Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Saya Bukan Intel Kemarin Sore

8 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KANTOR perusahaan perkapalan PT Mega Maroci Lines di Menara Kuningan, Jakarta Selatan, dijaga dengan standar keamanan tinggi. Selasa pekan lalu, setelah Tempo mewawancarainya, Abdullah Makhmud Hendropriyono, presiden direktur perusahaan itu, menempelkan ibu jarinya ke sensor. Di layar, muncul inisial namanya, "AMH", lalu pintu kayu menuju ruang kerjanya bergeser terbuka.

"Sensor ini sekalian untuk mengecek siapa saja yang masuk ruang kerja saya," kata Hendropriyono, 69 tahun, yang berkantor di situ sejak empat tahun lalu. Klien Mega Maroci Lines antara lain perusahaan-perusahaan perminyakan yang beroperasi di lepas pantai.

Bisnis dan politik merupakan aktivitas utama Hendropriyono setelah melepaskan jabatan Kepala Badan Intelijen Negara pada akhir 2004. Di pengujung tiga tahun kepemimpinannya sebagai kepala lembaga telik sandi itu, aktivis prodemokrasi Munir Said Thalib dibunuh dengan racun arsenik. Berbagai indikasi menunjukkan keterlibatan BIN dalam kejahatan ini. Sejak itu, Hendropriyono selalu dikaitkan dengan tragedi ini.

Bawahannya, Deputi Penggalangan Muchdi Purwoprandjono, kemudian diadili, meski dinyatakan tak bersalah. Sejumlah anak buahnya juga dipanggil sebagai saksi. Satu di antaranya Sentot, yang pada 2004 menjabat kepala unit pelaksana BIN dan kini menjadi direktur di Maroci.

Mengenakan kemeja kuning, jas abu-abu, dan celana hitam, Hendropriyono membalut perutnya dengan korset—penahan bekas operasi dua otot tulang belakangnya. Hampir dua jam ia menjawab semua pertanyaan Tempo.

Anda selalu dikaitkan dengan pembunuhan Munir….

Saya anggap persoalannya sudah selesai karena muaranya hukum, bukan celometan pengamat. Kalau tak percaya kepada hukum, lalu kita berpegang pada apa lagi?

Benarkah Anda menyatakan siap bertanggung jawab dalam kasus ini?

Saya harus bertanggung jawab pada apa yang saya alami, yang saya lakukan, bahkan yang tidak saya kerjakan tapi seharusnya saya kerjakan. Kalau yang membunuh Munir itu orang BIN, saya bertanggung jawab secara moral, bukan tanggung jawab komando. Tanggung jawab komando hanya ada dalam situasi perang: jika anak buah saya membunuh, saya akan bertanggung jawab langsung. Dalam situasi damai, jika anak buah membunuh orang, sementara saya sedang tidur, masak saya harus bertanggung jawab?

Pada 2004, situasinya seperti apa? Adakah ancaman?

Tak ada ancaman meski menjelang pemilihan presiden. Pengusutan kasus itu kan terbuka. Buktinya, anak buah saya, Muchdi Pr., dibawa ke pengadilan. Itu artinya terbuka, dan hasilnya dia bebas karena tak ada bukti kuat.

Anda kenal Munir?

Dua kali bertemu. Pertama sewaktu ada diskusi di radio Trijaya. Setelah selesai, saya minta dia berceramah tentang hak asasi manusia di BIN. Kedua, saya melihat dia di rumah Ibu Megawati Soekarnoputri. Dia dekat dengan PDI Perjuangan.

Apakah Munir jadi target BIN karena dianggap musuh negara?

Saya tak mengerti orang seperti Munir dijadikan target nasional. Saya bukan intel kemarin sore. Yang beginian bukan ancaman. Tak betul juga pembunuhan Munir terstruktur.

Dari kesaksian Budi Santoso, ada rapat di BIN yang menyimpulkan Munir mau menjual negara dan harus dihentikan….

Mungkin dia yang memimpin rapat, ha-ha-ha…. Budi itu eselon II. Saya pun sudah lupa seperti apa orangnya. Lagi pula, tak mungkin membicarakan satu orang dalam rapat BIN.

Anda tahu Wakil Kepada BIN As'ad Ali memberi penugasan kepada Pollycarpus untuk mengawal Garuda?

Saya belum pernah melihat dan membaca suratnya. Saya tanya Pak As'ad, dia juga tak tahu. Kata dia, memang ada yang membuat surat itu, tapi dia tak tanda tangan.

Surat itu diambil dari komputer Muchdi….

Waduh, tak tahu saya. Di pengadilan memang arahnya ke Muchdi. Saya deg-degan, kalau benar Muchdi terlibat, saya bisa kena juga.

Apakah penugasan agen di BIN tertulis?

Tidak. Yang tertulis itu hanya penerimaan dan pengeluaran uang, tapi tak tertulis nama kegiatannya. Hanya biaya operasi.

Apakah Anda tahu Pollycarpus agen BIN?

Sampai saat ini, saya tak kenal dia. Saya pikir dia orang Ambon karena namanya. Saya juga kaget disebut di media bahwa saya mengintervensi pembebasan dia.

Anda percaya Muchdi?

Saya percaya kecakapannya. Dia lama di intelijen, terus ke Sandi Yudha, lalu balik ke intelijen. Dia peramal yang bagus. Jarang ada tentara seperti itu.

Bagaimana alurnya jika BIN melakukan operasi?

Setiap deputi otonom. Tapi, dalam operasi, saya harus tahu. Komandan lapangan tak harus direktur. Saya tunjuk yang cakap saja. Untuk sasaran seperti teroris internasional Umar al-Faruk, saya lapor presiden. Munir bukan sasaran seperti Umar.

Bagaimana mencegah agar tak ada operasi intelijen liar?

Kami punya laporan harian, mingguan, bulanan, tiga bulanan, dan itu harus ada di meja saya, jadi saya tahu kerja anak buah saya. Kalau jalan sendiri, ya, tanggung jawab sendiri, namanya pidana, kriminal. 

Apakah mungkin Muchdi menjalankan operasinya sendiri?

Tidak bisa. Itu pidana. Kalau operasi membunuh orang itu harus lapor. Dan tak ada ceritanya operasi bunuh orang.

Anda yakin Muchdi tak berjalan sendiri?

Awalnya berpikir seperti itu. Di intelijen, musuh dan kawan kan tak bisa dibedakan. Saya dan As'ad juga bingung: siapa yang bikin surat itu? Sedangkan Muchdi di penyidikan membantahnya.

Ada penyelidikan internal?

Saya larang, karena tiap deputi nanti mengamankan diri sendiri. Jadi biar yang memeriksa dari luar saja. Saya juga pernah diperiksa. Tapi, karena nama saya tak disebut, polisi tak melanjutkannya.

Apakah Anda tanya soal surat ke Muchdi sekarang?

Dia cengar-cengir saja. Tak enak bertanya soal itu lagi sekarang.

Muchdi bebas karena punya alibi, ketika teleponnya dipakai menghubungi Pollycarpus, dia di Malaysia….

Mungkin ada intel di dalam intel, saya tak mengerti.

Apa tugas Muchdi di BIN?

Penggalangan. Pembentuk opini di masyarakat.

Bukan merekrut agen?

Semua deputi merekrut agen, bahkan agen per agen bisa merekrut. Makanya beda antara agen, contact person, dan informan. Di Indonesia dianggap sama.

Menurut Anda, Munir meninggal karena apa?

Saya tidak tahu.

Apakah kematian Munir khas kerja intelijen?

Kalau benar intelijen, sangat memalukan membunuh dengan cara seperti itu. Itu cara paling bodoh. Tubuh korban yang diracun pasti dibelah sehingga ketahuan arseniknya.

Seharusnya seperti apa?

Seperti pada zaman operasi penembakan misterius era Pak Benny Moerdani. Intel-intel masuk penjara, mencari orang yang sudah membunuh dua-tiga kali. Mereka dikeluarkan, lalu diminta mendaftar teman-temannya. Dia sendiri yang kemudian membunuh teman-temannya. Ada yang dipinjami pistol, tapi lebih banyak pakai senjata tajam, seperti golok. Setelah membunuh, mereka melapor ke kepala intel. Lalu dicek. Jika benar semua mati, baru intel membunuh preman ini. Mayatnya ditenggelamkan ke laut. Investigator sehebat apa pun tak akan bisa membongkar operasi ini.

Ada analisis, pembunuhan Munir untuk menciptakan kampanye buruk bagi Yudhoyono, calon presiden dari tentara….

Itu mungkin kalau Munir pemimpin partai oposisi seperti di Filipina.

Bukankah Belanda sengaja menunda penyerahan hasil forensik karena khawatir dijadikan kampanye hitam….

Ha-ha-ha…. Belanda itu bunga-bunga mulutnya saja. Kalau mau buka, ya, buka saja. Buktinya sampai sekarang saja tidak dibuka. Belanda berubah-ubah merilis kematian Munir. Awalnya sakit, lalu racun arsenik, lalu tidak mau buka hasil forensik.

Omong-omong, Anda mengajukan As'ad jadi Kepala BIN ke Presiden?

Bukan mengajukan. Saya ditanya Jokowi. Menurut saya, orang yang sejak sarjana masuk BIN dan terus meniti karier di sana adalah As'ad. Kemudian kita menghadapi ISIS dan radikalisme, As'ad sembilan tahun di Timur Tengah, jadi mengerti betul tokoh-tokoh radikal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus