Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Memori Kekerasan: Antara Uruguay dan Kita

Faiza Mardzoeki membuka ruang baru dalam teater kita dengan menerjemahkan naskah Lene Therese Teigen, dramawan feminis Norwegia, menjadi lakon Waktu tanpa Buku. Dia juga mewujudkan naskah itu menjadi lima pentas yang diarahkan lima sutradara perempuan dari Aceh hingga Makassar. Naskah tentang memori kekerasan korban sepanjang periode diktator Uruguay ini menjelma menjadi lima pertunjukan yang pekat diwarnai memori kekerasan di negeri sendiri.

9 Januari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penulis naskah drama Faiza Mardzoeki di Yogyakarta, 5 Januari lalu./TEMPO/Yovita Amalia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA siang terang-benderang, satu keluarga berpiknik di lapangan hijau. Ayah, ibu, anak perempuan, dan seorang tante yang semuanya mengenakan pakaian putih. Anak perempuan datang membawa semangka, yang segera ia potong di atas taplak putih. Mereka mengobrol ringan, tentang baju renang dan pusat belanja. Si anak melontarkan pertanyaan iseng kepada ayahnya. Warna kesukaan? Makanan favorit? Minuman? Merokok atau tidak? Kamera menyorot wajah si ayah (diperankan Jamaluddin Latif) yang awalnya berhias senyum, lantas menjadi penuh kerut dan amarah ketika pertanyaan itu terus berlanjut dan makin mendesak. Nama? Umur? Pekerjaan? Partai politik? Afiliasi politik? Umur? Nama? “Aku ini ayahmu!” kata si ayah berpekik, lalu beranjak dari tikar piknik mereka. Begitu sepotong adegan dalam tafsir sutradara Yogyakarta, Agnes Christina, atas naskah Waktu tanpa Buku.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adegan interogasi serupa muncul dalam pentas berbeda yang disutradarai Ramdiana asal Aceh. Pada tafsir Ramdiana, taman hijau berganti ruang gulita. Ketegangan dibangun lewat bunyi detak jam yang kelewat kencang dan pendar kemerahan yang menyoroti wajah-wajah yang sedang dicecar pertanyaan. Mulanya seorang laki-laki gugup yang diinterogasi oleh penanya tak terlihat. Nama? Ahmad. Pekerjaan? Pedagang. Alamat? Simpang KKA belok kanan masuk kiri…. Lalu giliran perempuan berkerudung. Nama? Nadia. Umur? Sembilan belas tahun. KTP punya? Tidak. KTP Merah Putih kamu punya? Tidak. Tinggal di mana? Cot Murong….

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pentas teater Waktu tanpa Buku yang disutradarai Ramdiani. YouTube

Jawaban-jawaban itu memberi konteks sangat berbeda atas dialog yang berasal dari naskah yang sama dengan judul asli Time without Books tersebut. Dan, tak hanya dua, tiga sutradara perempuan juga turut dalam proyek mementaskan naskah yang ditulis dramawan feminis Norwegia, Lene Therese Teigen, itu. Satu naskah dan lima sutradara ini menghasilkan lima pertunjukan berformat teater film yang ditayangkan lewat saluran YouTube Institut Ungu Media sepanjang 1-10 Desember tahun lalu. Orang yang berada di belakang proyek yang rasanya tak pernah ada dalam jagat teater kita ini adalah produser sekaligus penerjemah naskah Faiza Mardzoeki.

Pertama kali disodorkan naskah Time without Books oleh Teigen, ingatan Faiza segera melayang kepada Wiji Thukul, Marsinah, dan korban-korban pelanggaran hak asasi manusia lain di Indonesia. Naskah itu ditulis Teigen pada 2017 berdasarkan wawancara dengan para imigran Uruguay di negaranya. Mereka adalah korban rezim diktator di Uruguay sepanjang 1973-1985 yang memenjarakan dan mengasingkan jutaan penduduknya. Sebagian dari mereka mencari hidup baru di Oslo. Kisah itu, bagi Faiza, amat dekat dengan apa yang terjadi di negeri ini sejak peristiwa 1965 hingga 33 tahun rezim Orde Baru. “Saya bersemangat sekali. Naskah ini harus diterjemahkan dan diterbitkan untuk masyarakat Indonesia karena ceritanya yang amat mirip dengan situasi kita,” ujar Faiza, yang diwawancarai secara virtual pada Ahad, 3 Januari lalu.

Faiza mengenal Teigen lewat asosiasi penulis drama perempuan sedunia, Women Playwright International Conference. Teigen tahu Faiza berfokus menulis drama yang bersentuhan dengan perempuan dan kasus pelanggaran HAM. Naskah Faiza sebelumnya antara lain berjudul Nyanyi Sunyi Kembang-kembang Genjer tentang eks tahanan politik perempuan, Mereka Memanggilku Nyai Ontosoroh berdasarkan Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, Perempuan di Titik Nol berdasarkan novel Nawal El Saadawi, dan Perempuan Menuntut Malam yang ditulis bersama Rieke Diah Pitaloka. Teigen lantas menawari Faiza membaca dan menerjemahkan naskah yang baru saja ia rampungkan pada 2017. Faiza mendapat beasiswa untuk menerjemahkan naskah itu dari Norwegian Literary Abroad.

Sutradara Agnes Christina di Bantul, Yogyakarta, 7 Januari lalu. Tempo/Yovita Amalia

Selain kedekatan dengan cerita, Faiza tertantang menerjemahkan naskah ini karena kerumitan penokohannya. Teigen menciptakan banyak karakter, tapi hanya empat aktor yang dapat memerankannya. Maka satu aktor dapat menjadi tiga-empat karakter sekaligus. Tokoh-tokoh yang muncul merupakan keluarga yang tercabik akibat rezim diktator. Misalnya keluarga Rita, Sofia, dan Pedro yang dipenjara lalu harus pindah ke negeri pengasingan. Atau Enrique yang ditawan, meninggalkan istrinya, Lydia, dan putrinya, Aurora, yang baru berumur satu tahun. Kemudian seorang perempuan bernama Maria yang menyaksikan perempuan-perempuan digantung dalam perjalanannya ke ruang interogasi.

Kerja penerjemahan Faiza ini membuka ruang baru dalam khazanah naskah adaptasi teater Indonesia. Naskah dari Norwegia yang sebelumnya kita tahu hanyalah karya-karya realis Henrik Ibsen yang dibuat lebih dari seratus tahun lalu. Sudah banyak yang mementaskan naskah bapak teater realis modern dunia itu di sini. Faiza juga menjadi salah satu yang mengadaptasi naskah Ibsen ke bahasa Indonesia. Naskah Subversif Faiza diadaptasi dari An Enemy of the People oleh Ibsen. Begitu pula Rumah Boneka, yang diterjemahkan dari A Doll’s House. Waktu tanpa Buku menjadi naskah adaptasi kontemporer pertama dari Norwegia di jagat teater kita. Di tengah langkanya penerjemahan baru naskah-naskah kontemporer dari Eropa dan Amerika, hal itu adalah sesuatu yang sangat berharga. Pada 1970-an , naskah terjemahan di Indonesia muncul dengan subur. Hal itu terjadi karena masih ada sastrawan seperti Trisno Sumarjo, Toto Sudarto Bachtiar, Asrul Sani, dan Sapardi Djoko Damono yang aktif menerjemahkan naskah-naskah dari Barat. Sekarang kita jarang menemukan terjemahan naskah-naskah Barat mutakhir, bahkan hampir dikatakan tidak ada. Di titik itu, kerja penerjemahan yang dilakukan Faiza menjadi penting.

Faiza ingat, selesai menerjemahkan naskah pada 2019, ia belum puas. Dia tak ingin naskah itu berakhir hanya sebagai bahan bacaan. Faiza kembali mencari cara untuk menerbitkan buku naskah dan memproduksi pentas teater Waktu tanpa Buku. Dukungan pun datang dari Kedutaan Besar Norwegia di Jakarta, bertepatan dengan hantaman pandemi. Maka sejak awal Faiza sudah membayangkan pertunjukan akan berformat daring (online). Wawan Sofwan menjadi partner Faiza sebagai konsultan pertunjukan.

Faiza berkeras pentas itu harus disutradarai perempuan. Dia memilih lima pekerja teater dari lima daerah demi memperkaya keberagaman penafsiran atas naskah ketika diwujudkan di atas panggung. Alasan pertama Faiza memilih sutradara perempuan adalah naskah Teigen berpusar pada memori keluarga yang banyak diwakili oleh perempuan. Selain itu, “Dunia teater Indonesia masih sangat maskulin, tak banyak sutradara teater perempuan. Padahal saya yakin perempuan pasti bisa,” ujar Faiza.

Sutradara pentas teater Waktu Tanpa Buku, Shinta Febriany, di Makassar. Dok. Pribadi

Pilihan produksi Faiza ini yang memberi efek paling mengesankan dalam rangkaian proyek Waktu tanpa Buku. Lima pentas itu begitu berbeda, baik dari segi durasi, teknik penyampaian, maupun konteks sejarah yang diselipkan. Keberagaman itu kuat diwarnai oleh latar belakang dan pengalaman tiap sutradara.

Di tangan Ruth Marini, yang berlatar belakang teater dan film, naskah ini sepenuhnya didekati dengan gaya sinema. Dia menghadirkan ruang-ruang masa lalu dalam bentuk penjara kelam dan ruang interogasi serta ruang masa kini dalam kolase monolog aktor. “Saya membayangkan teater film tempat kita masih bisa merasakan konsep teater di dalamnya, tapi secara teknis pengambilan gambarnya secara filmis,” tutur Ruth.

Adapun Shinta Febriany dari Makassar banyak menggunakan pendekatan ketubuhan, sesuai dengan pendekatan yang paling sering ia gunakan dalam praktik penciptaan teaternya. Adegan pentas Shinta diisi dengan para aktor, perempuan dan laki-laki, mendaraskan monolog dalam posisi duduk, berdiri, dan jatuh yang ritmis. Mereka mengenakan kostum putih dengan wajah yang sepenuhnya tertutup belitan benang merah. Shinta menyunting sejumlah bagian naskah. “Beberapa teks atau dialog tidak diucapkan secara utuh atau bahkan tidak diucapkan sama sekali oleh aktor, melainkan divisualkan,” ucapnya.

Dari Bandung, Heliana Sinaga bersama kelompok teater Mainteater memilih setia kepada struktur dan dialog naskah asli. Pertunjukannya berjalan hampir dua setengah jam. Konteks sejarah Indonesia dihadirkan lewat pendekatan artistik dengan menghamparkan potongan koran berisi berita tentang peristiwa 1998 di seluruh lantai panggung. “Awalnya saya ingin mengedit naskah agar lebih singkat,” kata Heliana. “Tapi, setelah reading pertama, saya dan tim memutuskan untuk menampilkan penuh karena menilai setiap bagian dalam naskah adalah hal penting.”

Sutradara Ruth Marini (kiri). Dok. Pribadi
Sutradara Heliana Sinaga (tengah). Tempo/Prima Mulia
Sutradara Ramdiana (kanan). Dok. Pribadi

Agnes Christina menghadirkan nuansa yang sama sekali berbeda dengan membawakan naskah ini ke latar terbuka bersiram cahaya. Pertunjukan ini terasa paling tak meledak-ledak. Memori kekerasan hadir dalam simbol tak terduga, sebuah semangka yang dibelah lalu dilahap hingga habis. “Mungkin karena latar belakang saya sebagai keturunan Tionghoa yang banyak mengalami diskriminasi. Sebagai minoritas, saya melihat tidak ada harapan, maka pilihan kami adalah diam, tak usah cari ribut, dan menelan saja semuanya,” ujar Agnes.

Sebaliknya, adegan interogasi pada pentas Ramdiana justru begitu intens dan mencekam. Terasa bahwa ingatan akan kekerasan masih pekat sekali dalam memori orang Aceh. Dalam naskah, Teigen hanya menetapkan pertanyaan dan membebaskan jawaban sesuai dengan situasi di tempat pementasan naskah. Tanpa terlalu kentara, Ramdiana memasukkan konteks tragedi berdarah yang tak pernah diusut di Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA) pada 3 Mei 1999 tatkala pasukan militer menembaki warga yang sedang berunjuk rasa. Sebanyak 46 warga sipil tewas. Pemicu demonstrasi itu adalah penganiayaan warga empat hari sebelumnya di Desa Cot Murong, Lhokseumawe. Anggota Tentara Nasional Indonesia menyisir rumah serta menginterogasi dan menyiksa warga karena mencurigai persiapan peringatan 1 Muharram sebagai rapat Gerakan Aceh Merdeka. Nama-nama daerah ini muncul dalam dialog pentas Ramdiana. “Naskah ini adalah cerita yang saya alami juga dan sebenarnya saya sangat ingin melupakan trauma itu,” ucap Ramdiana. “Tapi saya pikir cerita ini harus disampaikan dalam bentuk pertunjukan seni agar generasi muda tahu sejarah yang pernah kita alami.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus