatan, kepada anak-anak diajarkan menyanyikan lagu "persahabatan Soviet". Sebagian mereka malah dikirim ke Soviet untuk digembleng. Akan tetapi sebenamya usaha Sovietisasi itu diam-diam mendapat perlawanan terus. Usaha menerapkan sistem pertanian kolektif, misalnya, di mana-mana mendapatkan perlawanan dari kaum tani, tutur seorang pejabat Partai. Dan lihatlah di Kabul, yang tampaknya benar-benar diatur oleh Soviet, yang kaum wanitanya seolah mendukung pendudukan di negerinya. Perkembangan sistem sosial di ibu kota itu malah cenderung menyimpang dari cita-cita Marxisme. Di sini, justru tumbuh perdagangan bebas produk negeri-negeri yang selama ini dikecam Soviet sebagai kapitalis. Ada sederetan video dari Jepang dan Inggris dijajakan di toko-toko, barang pecah-belah buatan Prancis, atau makanan olahan dari Pakistan. Sementara itu, di desa-desa peranan mullah tetap kuat dan dominan. Itu membuktikan Sovietisasi bukanlah perkara gampang di Afghanistan. Slogan berhenti sebagai slogan, sementara kehidupan sehari-hari boleh berlawanan dengan anjuran. Suara dukungan sejumlah penduduk Kabul boleh dianggap cara lain melawan rezim dukungan negeri asing. Seorang pejabat yang mulai menginsafi kekeliruannya berbisik perlahan kepada Abbas "Mereka tidak pernah mendengarkan kami. Mereka cuma mengikut kehendaknya sendiri." Barulah belakangan ini, tampaknya, Gorbachev, bapak glasnost itu, melihat intervensi Soviet sebagai hal yang dari segala segi tak menguntungkan. Guna mempertahankan "gengsi" di negeri yang didudukinya itu, Soviet harus mengirimkan bermilyar rubel tiap tahun. Belum lagi kritik dan kecaman dari berbagai negeri. Belum lagi gugumya anak-anak muda Soviet. Belum lagi protes dari masyarakat di Soviet sendiri. Ini, agaknya, yang membuat Menlu Soviet Shevamadze, untuk pertama kalinya, mendukung diberikannya kursi kepada kaum Mujahidin dan kaum pengungsi di pemilihan umum pekan lalu. Masalahnya, adakah itu tawaran dengan hati tulis, atau sekadar taktik politik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus