Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUKU-BUKU puisi yang terbit sepanjang 2020 masih mempertahankan watak puisi sebagai pernyataan autobiografis penyair. Penyair memasang kembali alter egonya, yakni “aku”, untuk menyatakan keharuannya terhadap keindahan alam, kemegahan kota, kecantikan perempuan (karena sesungguhnya si penyair adalah laki-laki), keagungan cinta, juga upaya penyair mengangkat kembali derita manusia, ketidakadilan gender, kerusakan alam, dan kehancuran dunia sebagai tema puisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati demikian, beberapa di antaranya, dengan watak autobiogafis yang telah menjadi mapan itu, masih mampu memperbarui pengucapannya. Penyair mempertaruhkan lagi keperajinannya untuk membuat puisi layak dibaca, lagi dan lagi. Maka bertemulah kita dengan puisi Indonesia yang berusaha mempertanyakan kembali bukan hanya hakikat puisi, sehingga kita mendapatkan anti-puisi, tapi juga bagaimana sejarah pribadi ditafsirkan kembali dan bagaimana penyair memandang masa depan manusia—dengan model peran dirinya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itulah yang ditunjukkan oleh dua buku puisi pilihan Tempo tahun ini: Prometheus Pinball (Reading Sideways Press, 2020) karya Afrizal Malna dan mBoel (Gramedia Pustaka Utama, 2020) karya Sapardi Djoko Damono.
Promotheus Pinball karya Afrizal Malna. Istimewa
Ketimbang memilih fiksi autobiografis atau memoar, Afrizal Malna memilih puisi naratif yang sejauh ini sangat mengandalkan jukstaposisi, montase, sinestesia sehingga puisinya menjelma menjadi dunia “Alice-di-dalam-lubang-kelinci” dan menantang pembaca keluar dari zona nyaman puisi Indonesia modern. Puisi-puisinya adalah museum teks yang bergerak bolak-balik antara nalar sastra dan seni rupa, pesona ensiklopedia dan fiksi surealis, kecomelan seorang juru cerita dan kediam-bisuan seorang petapa. Serangkaian upaya melarikan diri dari “rumah penjara bahasa”, tapi selalu tersurung kembali kepadanya.
Menggunakan sejumlah arsip dan lapis-lapis ingatan, Prometheus Pinball mencoba merekonstruksi sejarah pribadi sang penyair—dengan pembabakan per satu dasawarsa—di samping mencari keselarasannya dengan sejarah Kota Jakarta dan kronik dunia. Tentu saja ada persoalan: apa urgensinya seorang penyair memasukkan sejarah pihak lain ke bangunan puisinya.
Namun, di tengah arus puisi yang masih mempertahankan keharuan pribadi penyair dan sikap romantis terhadap alam dan manusia, proyek penulisan puisi seperti ini layak dipujikan. Puisi-puisi dalam Prometheus Pinball dikerjakan dengan semangat riset, mempertajam fokus perhatian kepada sejarah, dan selalu menempatkan “aku” dalam tegangannya dengan massa, di tengah sejarah, dan kaitan indeksikal di antara keduanya. Dari situlah ia kemudian menurunkan penafsirannya—betapapun naifnya—tentang dirinya dan dunia.
Prometheus Pinball adalah dunia manusia dan benda-benda yang berantakan, sebuah karnaval yang anarkistis, dan tidak ada seorang pun juru selamat yang datang untuk membereskannya—dan memang tidak perlu. Subyek liriknya telah kehilangan heroisme, lantas menjelma menjadi subyek androginis yang berusaha mencari titik aman dalam tegangan antara dunia laki-laki dan perempuan. Puisi “Penggusuran Hari Esok”, misalnya, melukiskan bagaimana sosok androginis itu mencoba melawan—dan kalah—dan tetap berusaha mengaitkan dirinya dengan perkembangan Jakarta dan dunia. Perlawanannya itu memberi kita keharuan yang tak bisa hilang, seperti sihir buku Tabanas untuk anak sekolah dari generasi 1970-an.
Sementara itu, dalam puisi-puisi yang lain rekonstruksi sejarah pribadi mulai ditinggalkan, sepenuhnya beralih ke sejarah dunia. Misalnya tentang seorang anak balita Sudan yang sekarat dan seekor burung nasar, wabah AIDS, runtuhnya Tembok Berlin, pembebasan Nelson Mandela, meluasnya penggunaan Internet, anjloknya nilai sejumlah mata uang di Asia Tenggara, hingga kejatuhan Soeharto. Puisi belum kehilangan semangatnya untuk mengatakan apa saja yang tidak berkaitan satu sama lain. Ia, sebagaimana larik puisi “Hidangan Tubuh Mutan”, adalah “tubuh mutan yang terus bermutasi dalam bahasa”.
Dengan strategi seperti itu, Afrizal menempatkan puisi sebagai proses pembaruan bahasa, hendak menjangkau yang abadi di antara yang centang-perenang, menghindar secara lincah dari kesatu-paduan pandangan dunia. Puisi adalah representasi dari ketercerai-beraian dunia dan penyair senantiasa memunguti kembali apa-apa yang dianggap berharga dan mengawetkannya dalam museum teks yang terus membesar koleksinya. Dia menjadi sekadar pemulung teks, tapi justru di situlah ia mempertaruhkan keperajinannya.
•••
SAPARDI Djoko Damono mencapai kematangan dan kemapanan pengucapannya sebagai penyair melalui puisi lirik, puisi imajis, dan puisi-prosa. Sementara puisi liriknya diklaim sebagai perkembangan lanjutan dari tradisi puisi lirik Amir Hamzah, puisi imajis dan puisi-prosa adalah genre puisi yang relatif baru—terutama dalam khazanah puisi Indonesia modern—yang ia perkenalkan pada 1970-an. Setelah lebih dari 40 tahun, ia kembali mengujicobakan bentuk-bentuk itu dalam mBoel, buku puisinya yang terbit secara anumerta, sebulan setelah ia berpulang pada 19 Juli 2020.
Puisi-puisi dalam mBoel adalah tribute untuk istrinya, Sonya Sondakh, yang akrab ia panggil “mBoel”. Delapan puluh puisinya dalam buku ini adalah catatan harian tanpa judul dan titimangsa, yang mencoba keluar dari perangkap ruang dan waktu, dari terungku rutinitas kehidupan domestik. Meskipun memotret pasang-surut hubungan suami-istri, ia sebenarnya sedang membicarakan segi-segi paling subtil dari semua itu. Hidup sehari-hari adalah meditasi panjang untuk mencapai pencerahan. Hubungan suami-istri hanyalah titik berangkat untuk menegaskan hakikat hidup manusia dalam prinsip sangkan paraning dumadi.
Sementara Afrizal masih mencoba mencari keselarasan antara sejarah pribadi dan sejarah kota atau dunia, Sapardi justru mengosongkan puisinya dari ambisi seperti itu. Dia hendak mencapai keheningan dari pelbagai derau yang ia temukan sepanjang “perjalanan tanpa rencana”, di balik “hablur rintih gerimis”, sebagaimana “gedebok pisang di bawah kelir yang sia-sia menunggu tembang terakhir”, karena ia sepenuhnya sadar bahwa “masih ada yang menunggu di balik bianglala”.
mBoel, karya Sapardi Djoko Damono. Istimewa
Sapardi adalah seorang tukang yang piawai menggunakan aneka perkakas yang selama ini intim dengannya. Dalam hal ini, ia membagi narator puisinya menjadi dua, yang mewakili dua kecenderungan stereotipe suami-istri, lelaki-perempuan. Ujaran “Be” dalam cetak tegak, “mBoel” dalam cetak miring. Jika yang pertama berusaha serius, yang kedua membuyarkannya. Jika yang pertama hendak mencapai hakikat kepuisian, yang kedua membatalkannya terus-menerus, menariknya kembali ke realitas hidup sehari-hari.
Ini sebenarnya sebuah strategi penempatan puisi pada tegangannya yang lain. Bukan dengan prosa atau karya sastra lain atau karya seni lain, tapi dengan kehidupan sehari-hari. Jika puisi mencoba mereguk keheningan samadi, ia harus mencapainya melalui laku mengalami problem keseharian: penyakit, kemiskinan, absurditas hidup. Konon, dari laku mengalami yang ikhlas dan rendah hati, sumeleh, akan tercapai pencerahan.
Budayawan sekaligus sastrawan, Sapardi Djoko Damono, saat ditemui di Institut Kesenian Jakarta, 28 Oktober 2015. TEMPO/STR/M. Iqbal Ichsan
Dari segi bentuk, tentu saja, dalam mBoel kita masih bisa menemukan apa-apa yang terbaik dari Sapardi selama ini. Kemampuannya memadatkan puisi dalam ekspresi imajistis membuat puisi-puisinya menjelma menjadi puisi suasana yang nyaris tanpa tanding, sebagaimana diungkapkan dalam puisi ke-17. Ia juga masih memberi kita puisi-prosa yang penuh dengan susupan ragam bahasa cakapan, bahkan selipan “monolog interior”, sebagaimana dalam puisi ke-7 dan ke-76.
•••
SAPARDI dan Afrizal telah membuktikan bahwa kemapanan bisa membahayakan, tapi selalu ada jalan untuk memperbarui semua itu. Mereka seakan-akan berbagi tugas antara ia yang bertahan dalam konvensi dan ia yang senantiasa ingin mendobraknya. Tapi posisi itu sebenarnya tidak pernah stabil. Masing-masing punya cara sendiri untuk mengembalikan pesona puisi yang terus-menerus dicoba-hapuskan oleh pelbagai kekuatan di sekitarnya. Mereka telah mengerjakan puisi dengan iman yang keras kepala.
Bagi kami, kemenangan mereka kali ini adalah kemenangan puisi—bahkan sastra Indonesia—sepanjang tahun yang baru berlalu.
ZEN HAE, PENGAMAT SASTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo