IKAN Batak (Lissochillus tiennemani) masih ada? Tersebutlah Lamsana Lumban Raja. Lelaki 70 tahun ini, setelah panen akhir Maret lalu, menjual ikan Batak yang langka itu. Harganya Rp 12.000,00 sampai Rp 15.000,00/kg -tiga kali harga ikan emas. Ikan sedikit lemak ini oleh orang Minang dinamai kulari. Geraknya cepat dan gesit menghindar atau bersembunyi bila ada pengganggunya. Selain peka, si Batak juga manja. "Sedikit saja lingkungan berubah, ia akan mati," ujar Esau Donald Sianturi, Kepala Seksi Budidaya Ikan Air Tawar Dinas Perikanan Sumatera Utara. Setelah Indonesia merdeka, jejak ikan ini makin sulit dicari. Penyebabnya, menurut Esau, antara lain karena cara penangkapan yang serampangan. Misalnya memakai bahan peledak atau zat kimia. Juga tak mustahil pengaruh populasi ikan lain, hingga kurang berkembang. "Kita baru mengamati sifat biologisnya," kata Julius Silaen, Kepala Dinas Perikanan Tapanuli Utara. Bahkan habitatnya yang sesuai diamati. Di kabupaten itu, orang Batak menyebut ikan ini dengan ihan. Sebagai santapan adat, katanya, ihan ada berkahnya. Misalnya, bagi perawan yang belum tak dapat jodoh atau suami istri yang lama mendambakan kehadiran anak. Dulu kalau orang Batak membeli ikan itu, konon, harganya tak ditawar, biar khasiatnya tak berkurang. Karena langka, "status" ikan tersebut dalam upacara adat, diganti ikan emas atau mujair. Lamsana ingin mengembalikan citra ihan yang sudah digeser ikan emas (Cyprinuscarpio) itu. Dibantu seorang mahasiswa Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumaterta Utara, setahun silam ayah 10 anak dan kakek 15 cucu itu mulai menganalisa air Sungai Mendaris di Binjai, Tebingtinggi, dan Deli Serdang. Air itu akan dialirkan di empat kolam ikannya. Memang, airlah di antara penentu berhasil atau gagalnya pembiakan. Secara umum, ikan tawar butuh oksigen minimum 5 ppm (part per million). Kadar oksigen, yang terlarut dalam air, seperti untuk ikan lele cukup dengan 2 ppm. Tapi ikan Batak membutuhkan setidaknya 8 ppm. Sedangkan kadar oksigen air Sungai Mendaris cuma 4 ppm. Airnya malah keruh -- bukan seperti air Danau Toba tempat asal ikan itu. Bibitnya tak mudah. Di Danau Toba, di Sungai Batang Sopan, Pasaman (Sumatera Barat), sulit ditemukan. Memang adayang serupa, tapi bukan ihan. Itu jurung atau garing (Lissochillus sumatraensis), selain sering bersama juga satu famili. Bedanya: si garing bersirip di punggung dan bergaris merah di ekor serta di pipinya, sedangkan ikan warna tubuhnya gelap. Lamsana menemukan bibit ihan di Kabupaten Simalungun, Sum-Ut. Tapi membawanya sulit, apalagi menempuh jarak 40 km ke Binjai. Ikan itu mati semenit setelah diangkat dari air (ikan emas bertahan sekitar 15 menit). Dalam perjalanan itu, Lamsana terpaksa menambahkan oksigen. Dari 300 bibit (rata-rata beratnya 50 gr, panjangnya 10 cm) yang dimasukkan ke kolam banyak yang mati. Dan selama dipelihara 6 bulan, beratnya tak sampai 0,5 kg. Ikan emas, dalam jangka yang sama, mencapai I kg. Rugi. "Biarlah. Aku sedang mempelajarinya," kata Lamsana. Pertambahan populasi ihan memang belum menggembirakan. Dinas Perikanan Tapanuli Utara, sejak November 1987, mengembangkannya di Danau Toba. Selama dalam jaring apung sekitar 50 m2 di danau itu, bobot ihan bisa empat kali lipat lebih baik. Julius menyimpulkan, "Di sawah tak cocok membudidayakan ihan dan jurung." Suhardjo Hs. (Jakarta) & Mukhlizardy A.(Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini