Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR baik mampir ke telinga Jonathan Tahir, Deputi Chairman Grup Mayapada. Baru tiga tahun berdiri, kinerja Rumah Sakit Mayapada Lebak Bulus di Jakarta Selatan sudah menggembirakan. Tingkat okupansi rumah sakit berkapasitas 350 tempat tidur itu mencapai 50 persen. Bagi Jonathan, perolehan itu sudah cukup baik. "Okupansi optimal rumah sakit 75 persen," katanya pekan lalu.
Putra bungsu pendiri Grup Mayapada, Dato Sri Tahir, ini mengungkapkan, Mayapada melebarkan sayapnya ke industri kesehatan delapan tahun silam dengan mengakuisisi Rumah Sakit Honoris di Tangerang. Dibantu National University Hospital of Singapore, rumah sakit berusia 30 tahun itu mereka ubah menjadi pusat layanan kesehatan yang modern dan menggandakan omzetnya. Sukses dengan proyek pertama, Mayapada membangun rumah sakit kedua di Lebak Bulus pada 2013.
Sebagai pemain baru dengan jaringan terbatas, Jonathan bermain agresif. Sejumlah ekspansi lanjutan sudah dipersiapkan. Beberapa bulan ke depan, jumlah ranjang di Lebak Bulus bakal ditambah dari 350 menjadi 700 unit. Tempat tidur di Mayapada Tangerang, yang tingkat okupansinya sudah mencapai 70 persen, hendak diperbanyak dari 200 menjadi 250 unit.
Mayapada juga membangun rumah sakit berkapasitas 200 ranjang di Cakung, Jakarta Timur, dan mempersiapkan diri untuk masuk Surabaya. Mereka berencana mendirikan rumah sakit berkapasitas 300 dipan di Kota Pahlawan.
Hal yang bisa menghambat rencana ekspansi, menurut Jonathan, adalah ketersediaan tenaga dokter. "Kalau kita ngomong rumah sakit swasta, problem yang terbesar adalah rebutan dokter," katanya. Itu terjadi karena dokter hanya diizinkan bekerja di tiga tempat, padahal jumlah dokter yang berkualitas terbatas. "Biasanya, satu izin untuk rumah sakit pemerintah, satu untuk praktek pribadi, dan satu untuk rumah sakit swasta."
Aneka rupa ekspansi membawa dampak negatif bagi kinerja keuangan perusahaan. Hingga kuartal kedua 2016, PT Sejahteraraya Anugrahjaya Tbk, yang menaungi rumah sakit Mayapada, merugi Rp 55 miliar. Menurut Jonathan, kerugian tersebut merupakan implikasi dari biaya pembukaan rumah sakit yang kedua, bukan pertanda buruknya kinerja perusahaan. Dia memprediksi kondisi keuangan negatif bisa berlanjut pada tahun-tahun mendatang, lantaran Mayapada masih terus melakukan ekspansi. "Kecuali kami tak membangun lagi, saya yakin akan positif," ucapnya.
Peningkatan daya beli sektor kesehatan yang antara lain didorong oleh program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memang membuat bisnis rumah sakit di Indonesia kian gurih. Menurut data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, hingga Mei lalu jumlah peserta JKN telah lebih dari 163 juta orang dan diramalkan bertambah sekitar 30 juta setiap tahun.
Mayapada bukan satu-satunya rumah sakit milik perusahaan publik yang terus tumbuh. PT Siloam International Hospitals Tbk, yang memayungi Rumah Sakit Siloam, malah hendak membangun 27 rumah sakit baru hingga tahun depan.
Presiden Direktur Siloam Romeo Fernandez Lledo mengatakan hingga akhir 2016 saja Siloam akan membuka lima rumah sakit baru di kota-kota besar. Menyusul tahun depan pembangunan rumah sakit di berbagai daerah, seperti Bangka Belitung, Jember, dan Lubuk Linggau. Proyek lain adalah pembukaan 13 rumah sakit ekspres. Kalau berjalan menurut rencana, pada akhir 2017 mereka akan memiliki 50 rumah sakit, besar-kecil, di berbagai kota.
Pria asal Filipina tersebut mengatakan Siloam mulai agresif membangun rumah sakit sejak 2010. Ketika itu mereka baru mempunyai empat rumah sakit. Ada empat model bisnis rumah sakit yang mereka kembangkan. Model pertama disebut rumah sakit lengkap (fully equipped) dengan 300 ranjang. Berikutnya rumah sakit campuran dengan porsi 40 persen BPJS Kesehatan dan 60 persen pasien berbayar. Model campuran ini diterapkan di kota-kota kecil. Ketiga, rumah sakit ekspres yang berkapasitas 40 ranjang. Adapun model terakhir adalah rumah sakit umum yang seluruhnya diperuntukkan bagi pasien BPJS Kesehatan.
Menurut Lledo, kebutuhan dana untuk membangun rumah sakit fully equipped US$ 15 juta (sekitar Rp 195,5 miliar). Biaya sebesar itu hanya untuk pembelian alat. Bangunan dan tanah menggunakan aset Lippo Karawaci. Sedangkan rumah sakit campuran butuh biaya investasi US$ 6-8 juta dan rumah sakit ekspres US$ 3,4-4 juta.
Berdasarkan pengalaman Siloam, sebuah rumah sakit baru bisa memperoleh laba setelah empat tahun beroperasi. Itu pun dengan syarat jumlah tempat tidur 200-250 unit dan tingkat okupansi di atas 60 persen. "Rumah sakit kami yang masih negatif di Labuan Bajo, Buton, Medan, dan Cinere," katanya.
Meski masih ada rumah sakit yang rugi, pertumbuhan investasi mendatangkan optimisme bagi manajemen Siloam. Hingga kuartal kedua 2016, Siloam membukukan pendapatan Rp 2,55 triliun dan laba Rp 69,3 miliar. Tahun depan mereka menargetkan kenaikan pendapatan 25 persen dari tahun ini.
Pemain lama, Grup Hermina, tak kalah agresif. Rumah sakit yang berdiri sejak 1967 itu menargetkan memiliki 40 fasilitas pelayanan kesehatan pada 2020, dari 24 saat ini. "Target kami per tahun berdiri empat rumah sakit baru," kata Direktur Utama Grup Hermina, Hasmoro. Dia mengatakan, untuk menghindari risiko dari investasi yang sangat ekspansif, mereka lebih dulu akan membangun rumah sakit berskala kecil dengan 50 ranjang. Karena biaya investasinya kecil, pengembalian modal juga bisa lebih cepat.
Hasmoro menghitung biaya investasi per unit rumah sakit Hermina mencapai Rp 70-80 miliar. Dalam dua-tujuh bulan pertama, rumah sakit sudah bisa memenuhi kebutuhan operasional dari pendapatannya sendiri. Selanjutnya dalam enam tahun diharapkan biaya investasi kembali. Hasmoro mengatakan kinerja keuangan Hermina masih naik-turun. "Tahun 2002 kami pernah turun, tapi masih positif," ujarnya.
ANALIS emiten dari Erdikha Sekuritas, Adrian Priatna, memprediksi pendapatan sektor rumah sakit tumbuh 15-25 persen tahun depan. Dia mendapatkan angka tersebut dari analisis terhadap kinerja kuartal kedua 2016 empat emiten rumah sakit, yakni PT Siloam International Hospitals Tbk, PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk (Mitra Keluarga), PT Sarana Meditama Metropolitan Tbk (Omni), dan PT Sejahteraraya Anugrahjaya Tbk.
Lantaran program JKN akan menjadi pilar utama pertumbuhan bisnis rumah sakit ini di tahun-tahun mendatang, menurut Adrian, isu paling dominan dalam industri ini adalah seretnya pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan. Rumah sakit swasta seperti menghadapi buah simalakama. Ikut program JKN, pembayaran klaim mereka terancam tersendat. Jika menolak ikut, jumlah pasien mereka bakal jauh berkurang.
Namun Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Bambang Wibowo optimistis rumah sakit akan meraih untung dari program BPJS Kesehatan, asalkan efisien. "Pertumbuhan tak hanya diukur dari jumlah rumah sakit, tapi juga dari jumlah tempat tidur, fasilitas alat kesehatan, dan kompetensi tenaga medis," katanya.
Bagi pemerintah, persoalan yang juga perlu diatasi adalah pemerataan persebaran rumah sakit. Dari total 2.581 rumah sakit di Indonesia saat ini, hanya sebagian kecil yang ada di daerah. Selebihnya berkerumun di lokasi-lokasi yang menarik secara bisnis. Tantangan berikutnya ialah mengatasi penumpukan pasien di rumah sakit tertentu akibat tidak meratanya distribusi fasilitas dan tenaga medis yang kompeten.
Karena itu, Bambang meminta manajemen rumah sakit membangun sistem pelayanan yang bermutu dengan tarif terjangkau hingga ke daerah-daerah. Sebagai imbalannya, kata dia, pemerintah akan menaikkan tarif pelayanan BPJS Kesehatan di wilayah tengah dan timur Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo