Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dwifungsi di Sana-sini

Sukses Halliburton memenangi tender proyek pascaperang di Irak dituding terkait dengan posisi Dick Cheney sebagai Wakil Presiden Amerika Serikat. Selingkuh kepentingan bukan monopoli kita.

28 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perang tak hanya menyisakan kehancuran dan derita, tapi juga pekerjaan rumah untuk membangun kembali peradaban baru dari bekas reruntuhan. Mereka yang terluka butuh rumah sakit untuk merawatnya. Anak-anak harus kembali sekolah dan tentu saja butuh sarana pendukung lainnya.

Di Irak, perang mengakibatkan banyak sumur minyak terbakar dan pipa-pipa hancur. Karena itu, banyak kilang membutuhkan perbaikan. Dan Halliburton terpilih sebagai kontraktornya.

Tak lama setelah Irak takluk, April dua tahun lalu, nilai kontrak yang ada di tangan perusahaan konstruksi dan perminyakan yang berbasis di Texas itu mencapai sekitar US$ 1,7 miliar. ”Selama pemerintahan George W. Bush-Dick Cheney, Halliburton sudah mengantongi lebih dari US$ 10 miliar untuk proyek di Irak,” kata Senator New Jersey, Frank Lautenberg, dalam sebuah laporan belum lama ini.

”Mereka juga mendapat kontrak pertama rekonstruksi pasca-badai Katrina,” Lautenberg menambahkan. Terangterangan senator ini menuding bahwa Wakil Presiden Dick Cheney turut mengambil keuntungan dalam semua proses itu mengingat hubungannya dengan Halliburton. Konflik kepentingan? Itulah yang banyak digunjingkan orang Amerika ketika berbicara soal Halliburton dan Cheney yang berdwifungsi.

Pertalian mesra itu tak terjalin tiba-tiba. Ketika Dick Cheney menjabat Menteri Pertahanan dalam kabinet Presiden George Bush (Senior) dari 1989 sampai 1993, Pentagon telah menunjuk Kellog, Brown & Root (KBR) sebagai konsultan.

Anak perusahaan Halliburton itu diminta mempelajari efektivitas dari sisi biaya bila Departemen Pertahanan bekerja sama dengan perusahaan swasta untuk mendukung berbagai operasi militer. Hasil studi menghasilkan rekomendasi agar kerja sama seperti itu dilakukan. Dan KBR sekaligus ditunjuk sebagai kontraktor.

Kekalahan kubu Republik dan naiknya Clinton sebagai Presiden Amerika Serikat tak memberi ruang bagi Cheney di pemerintahan. Ia kembali ke dunia bisnis, dan pada 1995 menjabat pimpinan eksekutif di Halliburton. Ia berhenti pada 2000 ketika memutuskan mendampingi George W. Bush dalam pemilihan presiden.

Selama lima tahun di perusahaan itu, Cheney menggandakan jumlah bisnis Halliburton dari proyek pemerintah hingga sekitar US$ 2,3 miliar. Bersamaan dengan itu, kontribusi mereka kepada para kandidat Partai Republik terus melambung hingga US$ 1,2 juta.

Cheney selalu membantah dirinya berperan atas semua proyek yang jatuh ke Halliburton sejak ia mencalonkan diri sebagai wakil presiden pada Agustus 2000. Ketika itu ia pensiun dengan pesangon US$ 20 juta. ”Saya tak punya hubungan apa pun dengan semua tender itu,” katanya.

Halliburton sendiri tak kurang gesit mengelak. Juru bicara perusahaan, Wendy Hall, mengatakan, ”Kami sudah jadi kontraktor pemerintah sejak 1940-an. Sejak itu KBR memasok logistik dan melayani seluruh markas militer.”

Namun, dikabarkan ada data yang menjelaskan bahwa tak seluruh saham Cheney di Halliburton dilepasnya begitu ia menjabat wakil presiden. Dalam sebuah laporan pada 2001, diketahui masih ada 433 ribu lembar saham miliknya di perusahaan itu. Aliran uang pun tak putus dari Halliburton. Besarnya sekitar US$ 150 ribu per tahun.

Bersama dengan itu, proyek demi proyek terus saja mengalir ke Halliburton dan anak-anak perusahaannya, termasuk pembangunan penjara khusus di Guantanamo, Kuba, yang dikerjakan KBR dengan nilai US$ 33 juta.

Di Thailand, ceritanya tak jauh beda. Sebelum jadi perdana menteri pada Januari 2001, Thaksin Shinawatra adalah taipan media dan telekomunikasi. Penguasaannya atas media memungkinkannya memobilisasi mereka untuk kepentingan menjaring dukungan.

Cara Thaksin menjadi taipan pun tak sepi dari tudingan miring tentang kuatnya konflik kepentingan yang ia perankan. Ketika masih menjadi perwira polisi, Thaksin memulai bisnisnya dengan memasok peralatan komputer dan keperluan kantor kepolisian.

Pada awal 1990-an bisnisnya menggembung karena konsesi yang diperolehnya di bidang telekomunikasi (penyeranta, telepon seluler, dan kartu telepon). Seiring perannya yang makin kuat di politik, perusahaannya pun makin berkibar dengan jaringan satelit, TV kabel, dan Internet yang ketiban proyek hingga 1,3 miliar bath.

Y. Tomi Aryanto (Guardian/Washington Post/CNN/AP/AFP)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus