Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANG pamer seni rupa berubah. Kita tak lagi berada di dalam satu ruang nyata bersama karya-karya yang dipamerkan. Kita menonton pameran di depan layar komputer, laptop, atau telepon seluler—suka atau tak suka. Maka sejumlah hal yang berkaitan dengan aktivitas melihat karya seni rupa pun hilang bersama ruang nyata (yang berubah menjadi ruang virtual). Kita tak melihat langsung karya yang dipamerkan; kita melihatnya sesuai dengan kamera yang memvirtualkan pameran tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lalu adakah cara berpameran virtual, yang seolah-olah nyata tapi berbeda, yang menjamin kita melihat karya seni rupa sebagaimana dalam pameran ruang nyata? Yang jelas, dari segi fisik, karya tak lagi sesuai dengan yang sebenarnya—ukuran, warna, dan segala elemen kesenirupaan. Dari satu hal ini saja, betapapun sempurna, hampir mustahil teknologi virtual membawa kita hadir seperti di ruang pameran nyata. Lagi pula, seandainya memang mungkin kita hadir di ruang pameran nyata secara virtual, satu hal mustahil disingkirkan: kesadaran kita bahwa kita menonton pameran secara virtual.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maka ada satu hal yang tak terhindarkan dalam memilih pameran (tunggal) terbaik 2020 versi majalah Tempo. Para juri (tim Tempo plus saya) mau tak mau perlu mempertimbangkan hal kevirtualan itu. Memang, tak semua pameran seni rupa di era pandemi Covid-19 tahun lalu adalah pameran virtual. Masih ada pameran di ruang nyata, juga yang disajikan dalam dua platform: nyata dan virtual. Bisa saja karya terlihat tidak menarik dalam pameran virtualnya karena teknologi yang digunakan tidak pas, kamera tidak bekerja sempurna, dan sebagainya. Jadi?
Ugo Untoro dalam pameran atau proyek menggambar dan menghapus bertajuk Penghormatan kepada Papan Tulis, 26 September 2020. HadiArt Platform
Pada kenyataannya, tidak mudah menjumpai pameran virtual seni rupa yang menyajikan karya sedemikian rupa sehingga kita tidak ragu menilainya. Pameran di ruang nyata dan pengunjung hadir secara fisik di ruangan tersebut. Dua hal itu sudah dengan sendirinya ada dalam benak para perupa dan siapa pun yang terkait dengan kegiatan pameran. Pandemi Covid-19 mengguncangkan “tradisi” itu. Museum dan galeri seni rupa ditutup sementara. Art fair, Art Basel Hong Kong misalnya, tahun lalu ditiadakan, diganti pameran online—sebutan lain untuk pameran virtual. Di beberapa kota yang dirasa aman, perhelatan semacam tetap dilangsungkan. Art Plus Shanghai, Armory Show di New York, dan Bangkok Art Biennale 2020 contohnya.
Dalam kaitan dengan pameran online, Art Basel bersama lembaga keuangan UBS mengadakan survei di tiga tempat—Inggris, Amerika Serikat, dan Hong Kong—pada sekitar pertengahan tahun lalu dengan lebih-kurang 790 galeri dan 360 kolektor pilihan. Kesimpulan survei secara garis besar: penjualan secara online diminati juga oleh para kolektor, tapi dalam jumlah dan nilai di bawah penjualan di ruang pameran nyata. Sebagian besar kolektor lebih bisa meyakini untuk mengoleksi atau tidak mengoleksi suatu karya setelah melihat langsung karya tersebut. Mengapa? Dengan melihat karya secara langsung, selain bisa mencermati kondisi fisik karya—ini alasan yang utama—mereka dapat memperoleh pengalaman dan rasa yang ditimbulkan oleh karya tersebut pada diri mereka, dan menemukan sesuatu yang menyenangkan.
Rupanya, pemilihan pameran terbaik versi Tempo kali ini mirip hasil survei tersebut. Betapapun bagusnya sebuah konsep pameran dan penelitian yang mendukungnya, kami menjatuhkan pilihan akhir dengan mempertimbangkan karya yang dipamerkan. Ini menjadi pegangan pertama penjurian. Maka sebuah proyek bersama oleh Institut Cemeti, kurator Adeline Luft, dan perupa Daniel Lie tentang kiprah Toko Buku Liong—toko yang antara lain menjual komik serta menjadi penerbit buku dan komik di Semarang pada 1950—kami kesampingkan. Kenapa?
Satu dari empat nomine pameran terbaik 2020 versi Tempo adalah proyek kerja sama tersebut. Daniel adalah cucu pemilik Toko Buku Liong, Lie Djoen Liem, yang pada 1958 beremigrasi ke São Paulo, Brasil. Daniel ikut dalam pameran Jogja Biennale 2017, yang asisten kuratornya adalah Luft, warga Rumania lulusan S-2 Pengkajian Seni Rupa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pertemuan mereka melahirkan proyek online alias daring tentang Toko Buku Liong. Hal yang menjadi obsesi Daniel: melacak riwayat kakeknya di Indonesia.
Fakta dan data yang ditemukan proyek itu boleh dibilang lengkap untuk menyimpulkan peran Toko Buku (dan penerbit) Liong. Liong-lah yang menerbitkan komik 10 jilid Wiro Anak Rimba Indonesia pada 1956-1958—komik yang disebut-sebut memelopori komik modern Indonesia. Namun presentasi karya Daniel kurang mencerminkan apa yang diperoleh dari penelitian itu. Karya instalasinya yang saya kira terinspirasi komik terbitan Liong terlihat kurang tergarap, tak memancing imajinasi. Susunan ranting dan batang kayu kering, lalu sebuah topeng—mungkin topeng Petruk—kurang memancing imajinasi. Instalasi ini agaknya terinspirasi komik Dagelan Petruk-Gareng yang diterbitkan Liong sebelum Wiro. Namun tafsir tersebut diperoleh lewat pameran daring. Tak tertutup kemungkinan cara kamera mengambil karya tersebut kurang tepat. Dengan kata lain, proyek ini tampaknya kurang bagus dalam penggarapan teknologi. Secara keseluruhan, dari sisi presentasi daring, pameran itu pun tak menggambarkan hasil penelitian yang dipublikasikan di situs Tokobukuliong.com.
Nomine lain, pameran Nindityo Adi Purnomo di Institut Cemeti, “Investigation of Male/Female Gaze”, digelar langsung di ruang pamer Institut Cemeti, dan bukan pameran virtual. Yang “baru” dari perupa yang dikenal menciptakan karya bertema gelung perempuan dalam berbagai bentuk dan media itu adalah gambar-gambar potret diri. Gambar tersebut merupakan hasil alih wahana dari foto-foto Nindit—sapaan Nindityo—yang dirias oleh perempuan dan pria nonheteroseksual yang ia sengaja undang. Sebagaimana judul pameran, proses ini tampaknya merupakan eksperimen Nindit untuk memperoleh sosok dirinya yang laki-laki menurut tatapan perempuan dan lelaki nonhetero. Tampaknya ini merupakan kelanjutan dari tema gelung perempuan lengkap dengan tusuk konde yang mempersoalkan masalah gender. Kali ini, Nindit mengganti tusuk konde yang mencitrakan keperempuanan dengan kerudung atau jilbab.
Ugo Untoro dalam pameran atau projek menggambar dan menghapus bertajuk Penghormatan kepada Papan Tulis, 26 September 2020. HadiArt Platform
Dari reproduksi gambar-gambar Nindit yang ditampilkan oleh tim Tempo dalam diskusi penjurian, mestilah diakui—sebagaimana ditulis oleh Alia Swastika dalam resensinya di Tempo—kepiawaian Nindit menggambar potret dengan media gouache pada kertas terhitung jarang. Nindit menampilkan 70 gambar, menurut Alia, yang begitu memukau karena citra auratik pada gambar-gambar itu “dibuat dengan penguasaan keterampilan tingkat tinggi, dengan imajinasi yang nyaris sempurna atas komposisi dan fantasi realitas, dan ide pembalikan tatapan yang provokatif”. Kira-kira seperti itu pula diskusi di antara para juri, yang sebenarnya hanya melihat karya reproduksi di monitor masing-masing. Kesepakatan penilaian juri dicapai setelah membandingkannya dengan resensi Alia, yang mengunjungi pameran tersebut.
Nomine berikutnya, pameran bertajuk “Dian Lentera Budaya”, adalah kreasi Tisna Sanjaya di bekas gedung Bioskop Dian di Bandung. Ini pameran terbatas karena pandemi; peminat mesti mendaftar dulu. Acara pembukaan, Sabtu, 19 Desember 2020, diselenggarakan secara daring. Hanya wartawan yang hadir langsung di ruang pamer. Di bekas tempat kursi penonton, Tisna menggelar 33 kasur berseprai putih lengkap dengan bantal hitam. Di pojok tiap kasur didirikan sebatang bambu untuk meletakkan lampu semprong. Di bekas layar bioskop diputar rekaman proses pembersihan gedung yang sudah bak tempat sampah. Di dinding kanan dan kiri ruang berukuran sebesar lapangan basket itu dipajang karya grafis Tisna, cetakan pada kanvas, per karya sekitar 2 x 2 meter. Total ada 15 karya.
Dalam acara pembukaan, Tisna melakukan performance. Ia tampak berbaring di salah satu kasur dan sebuah cambuk mirip cambuk tontonan kuda lumping tergeletak di samping. Ia bangun, meraih cambuk, mencambuk beberapa kasur, lalu meletakkan kembali cambuk ke kasur. Tisna lantas berjalan ke arah bekas layar, mengambil slang air, menyemprotkan air ke dinding bekas layar, sementara film yang diproyeksikan ke layar tersebut terus berlangsung.
Kembali Tisna mengambil cambuk, lalu berjalan di antara kasur-kasur, mencambuki kasur satu per satu, juga karya yang dipajang di dinding. Menjelang akhir “perjalanan”, Tisna mencambuk sambil berseru: “Nyingkah corona!”. Ia ke depan, ke bawah bekas layar bioskop, berjongkok, mencambuki seonggok plastik besar setinggi dirinya berisi sampah hasil pembersihan gedung, dan kembali berseru: “Nyingkah corona, nyingkah! Minggir!” Lalu ia berdiri, slang di tangan kiri, cambuk di tangan kanan, berdoa, selesai. Terdengar tepuk tangan—tampaknya dari anggota tim pameran yang diberi nama “Ladang Menyerang” (Tisna pernah berpameran di Bentara Budaya Jakarta dengan tim yang disebut “Jeprut”). Di antara mereka, tampak kurator pameran, Agung Hujatnika. Walhasil, pertunjukan sekitar 30 menit itu agaknya menjadi semacam ritual mengusir bala, mengusir virus corona.
Harap maklum, gedung yang dibangun pada 1930 itu sudah sejak akhir 1990-an tak lagi memutar film, beralih fungsi beberapa kali, terakhir digunakan sebagai lapangan futsal. Tisna, yang lahir pada 1958 di Bandung, mengaku pada masa remajanya suka menonton film India dan Indonesia serta film kungfu di Dian. Kenangan ini yang mendorongnya memberdayakan kembali Dian sebagai tempat kegiatan seni dan budaya, sebagai “Lentera Budaya”. Sekitar setahun sebelumnya, ia bolak-balik ke Dian dan, menjelang pameran, membersihkan gedung itu bersama tim Ladang Menyerang serta beberapa warga sekitar. Mungkin memang disengaja bahwa elemen-elemen pameran—bekas gedung yang mangkrak, performance mengusir corona, dan 15 karya grafis—terasa sendiri-sendiri, tak membentuk satu imajinasi. Yang menyatu dengan ruang, menurut hemat saya, hanyalah film yang diproyeksikan ke bekas layar bioskop: rekaman pembersihan gedung, lengkap dengan gambar truk sampah yang terparkir di luar.
Berbeda dengan suasana dramatis “Dian Lentera Budaya”, pertunjukan daring Ugo Untoro pada 26 September 2020 berlangsung selama 10 jam, dari pukul 14.00 hingga pukul 24.00. Sebenarnya tak ada informasi apakah Ugo melakukan performance. Yang kita lihat, di ruang studionya di Galeri Tanah Liat, Yogyakarta, ia menggambar dengan kapur berwarna di papan tulis besar seperti yang digunakan di sekolah-sekolah di masa lalu. Aktivitas ini disebutnya sebagai “Penghormatan kepada Papan Tulis” dengan semacam subjudul “penghormatanku atas kesementaraan”. Lewat aplikasi Zoom, yang tersaji adalah suasana yang diam, hanya sesekali terdengar suara kapur digoreskan, atau sayup suara dari radio.
Total Ugo menggambari sepuluh papan tulis, satu per satu. Ada gambar yang selesai dan dibiarkan, ada gambar yang dihapus dan papan digambari lagi dengan gambar berbeda. Apakah gambar-gambar di papan tulis itu mencerminkan kesementaraan? Yang segera teraba, gambar pada papan tulis 140 x180 sentimeter itu tercipta dengan relatif cepat—antara lain gambar telepon umum, orang berdiri memegang entah apa, gambar piano dan sebuah jalan lempang dalam perspektif, sesosok figur diliputi semacam awan putih, figur lelaki dengan punggung tegap menengok ke belakang, rel kereta dengan beberapa figur berbaris di antara dua rel dan seorang figur tampak duduk santai agak berjarak dari rel, dua perempuan jangkung duduk bersebelahan, serta figur lelaki dengan posisi hampir bertolak pinggang.
Gambar-gambar itu terlihat lahir begitu saja, lancar terbentuk, mengesankan penggambarnya sudah melewati jam terbang yang lebih dari cukup. Yang paling mengesankan dibanding gambar lain adalah rel kereta dan beberapa figur. Setelah sejenak gambar ini ditinggalkan Ugo hingga kita bisa melihatnya bebas tanpa penghalang, begitu Ugo muncul lagi di depan papan tulis, segera tangannya menggerakkan penghapus dan melenyapkan rel serta figur-figur itu. Yang tertinggal hanya bidang dengan warna samar-samar karena penghapus tak sepenuhnya membersihkan papan tulis. Pada bidang kusam itulah tergambar sesosok lelaki yang hampir bertolak pinggang menggantikan rel kereta.
Ugo Untoro dalam pameran atau proyek menggambar dan menghapus bertajuk Penghormatan kepada Papan Tulis, 26 September 2020. HadiArt Platform
Sampai di sini, terasa tak penting apakah sepuluh (mungkin sebelas dengan gambar rel yang dihapus) gambar tersebut karya Ugo yang pantas dipuji atau sebaliknya. Pada suatu saat, sepanjang proses menggambar tersebut, muncul kesan bahwa di antara semua yang ada di ruang yang disuguhkan oleh kamera—papan tulis, gambar, meja penuh benda dari cangkir seng, sekotak kapur, radio transistor, kacamata, buku komik, kertas terserak di lantai, kaleng-kaleng cat, dan lain-lain—serasa tak ada yang lebih penting daripada yang lain, termasuk perupanya.
Itulah ketika yang kita lihat di layar hanya papan tulis hitam bersih, Ugo sang perupa hanya tampak dari belakang, duduk, di kanan dua meja dengan macam-macam benda, di kiri agak jauh sebidang papan dengan serakan kertas putih, sejumlah kuas di tabung. Momen ini seolah-olah menjawab bahwa kesibukan menggambar terdahulu sesungguhnya adalah laku seseorang dalam hidup sesuai dengan yang selama ini dimilikinya. Laku tanpa mengusik, untuk apa semua itu? Dan pandanglah, gambar-gambar itu sebenarnya tidak ada, hanya hitam papan tulis, yang juga bakal tak ada. Bahkan semua yang kita saksikan segera hilang, ketika komputer, laptop, telepon seluler kita matikan.
Apa pun namanya, performance atau bukan, Ugo menyuguhkan sebuah fragmen dari hidup sehari-hari, hidup yang ia jalani yang lazim kita sebut berkesenian. Dan karya itu bisa disuguhkan kepada kita dengan memanfaatkan wahana yang mau tak mau kita gunakan karena semesta telah menciptakan sesuatu yang masuk dan mengubah hidup kita.
Dengan penghayatan masing-masing, kami akhirnya sepakat bahwa suguhan Ugo, yang menurut saya berupa fragmen hidup sehari-harinya, adalah karya orisinal yang menyentuh ihwal hidup dan kehidupan.
Bambang Bujono, Penulis, Pengulas Seni
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo