Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabar kematian Munir Said Thalib mampir ke telinga Helmy Fauzi. Kepada Taufiq Kiemas, Helmy—politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan—menyarankan bosnya agar bertandang ke rumah Munir di Jalan Cendana 12, Perumahan Jaka Permai, Bekasi Barat, pada 7 September 2004. Taufiq datang tepat tengah malam bersama peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Hermawan Sulistyo, Cornelis Lay, dan seorang pejabat Garuda Indonesia.
Selain berbelasungkawa, Taufiq menawarkan bantuan penerbangan ke Belanda kepada keluarga Munir. "Begitu bertemu, kami sampaikan apa yang bisa kami bantu," kata Helmy dua pekan lalu. Tawaran itu ditolak karena rombongan kerabat Munir sudah memesan tiket ke Amsterdam.
Helmy kemudian mendengar kabar kawan-kawan Munir kesulitan memulangkan jenazah almarhum dari Jakarta ke Malang. Dia meneruskan persoalan ini kepada Taufiq Kiemas. "Ya, sudah, bantu saja," ujar Helmy menirukan perintah Taufiq pada September 2004.
Setelah mendapat lampu hijau, Helmy mengontak koleganya, aktivis hak asasi manusia Asmara Nababan. Asmara lantas menghubungi Direktur PT Merpati Nusantara Airlines kala itu, Hotasi Nababan. Hotasi tahu bahwa kawan-kawan Munir sedang berikhtiar memulangkan jenazah aktivis HAM itu ke Malang. Kepada Hotasi, Asmara bertanya apakah ada pesawat yang bisa dicarter untuk 100 orang. "Saya jawab ada," kata Hotasi saat ditemui di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, akhir November lalu.
Direktur Eksekutif Imparsial ketika itu, Rachland Nashidik, menuturkan kegalauan mereka membawa jenazah Munir dari Jakarta. Apalagi kala itu belum ada penerbangan langsung dari Jakarta ke Malang. Bandara Abdulrachman Saleh berada di bawah otoritas Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara. Jika terbang via Surabaya, dia cemas jenazah mesti menempuh perjalanan darat selama dua jam.
Rachland lalu mengontak Todung, berdiskusi mencari jalan keluar agar bisa menyewa jet carteran. Anggaran penyewaan pesawat Rp 200-300 juta. Saat dilanda kebingungan itulah panggilan telepon dari Jalan Teuku Umar mampir ke Rachland. Seorang pegawai rumah tangga Megawati Soekarnoputri mengabarkan bahwa Taufiq setuju membantu menyewakan pesawat.
Rachland diberi kontak seorang perwira menengah TNI Angkatan Udara di Malang. Urusan teknis dengan otoritas bandara diselesaikan oleh bagian operasional PT Merpati. Maskapai pelat merah itu menyediakan pesawat Fokker 100 untuk membawa Munir. Kala urusan pesawat, avtur, dan tetek-bengek lain beres, Rachland mengontak Todung. Kepada koleganya itu, dia berpesan tak usah mencari uang lagi. "Awalnya kawan-kawan bangga sama gue karena bisa (carter) pesawat jet," Rachland mengenang.
Beberapa hari setelah jenazah dipulangkan ke Malang, Hotasi Nababan, menurut Helmy Fauzi, mengontaknya agar melunasi sewa pesawat. Helmy sempat menggerutu karena rekannya mempersoalkan masalah duit. "Munir kan kawan kita juga," kata Helmy kepada Hotasi kala itu. Beberapa pekan kemudian, Hotasi kembali mengontaknya. Urusan pembayaran pesawat sudah beres. "Duitnya dari TK (Taufiq Kiemas) meski tak langsung lewat saya," ucap Helmy.
Istri Munir, Suciwati, mengakui keluarga mengalami kesulitan keuangan. Kawan-kawan sesama aktivis berinisiatif urun dana menanggung biaya pesawat. Meski tak sibuk oleh urusan teknis, Suciwati pernah mendengar kepulangan jenazah suaminya atas upaya Taufiq. "Karena sedang berduka, saya waktu itu tak pernah terpikir menolak bantuan ini," kata Suciwati.
Setiba di Bandara Soekarno-Hatta, jenazah Munir dipindahkan ke pesawat Merpati. Kapten Rudolf Simatupang menerbangkannya pada pukul 21.45 WIB. Kursi diisi penuh oleh kawan-kawan Munir. Di antaranya, Jimly Asshidiqie, Todung Mulya Lubis, Asmara Nababan, Adnan Buyung Nasution, Helmy Fauzi, dan Rahman Tolleng. "Pesawat ini dicarter selama tiga jam," kata Hotasi. Dia menambahkan, pihak Merpati memberi diskon untuk penerbangan ini. "Saya tak ingat persis angkanya."
Di Malang, pengangkutan jenazah Munir tak sepenuhnya lancar. Saat rombongan mendarat, otoritas bandara mempermasalahkan kehadiran dua warga negara asing. Helmy tak ingat siapa warga negara asing yang selalu membawa buku catatan dan peralatan fotografi. Dia mengira orang asing ini aktivis atau wartawan yang menyertai kepulangan Munir. Tak ingin ribet, Helmy menjawab enteng saja, "Mereka mengantar Munir."
Tak hanya membantu mencarter pesawat, melalui Helmy, Taufik Kiemas juga memberikan uang duka sebesar US$ 10.000. Uang dititipkan kepada kakak Munir di Batu. Karena ribet banyak pelayat dan suasana duka, Suciwati baru dikabari setelah prosesi selesai. "Saya diberi tahu uang di bungkusan itu hilang," katanya. "Saya bersyukur, mungkin itu pertanda pesan dari almarhum."
Bantuan Taufiq Kiemas di kemudian hari memantik kemarahan para aktivis kepada Rachland. Mereka, yang awalnya senang karena Munir bisa dipulangkan dengan jet, balik memarahi Rachland. Todung sempat mendengar kekesalan kawan-kawannya. Namun dia tak bertanya lebih jauh karena pulang lebih dulu via Surabaya. "Saya mendengar info itu," ujar Todung kepada Tempo.
Apa reaksi Rachland? Dia tak mengacuhkan kemarahan kawan-kawannya. Politikus Partai Demokrat ini mengaku bersedia menerima bantuan dari siapa pun asalkan jenazah Munir tak menderita. "Saat pulang ke Jakarta, mereka tak mau ikut pesawat itu," kata Rachland.
Karena itulah, ketika terbang ke Jakarta, hanya Helmy dan Hotasi yang duduk berdua di kursi penumpang. "Saya pulang dengan pesawat kosong," kata Helmy.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo