Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jauh Dalang dari Genggaman

SEJAK awal, pengusutan perkara ini tak dilakukan dengan sepenuh hati. Presiden Yudhoyono memang mengatakan pengungkapan kasus ini sebagai "test of our history". Namun ia baru membentuk tim pencari fakta setelah didesak kanan-kiri melalui media massa. Penyidikan serius dilakukan setelah tekanan internasional pada 2007. Dalang pembunuhan belum juga ditemukan.

8 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Duka di Mortuarium Schiphol
Keluarga dan kolega menjemput jenazah Munir ke Amsterdam. Liku-liku pemulangan Cak Munir ke Batu, Jawa Timur.


Mulya Wirana awalnya mengira kabar duka itu sebagai musibah biasa. Pagi itu, 7 September 2004, Atase Politik Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag, Belanda, ini mendapat kabar seorang warga Indonesia meninggal di pesawat Garuda dalam perjalanan menuju Amsterdam. Hingga menjelang siang, Mulya belum tahu siapa yang meninggal dan apa penyebabnya.

"Pagi itu, kami belum aware," kata Mulya, kini Duta Besar Republik Indonesia untuk Portugal, ketika ditemui di Lisabon, 25 November lalu.

Menjelang sore, Mulya baru menerima beberapa pesan pendek dari Jakarta. "Ini gimana, ada berita Munir meninggal di pesawat," demikian antara lain bunyi pesan itu. Di Jakarta, kabar kematian Munir sudah menyebar luas beberapa jam sebelumnya.

Hari itu juga Mulya mengirim anggota staf konsuler ke Bandar Udara Schiphol. Namun tak banyak informasi yang diperoleh. Kepolisian Belanda hanya menyebutkan telah memeriksa kru Garuda GA-974 sebelum pesawat itu kembali ke Jakarta sesuai dengan jadwal. Sewaktu tim KBRI hendak melihat jenazah Munir, kepolisian Belanda tak mengizinkan. "Mereka bilang, 'Nanti dulu', tanpa memberi alasan," ujar Mulya.

Kepolisian Belanda sebenarnya tak langsung menutup akses. Sebelum tim KBRI mencari-cari informasi, dua kenalan Munir diizinkan melihat jenazah. Mereka adalah Sri Rusminingtyas dan suaminya yang warga Belanda, Leo Fontijne.

Pagi itu Sri datang ke Schiphol untuk menjemput Munir. Mereka janjian bertemu di pintu kedatangan. Sri hendak menyerahkan cetakan foto pernikahan dia. Setelah itu, ia berencana mengantar Munir ke Utrecht.

Ketika Sri menunggu, terdengar pengumuman dalam bahasa Belanda yang menyebut-nyebut nama Munir. Namun Sri tak mengindahkan pengumuman yang samar-samar itu. Tiba-tiba telepon selulernya berbunyi. Ternyata yang menelepon Poengky Indarti, sahabat Munir dari Jakarta. Poengky menyampaikan kabar yang sulit dipercaya Sri: di sini beredar kabar Munir meninggal di pesawat.

Sampai di situ, Sri berharap kabar dari Poengky tak lebih dari rumor. Karena itu, dia masih menunggu Munir sampai semua penumpang Garuda keluar.

Tak kunjung melihat Munir, Sri meminta konfirmasi kabar kematian itu kepada kru Garuda. Seorang pramugari membenarkan. Tapi dia meminta Sri menghubungi kantor Garuda untuk mendapat penjelasan resmi.

Panik, Sri mendatangi meja informasi untuk menanyakan kantor perwakilan Garuda. Petugas di meja informasi malah meminta Sri bertanya kepada tiga lelaki yang berdiri tak jauh dari meja informasi. Belakangan, Sri tahu dua lelaki itu polisi. Seorang lainnya petugas dari pastoran.

Setelah membenarkan kabar kematian itu, kedua polisi meminjami Sri telepon untuk menghubungi keluarga dan orang dekat Munir. Sri pun bolak-balik menelepon ke Jakarta.

Tak lama kemudian, Leo menyusul istrinya ke bandara. Sri dan Leo diajak polisi melihat jenazah di ruang mortuarium (kamar mayat) di bandara. Di sana jasad Munir ditunggui dua detektif dari The Royal Netherlands Marechaussee. Semula, hanya Leo yang diizinkan masuk. Beberapa saat kemudian, Sri dipersilakan masuk. Tangis Sri pun meledak. Dia berkali-kali memanggil Munir, yang terbujur dingin dan kaku.

Setelah identifikasi mayat selesai, kedua detektif mewawancarai Sri dan suaminya. Sri menerangkan bahwa Munir adalah pegiat hak asasi manusia yang kritis terhadap pemerintah. Sri pun bercerita soal teror yang kerap diterima almarhum.

Setelah tahu jati diri Munir, polisi Belanda menjamin tak sembarang orang akan diberi akses melihat jenazah. Karena kematian Munir mencurigakan, mereka pun menyebutkan jasad almarhum akan diotopsi.

Pada hari itu juga Sri mendapat kabar dari Jakarta bahwa istri Munir, Suciwati, dan kawan-kawan sudah mendapat tiket untuk ke Belanda. Polisi lalu mengatur rencana penyambutan mereka. Misalnya, Suciwati tak diperkenankan berhubungan dengan pihak luar, termasuk Kedutaan Indonesia, sebelum melihat Munir dan diperiksa Marsose.

Lima tahun setelah kematian Munir, Sri menuliskan detail penjemputan jenazah di Schiphol itu. Pernah diunggah ke Facebook, salinan tulisan itu kini disimpan rapi di Imparsial—lembaga nirlaba tempat Munir menjadi direktur eksekutif sebelum berangkat ke Belanda.

Rabu petang, 8 September 2004, Suciwati, Poengky, Usman Hamid, Rusdi Marpaung, dan Rasyid--kakak sulung Munir--berangkat ke Belanda melalui Bandara Soekarno-Hatta. Rombongan itu naik pesawat maskapai penerbangan Belanda, KLM 837, yang dijadwalkan tiba di Schiphol esok harinya, pukul 05.30 waktu setempat. "Untuk ongkos, kami saweran," ucap Suciwati, pertengahan November lalu.

Di Schiphol, rombongan Suciwati disambut Sri, polisi, petugas bandara, dan perwakilan sponsor beasiswa Munir. Sekitar pukul 08.00, Suciwati dan rombongan diberi waktu melihat jenazah Munir. Isak tangis dan suasana duka kembali menyaput ruang jenazah itu.

Setelah Suciwati dan kawan-kawan kembali tenang, penyidik Belanda memeriksa mereka. "Sebelum diperiksa, kami seperti dikarantina. Tak boleh ketemu siapa-siapa," ujar Poengky.

Menjelang siang, ruang Mortuarium Schiphol dipenuhi sahabat Munir di Belanda. Beberapa di antaranya bahkan datang dari London, Inggris. Setelah jenazah dikafani, perwakilan keluarga, kolega, dan staf KBRI Belanda melakukan salat jenazah.

Jasad Munir dijadwalkan akan dibawa ke Indonesia esok harinya, 9 September 2004. Namun, menurut Mulya Wirana, pemulangan jenazah tidaklah mudah. Soalnya, Kementerian Kehakiman Belanda—yang membawahkan kepolisian—sejak awal menduga kematian Munir tidak wajar.

Di Belanda, bila seseorang meninggal karena kejahatan, polisi punya hak sepenuhnya atas semua bukti, termasuk jenazah. Polisi bahkan bisa menutup akses untuk keluarga. Alasannya, semua pihak, termasuk keluarga, bisa menjadi tersangka. "Kami meminta bantuan Kementerian Luar Negeri Belanda untuk membujuk Kementerian Kehakiman agar tidak terlalu kaku," tutur Mulya.

Setelah Kementerian Kehakiman memberi lampu hijau, timbul masalah lain. Kementerian Kehakiman bermarkas di Den Haag, sedangkan jenazah Munir ada di Amsterdam. Nah, Amsterdam berada di bawah yurisdiksi kejaksaan negara bagian Belanda Utara (ibu kotanya Haarlem). "Administrasi pemulangannya, ya ampun, ruwet," kata Mulya.

Pagi hari sebelum berangkat, muncul lagi masalah baru. Bea dan Cukai Belanda meminta semua surat pengiriman jenazah, yang sama dengan surat pengiriman barang. Bila dokumen itu tak lengkap, mereka khawatir jenazah Munir tak bisa masuk ke Indonesia.

Geregetan, Mulya pun mendesak pihak Bea-Cukai. "Sudahlah, Anda kasih keluar jenazahnya. Untuk masuk ke Indonesia, itu urusan kami," ujar Mulya. Ketika diyakinkan Kementerian Luar Negeri Belanda, pihak Bea-Cukai baru melunak.

Sambil menunggu semua urusan administrasi kelar, pihak KBRI menawari Suciwati agar jenazah Munir disemayamkan dulu di kantor kedutaan untuk penghormatan. Selanjutnya jenazah akan dibawa ke Jakarta dengan pesawat Garuda. Kali ini Suciwati yang keberatan. "Saya terluka. Suami saya meninggal di tempat yang seharusnya melindungi dia. Mengapa saya harus percaya?" katanya.

Karena Suciwati berkeras menolak tawaran kedutaan, jenazah Munir dan rombongan akhirnya pulang dengan pesawat maskapai Belanda, KLM 738. Rombongan itu meninggalkan Schiphol pukul 22.00. Mereka tiba di Cengkareng pada 11 September 2004 sekitar pukul 17.00. Di Terminal 1 A, sore itu telah berkumpul puluhan rekan almarhum, antara lain Todung Mulya Lubis, Teten Masduki, Ifdhal Kasim, dan Adnan Buyung Nasution. Ada juga perwakilan Kedutaan Kanada, Inggris, dan Belanda.

Jenazah Munir beberapa menit singgah di area karantina kesehatan. Setelah itu, jenazah dipindahkan ke pesawat Merpati. Cak Munir pun diterbangkan ke Malang untuk dimakamkan di Batu, Jawa Timur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus