Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RENCANA Handy Hartono, Jumat pagi dua pekan lalu, ambyar seketika. Perancang busana papan atas itu kaget bukan kepalang begitu membuka pintu rumahnya di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Air setinggi satu meter menggenangi area sekitar rumahnya. Untuk mengantarkan pesanan pelanggan tepat waktu, hari itu ia menggunakan angkutan gerobak.
Meski begitu, gerobak tentu tak menjamin semua pesanan bisa sampai tepat waktu. Kerugian langsung membayang. ”Kirakira Rp 100 juta,” kata anggota Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia itu.
Itu baru soal baju pesanan. Belum lagi kerugian dari butik miliknya di Mal Kelapa Gading. Sejak bah melimpah, pusat pertokoan itu ditutup. Akibatnya, omzet Rp 3050 juta yang biasa diraupnya per bulan bisa dipastikan menguap. Bahkan impian untuk memamerkan karyanya di panggung internasional, Maret mendatang, pun naganaganya bakal ikut buyar. Tak cukup waktu untuk mempersiapkannya.
Handy adalah potret buram pelaku usaha di Kelapa Gading, kawasan investasi strategis di Jakarta, yang lumpuh total akibat banjir. Kawasan permukiman yang antara lain dikembangkan PT Summarecon Agung sejak 1976 ini memang dikenal sebagai kawasan bisnis yang menjanjikan. Segala jenis usaha berserak di sana. ”Kawasan ini menarik untuk investasi,” kata Direktur Utama Summarecon Johanes Mardjuki berpromosi.
Summarecon merupakan pengembang terbesar kawasan ini. Dari 1,6 hektare total area di Kecamatan Kelapa Gading, 500 hektare dikelola oleh grup ini. Tak kurang dari 25 ribu rumah tinggal dan 2.000 rumah kantor berjejal di sana. Sentra bisnis kawasan ini bertumpu pada tiga Mal Kelapa Gading dan La Piazza, yang terdiri atas 600 gerai—semuanya penuh terisi.
Sejak hari pertama banjir, hampir 90 persen kawasan emas ini tergenang air. Bisa dibayangkan berapa besar kerugian ekonomi yang diderita. Perputaran uang di Kelapa Gading mencapai Rp 68 miliar per hari,” kata Johanes. Salah satunya berasal dari omzet penjualan 600 gerai di sentra bisnis tadi, yang mencapai Rp 25 juta per hari.
Sumbangan terbesar lain berasal dari perputaran uang di unitunit usaha di luar sentra bisnis, seperti bursa mobil dan restoran di sepanjang jalan pusat komersial. ”Yang kami pikirkan ke depan, bagaimana dampak citra Kelapa Gading sebagai kawasan bisnis,” ujar Johanes cemas.
Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Lihat saja kerugian yang diderita Natalie, pemilik Rumah Makan Ko Seng di Jalan Boulevard Raya. Air bah merusak dua cabang restorannya. Omzet Rp 80 juta per hari pun ikut hanyut selama restoran ditutup. Meski begitu, ia tak kapok berusaha di sana—walaupun tak mau lagi menetap di kawasan itu. ”Untuk usaha, saya tidak bakal pindah,” katanya.
Nasib tak jauh berbeda dialami para pelaku industri otomotif di kawasan Sunter, yang bertetangga dengan Kelapa Gading. Perusahaan agen tunggal pemegang merek, seperti Daihatsu, Honda, dan Toyota, yang memiliki pabrik di kawasan itu terpaksa berhenti berproduksi garagara air menggenang setinggi satu meter.
Menurut Direktur Pemasaran Toyota Astra Motor Joko Trisanyoto, produksi unit kendaraan dihentikan sementara karena tidak ada pasokan komponen. Akibatnya, tak ada kegiatan penjualan. Padahal pasar domestik mampu menyerap 500 unit mobil setiap hari. Ekspor mobil Avanza dan Innova pun tak bisa dilakukan. Padahal biasanya tiap bulan 2.000 unit dikirim ke Thailand, Filipina, dan Timur Tengah.
Sentra ekonomi penting di Jakarta Utara yang juga terpukul adalah Pelabuhan Tanjung Priok. Kemacetan proses eksporimpor di kawasan ini berefek fatal. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi memperkirakan kerugian pengusaha mencapai Rp 1 triliun. ”Ini akibat biaya tambahan pelabuhan karena barang tak bisa dibongkarmuat serta ditolaknya barang ekspor karena terlambat datang,” ujarnya.
Begitulah, banjir telah merontokkan sendisendi perekonomian Ibu Kota dalam dua pekan terakhir. Para pengelola perusahaan swasta dan negara pun sibuk menghitung kerugian. Direktur PLN Eddie Widiono memperkirakan perusahaannya kehilangan potensi pendapatan Rp 17 miliar per hari akibat pemadaman listrik di sejumlah wilayah Jakarta yang terendam banjir.
Jika dibandingkan dengan 2002, dampak banjir kali ini lebih parah. Lihat saja kalkulasi Frans Y. Sahusilawane. Menurut Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia ini, jumlah klaim yang harus ditanggungnya dua kali lebih besar ketimbang banjir lima tahun lalu, yang hanya US$ 200 juta. Klaim terbesar datang dari sektor pabrik dan bangunan komersial.
D.A. Candraningrum, Eko Nopiansyah, Suryani Ika Sari, Ewo Raswa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo