ORANG Pekalongan (Ja-Teng) jarang santai. Waktu senggang mereka biasanya diisi dengan pekerjaan lain untuk menambah penghasilan pokok. Jenis pekerjaan mereka pun bervariasi. Ada petani, buruh, nelayan, pedagang, pegawai negeri. Dan ternyata tidak semua penduduk yang berjumlah 630 ribu lebih itu orang pesisir melulu. Artinya menyebar di pantai, daratan, pedalaman dan pegunungan. Itulah alasan utama mengapa pimpinan AIS (Akademi llmu Statistik) Jakarta memilih kabupaten tersebut sebagai obyek survei tentang penggunaan waktu lselama 24 jam) dan keadaan sosial bagi penduduk pedesaan berumur 10 tahun ke atas. Survei yang baru pertama kali dilangsungkan di Indonesia itu dilaksanakan 48 mahasiswa AIS tingkat III, atas biaya UNDP (United Nations Development Program). AIS sendiri berada di bawah Pusat Pendidikan dan Latihan Statistik dari Biro Pusat Statistik (BPS). Tujuan survei ini selain sebagai latihan dan kerja praktek mahasiswa juga untuk mencari metoda yang baik untuk survei yang sesungguhnya. "Dengan keaneka-ragaman pekerjaan serta tempat tinggal seperti di Kabupaten Pekalongan, diharapkan bisa diperoleh perbandingan penggunaan waktu dan kehidupan sosial masing-masing kelompok," kata Drs. Moh. Hasan, direktur AIS. Dari 16 kecamatan dan 1.003 desa di Pekalongan, hanya 13 kecamatan (meliputi 24 desa) yang dijadikan contoh dengan menggunakan kerangka blok sensus penduduk 1980. Dari 24 desa tadi, diambil 2 blok sensus. Dan dari masing masing blok dipilih 14 rumah-tangga. Dengan begitu setiap mahasiswa dapat mensurvei 14 rumahtangga tersebut. Selain wawancara pengumpulan bahan dilakukan dengan cara mengisi daftar pertanyaan dan pengamatan. "Tigatiganya dipakai, untuk mengetahui yang mana cara terbaik dan cocok untuk Indonesia," kata Moh. Hasan. "Cara pengamatan yang paling sensitif, terutama kalau seorang mahasiswa harus memperhatikan seorang wanita pergi ke sungai. Padahal pengamatan itu perlu untuk mengetahui berapa lama perempuan itu di sungai, apa yang dikerakannya, dsb." Penggunaan waktu yang ingin diketahui itu meliputi waktu buat tidur, mengurus diri-sendiri, merapikan rumah, beribadat, belajar, kegiatan sosial, membaca, berobat dan sebagainya. Ditanyakan pula berapa kali dalam setahun penduduk pedesaan menggunakan fasilitas umum seperti tempat rekreasi. Salah seorang mahasiswa yang turut dalam survei tersebut adalah Satrio Nugroho, mahasiswa tugas belajar dari Dinas Kesehatan DKI di AIS. Ia tinggal di Desa Tajur Kecamatan Kandangserang, di lereng pegunungan pada ketinggian 500 meter dari permukaan laut. Menurut pengamatan Satrio, umumnya penduduk Tajur enggan menganggur. Watram misalnya yang menanggung seorang istri, seorang ibu dan 6 anak. Istrinya berjualan sayur keliling kampung, ibunya yang sudah tua membuka warung di rumah, 3 anaknya membantu mengerjakan sawah 1 1/2 hektar, atau mencari rumput buat ternak. Dengan penghasilan kolektif itu mereka mampu mengirim biaya Rp 30.000 sebulan buat anak sulung yang belajar di STM Magelang. Malam hari, orang orang Tajur biasanya mendengarkan radio. Mereka menyukai dagelan dari RRI Purwokerto yang dimainkan oleh Peang & Penjol yang berisi pendidikan masyarakat. Mereka juga mendapat manfaat dari siaran pedesaan RRI. Hasilnya antara lain mereka sudah bisa memelihara tanaman cengkih. Perpustakaan desa memang belum dimanfaatkan, tapi koran-koran yang ditempel di balai desa biasanya dibaca oleh para guru SD. Mereka Sibuk Menurut Bupati Pekalongan, Karsono, orang Pekalongan biasanya memang "tak suka diam", misalnya kalau dibandingkan dengan masyarakat Banyumas, tempat asal Karsono. "Orang Banyumas lebih bersahaja, tidak berusaha menggunakan waktu luangnya untuk kerja sambilan untuk menambah penghasilan," katanya. "Orang Pekalongan biasanya suka dagang. Misalnya siangbekerja di kabupaten, sorenya dagang sarung." Keadaan warga desa yang diteliti banyak menyulitkan mahasiswa-mahasiswa AIS. Terutama karena tidak semua responden bisa membaca dan menulis, hingga survei harus dilakukan dengan wawancara. "Wawancara itupun tidak bisa dilakukan setiap waktu, sebab mereka sibuk bekerja," kata Suhardiman, mahasiswa tugas belajar dari Bidang Material Markas Besar Angkatan Laut. Di Desa Bandengan Kecamatan Tirtosari yang berpenduduk lebih dari 3.000 jiwa misalnya. Di tempat ini, Suhardiman baru bisa menemui responden setelah waktu magrib atau pagi sekali sebelum mereka berangkat bekerja. Warga Bandengan kebanyakan bekerja sebagai buruh perusahaan batik dengan jam kerja dari pagi hingga sore. Petaninya pun, kalau sedang tidak musim panen, hampir tak ada yang menganggur. Umumnya mereka bekerja sambilan sebagai pengolah tanaman melati--bahan pengharum teh. "Sehari penuh mereka bekerja di kebun, sebab melati setiap hari harus dipetik dan tanahnya didangir," tutur Kepala Desa Bandengan, Moh. Alwi. Tapi di malam hari, masih banyak penduduk tandengan yang belum memanfaatkan waktu senggangnya. "Maksud saya belum ada misalnya yang berusaha dagang kecil kecilan," kata Alwi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini