Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BISA dikatakan pada umumnya karya sastra prosa yang terbit pada 2020, setidaknya yang masuk daftar yang tersedia di Tempo dan menjadi pertimbangan tim penilai, adalah karya sastra dengan semangat pascamodern, termasuk realisme magis. Tapi pascamodernisme dan realisme magis bukan sekadar permainan teknis. Fariz (2004) dan Upston (2009), misalnya, mengungkapkan adanya dimensi kultural dan politis dari realisme magis. Begitu juga apa yang dinamakan pascamodernisme dan pascastrukturalisme pada umumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun karya prosa yang dihimpun Tempo untuk diseleksi condong menjadikan kecenderungan pascamodern dan realis magis tersebut sebagai peralatan teknis belaka. Karya-karya itu tampak seperti “lupa jalan pulang”. Fragmentarisme novel seakan-akan menjadi kumpulan karya lepas, disertai pula dengan fragmentarisme gagasan. Karya menjadi sekumpulan kata-kata bijak yang tersebar, menjadi kekacauan (chaos) untuk kekacauan itu sendiri, sebuah kekacauan abadi dalam pengertian Upston.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah Belanda yang dibangun pada 1906 menjadi latar novel karya Minanto di Desa Singaraja, Indramayu, Jawa Barat, 5 Januari 2021. Tempo/Prima Mulia
Karya yang memperlihatkan kecenderungan kuat menempatkan realisme magis sebagai sebuah perspektif, sebuah cara pandang alternatif sekaligus resistansi terhadap ketidakadilan ekonomi dan politik, adalah Kokokan Mencari Arumbawangi. Novel ini mengangkat dan menghidupkan kembali dunia dongeng, fantasi, mengenai burung-burung bangau—tepatnya burung kuntul raksasa—yang seakan-akan turun dari langit, membawa dan menurunkan seorang anak ke sebuah desa yang sedang terancam penggusuran akibat kuatnya desakan pembangunan perhotelan dalam rangka pengembangan daerah wisata.
Novel yang hampir menyerupai cerita anak-anak ini, apalagi dengan menempatkan tokoh-tokoh ceritanya yang merupakan anak-anak yang berhadapan dengan kekejaman dan kelicikan orang-orang dewasa sekaligus sebagai representasi proyek pembangunan industri pariwisata, bisa dikatakan berhasil menjadikan kekuatan magis, fantastis, sebagai kekuatan resistansi dari orang-orang yang lemah, yang posisinya seperti anak-anak. Memang, pada akhirnya mereka kalah, desa mereka tetap akan tergusur dengan adanya keterlibatan bukan hanya aparat desa, tapi juga aparat negara yang berpihak kepada pengusaha. Namun kedua anak dalam cerita tetap terselamatkan dengan munculnya kembali serombongan burung kuntul membawa mereka terbang.
Di bagian epilog, novel ini memaparkan latar belakang cerita melalui suara narator yang sekaligus tentu saja menjadi tokoh yang ada di luar cerita mengenai makna burung kuntul atau bangau, yang biasanya dianggap hina dalam dongeng H.C. Andersen. Bagian itu sekaligus mengungkapkan sebuah makna alternatif mengenai bangau dengan melihat versi lokalnya, yaitu kuntul, sebagai burung yang serupa tapi tidak sama. Tapi epilog itu sekaligus membawa realisme magis ke sisinya yang lain, yaitu kosmopolitanisme, karena narator digambarkan sebagai anak seseorang yang bisa dikatakan dari kelas menengah-atas yang dapat dengan mudah mengunjungi tempat-tempat yang jauh, mengikuti fantasi dan mimpi kanak-kanaknya yang dibentuk oleh dongeng yang dibaca langsung dari bahasa aslinya, Inggris. Dalam hal inilah novel Aib dan Nasib (Marjin Kiri, 2020) karya Minanto menjadi pasangan sekaligus kontrasnya yang penting.
Potret kampung nelayan pesisir utara Indramayu yang menjadi latar novel karya Minanto di muara Sungai Langgen, Desa Singaraja, Indramayu, Jawa Barat, 5 Januari 2021. Tempo/Prima Mulia
Alur novel ini sebenarnya tersusun secara flashback, dimulai dengan tahap klimaks, yang di dalamnya beberapa tokoh cerita digambarkan sekarat, bahkan meninggal. Dari klimaks itu, cerita bergerak mundur ke gambaran mengenai proses yang memungkinkan terjadinya klimaks tersebut, baik yang menyangkut latar belakang tokoh, keluarga tokoh, lingkungan sekitar, maupun pertalian tokoh yang satu dengan tokoh yang lain. Atas banyaknya tokoh yang terlibat, dengan jalinan rumit di antara mereka, novel ini dibangun dengan susunan alur yang bisa dikatakan tersebar, yang terus-menerus berpindah dari satu episode kehidupan tokoh tertentu ke episode kehidupan tokoh lain hingga terhimpun gambaran latar belakang yang relatif lengkap dari setiap tokoh beserta proses kehidupan masing-masing. Dengan cara penuturan demikian, cerita dalam novel ini seolah-olah menjadi begitu ramai tapi sekaligus sesak, berjejal, membingungkan.
Berbeda dengan banyak novel lain, Aib dan Nasib tergolong novel realis, bahkan naturalis. Kemiskinan tokoh-tokoh dalam novel ini seperti sebuah kutukan yang berlangsung turun-temurun, membentuk semacam lingkaran setan, yang di dalamnya tokoh-tokoh itu tidak dapat keluar. Dengan kata lain, kemiskinan menjadi satu kondisi material yang memberikan batas yang tidak terelakkan yang membuat para tokoh seakan-akan hanya dihadapkan pada satu pilihan, tanpa kemungkinan pilihan yang lain. Kondisi material yang serupa inilah yang cenderung dilupakan oleh karya-karya sastra pascamodern yang mengambang bebas dari penanda ke penanda, ke dalam relasi yang makin rumit dari simbol ke simbol, dari mitos ke mitos, dari teks ke teks, dari media ke media. Namun hal itu tidak dengan sendirinya berarti cerita tokoh dalam novel ini terlepas sama sekali dari media.
Sebagaimana disiratkan dari beberapa paparan tersebut, media menjadi faktor pula dalam menentukan aib dan nasib tokoh-tokoh itu. Internet, media sosial, dan telepon seluler telah membawa Susanto, Bagong, Boled, dan Marlina ke nasib buruk mereka. Susanto dan Bagong adalah penggemar permainan PlayStation. Kegemaran itu membuat mereka membutuhkan lebih banyak uang dan pada akhirnya menyeret banyak tokoh lain ke dalam kehidupan keduanya yang penuh kekerasan. Kegemaran Susanto, Boled, dan Bagong pada Internet membawa mereka terlibat dalam konsumsi dan sekaligus produksi habis-habisan dalam wacana dan tindakan pornografis, mengikat terutama Boled kepada Susanto dan Bagong. Putusnya hubungan antara Marlina dan Eni, istrinya, juga disebabkan oleh perkenalan lelaki tersebut dengan ponsel dan karena itu Internet. Keterikatan berkepanjangan Gulabia dalam hubungan seks bebas dengan Kicong adalah rekaman video hubungan seks pertama Gulabia dengan pacarnya tersebut.
Aib dan Basib. Tempo
Memang, Internet tidak hanya menciptakan tragedi, manusia-manusia dengan aib dan nasib yang mengenaskan. Internet juga dapat membebaskan, memberdayakan, seperti yang misalnya terjadi dalam kasus pandemi Covid-19 saat ini. Namun berbagai pelosok dunia yang dimasuki Internet, tempat Internet itu bekerja, bukanlah ruang-ruang kosong belaka. Di dalam ruang itu terdapat manusia-manusia yang hidup dengan budaya dan kondisi material yang beragam. Dan keberagaman itu menentukan keberagaman pula dalam efek dan penggunaannya. Internet hanya bisa memberdayakan jika manusia-manusia yang hidup dalam ruang-ruang itu dapat mengakses kode-kode, sistem pengetahuan, dan sumber-sumber ekonomi yang menjadi prasyaratnya. Seperti yang antara lain terungkap dalam kutipan berikut ini, ketidakterpenuhan prasyarat itu hanya akan menimbulkan kesenjangan antara mimpi dan kenyataan:
“Jalan hidup seseorang memang sukar ditebak. Seorang suami bunuh istri dan cucu sendiri, ada. Seorang anak bunuh ibu sendiri, ada. Bahkan bapak dan anak saling bacok, juga ada,” papar seorang lelaki. “Malah aku heran, kenapa TV-TV tidak datang ke Tegalurung buat siaran berita. Padahal RTTV ada, STTV ada, TramTV ada, Tram7 juga ada. Padahal kukira setiap hari pastilah ada berita kriminal, apalagi di Tegalurung. Tidak pagi tidak siang tidak sore tidak malam.”
“Kalau orang TV datang ke Tegalurung, apa kamu siap jadi narasumber, Mang?”
“Tentu saja mau. Biar masuk TV. Kapan lagi bisa masuk TV?”
(Minanto 2020: 269-270)
Semua orang, karena media, seakan-akan terbenam dalam mimpi, imajinasi, yang terbangun di hadapan televisi yang tersedia di warung Inem yang terkenal dengan soto dan tevenya itu. Namun novel ini seakan-akan dengan sadar mengingatkan apa yang ada di balik imajinasi itu, yang tidak tertangkap oleh mereka walaupun sebenarnya ada bersama mereka dan di antara mereka, yaitu Gulabia dengan deritanya yang akan berkepanjangan.
“Hampir semua orang tergelak-gelak, meski terdengar agak dipaksakan. Dari beberapa orang itu, cuma Gulabia memasang muka kecut. Ia berharap akan mendapatkan semangkuk soto kecut untuk dibungkus khusus Kartono setelah ia dipecut sabuk di punggung sesaat setelah dipaksa untuk melangkahkan kaki demi semangkuk soto khas-Inem-si-Penjual-Seksi-dari Tegal-urung-blok-Sigong."
(Minanto 2020: 270)
FARUK, DOSEN FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo