Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Air Menguras Sampai Jauh

Sentra ekonomi Ibu Kota porakporanda dihantam banjir. Kerugian triliunan rupiah. Kawasan Jakarta Utara terparah.

12 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RENCANA Handy Hartono, Jumat pagi dua pekan lalu, ambyar seketika. Perancang busana papan atas itu kaget bukan kepalang begitu membuka pintu rumahnya di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Air setinggi satu meter menggenangi area sekitar rumahnya. Untuk mengantarkan pesanan pelanggan tepat waktu, hari itu ia mengguna­kan angkutan gerobak.

Meski begitu, gerobak tentu tak menjamin semua pesanan bisa sampai tepat waktu. Kerugian langsung membayang. ”Kirakira Rp 100 juta,” kata anggota Asosiasi Perancang Pengusaha Mode ­Indonesia itu.

Itu baru soal baju pesanan. Belum lagi kerugian dari butik miliknya di Mal ­Kelapa Gading. Sejak bah melimpah, pusat pertokoan itu ditutup. Akibatnya, omzet Rp 3050 juta yang bia­sa diraupnya per bulan bisa dipastikan ­menguap. Bahkan impian untuk mema­merkan karyanya di panggung inter­nasional, Maret mendatang, pun naganaganya bakal ikut buyar. Tak cukup waktu untuk mempersiapkannya.

Handy adalah potret buram pelaku usa­ha di Kelapa Gading, kawasan inves­tasi strategis di Jakarta, yang lumpuh to­tal akibat banjir. Kawasan permukiman yang antara lain dikembangkan PT Sum­marecon Agung sejak 1976 ini memang dikenal sebagai kawasan bisnis yang menjanjikan. Segala jenis usaha ber­serak di sana. ”Kawasan ini menarik un­tuk investasi,” kata Direktur Utama Summa­recon Johanes Mardjuki berpromosi.

Summarecon merupakan pengembang terbesar kawasan ini. Dari 1,6 hektare total area di Kecamatan Kelapa Gading, 500 hektare dikelola oleh grup ini. Tak kurang dari 25 ribu rumah tinggal dan 2.000 rumah kantor berjejal di sana. Sentra bisnis kawasan ini bertumpu pada tiga Mal Kelapa Gading dan La Piazza, yang terdiri atas 600 gerai—semuanya penuh terisi.

Sejak hari pertama banjir, hampir 90 persen kawasan emas ini tergenang air. Bisa dibayangkan berapa besar kerugian ekonomi yang diderita. Perputaran uang di Kelapa Gading mencapai Rp 68 miliar per hari,” kata Johanes. Salah satunya berasal dari omzet penjualan 600 gerai di sentra bisnis tadi, yang mencapai Rp 25 juta per hari.

Sumbangan terbesar lain berasal dari perputaran uang di unitunit usaha di luar sentra bisnis, seperti bursa mobil dan restoran di sepanjang jalan pusat komersial. ”Yang kami pikirkan ke depan, bagaimana dampak citra Kelapa Gading sebagai kawasan bisnis,” ujar Johanes cemas.

Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Lihat saja kerugian yang diderita Na­talie, pemilik Rumah Makan Ko Seng di Jalan Boulevard Raya. Air bah merusak dua cabang restorannya. Omzet Rp 80 juta per hari pun ikut hanyut selama restoran ditutup. Meski begitu, ia tak kapok berusaha di sana—walaupun tak mau lagi menetap di kawasan itu. ”Untuk usaha, saya tidak bakal pindah,” kata­nya.

Nasib tak jauh berbeda dialami para pe­­laku industri otomotif di kawasan Sun­­ter, yang bertetangga dengan Kelapa Gading. Perusahaan agen tunggal­ ­pe­me­gang merek, seperti Daihatsu,­ ­Honda, dan Toyota, yang memiliki pabrik di kawasan itu terpaksa berhenti berproduksi garagara air menggenang setinggi satu meter.

Menurut Direktur Pemasaran Toyota Astra Motor Joko Trisanyoto, produksi­ unit kendaraan dihentikan sementa­ra karena tidak ada pasokan komponen. Akibatnya, tak ada kegiatan penjual­an. Padahal pasar domestik mampu menye­rap 500 unit mobil setiap hari. Ekspor mobil Avanza dan Innova pun tak bisa dilakukan. Padahal biasanya tiap bulan 2.000 unit dikirim ke Thailand, Filipina, dan Timur Tengah.

Sentra ekonomi penting di Jakarta Utara yang juga terpukul adalah Pela­buhan Tanjung Priok. Kemacetan pro­ses eksporimpor di kawasan ini berefek fatal. Ketua Asosiasi Pengusaha Indone­sia Sofjan Wanandi memperkirakan ke­rugian pengusaha mencapai Rp 1 triliun­. ”Ini akibat biaya tambahan pelabuhan karena barang tak bisa dibongkarmuat serta ditolaknya barang ekspor karena terlambat datang,” ujarnya.

Begitulah, banjir telah merontokkan sendisendi perekonomian Ibu Kota dalam dua pekan terakhir. Para pe­ngelola perusahaan swasta dan negara pun sibuk menghitung kerugian. Direktur PLN Eddie Widiono memperkirakan perusahaannya kehilangan potensi pen­dapatan Rp 17 miliar per hari akibat pe­madaman listrik di sejumlah wilayah Jakarta yang terendam banjir.

Jika dibandingkan dengan 2002, dampak banjir kali ini lebih parah. Lihat saja kalkulasi Frans Y. Sahusilawane. Menurut Ketua Umum Asosiasi Asu­ransi Umum Indonesia ini, jumlah klaim yang harus ditanggungnya dua kali le­bih besar ketimbang banjir lima tahun lalu, yang hanya US$ 200 juta. Klaim terbesar datang dari sektor pabrik dan bangunan komersial.

D.A. Candraningrum, Eko Nopiansyah, Suryani Ika Sari, Ewo Raswa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus