Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM gendongan ibunya, Romi Saputra menggigil. Sudah dua hari bocah empat tahun ini didera demam dan panas tinggi. Kesehatan Romi memburuk selama berada di pengungsian bersama korban banjir lain di kawasan Petamburan, Jakarta Pusat, Jumat dua pekan lalu.
Lia, sang ibu, akhirnya membawa Romi ke Rumah Sakit Pelni Petamburan keesokan harinya. Dia berharap anak tunggalnya segera diobati. Melihat kondisi Romi, petugas rumah sakit menyarankan bocah itu dirawat di rumah sakit. Uang Rp 250 ribu harus disetorkan sebagai jaminan.
Segera, tubuh Lia ikut menggigil. Dia memohon anaknya diobati saja karena uang di kantongnya tinggal Rp 120 ribu. Petugas memaksa Romi tetap dirawat dan soal kekurangan uang bukan masalah. Setelah Lia menyerahkan semua uangnya, Romi dibawa ke ruang perawatan. Jarum infus dipasang ke lengan bocah yang belum sembuh benar dari sakit campak seminggu sebelumnya itu.
Kepala Divisi Pelayanan Rumah Sakit Pelni dokter Sulastri mengaku, Lia membawa anaknya sudah dengan badan membiru. Dia membantah petugasnya menagih uang jaminan. ”Sesuai dengan prosedur rumah sakit, biaya ditagih setelah perawatan selesai,” kata Sulastri. Itu pun, kata Sulastri, karena surat edaran pembebasan biaya pengobatan bagi korban banjir dari Departemen Kesehatan baru beredar dua hari kemudian.
Selama menemani anaknya, Lia terus berpikir ke mana mencari kekurangan biaya perawatan rumah sakit. Dia tak lagi punya uang. Sejak suaminya meninggal tiga tahun lalu, dia menumpang di rumah mertuanya di lorong sempit Gang Petamburan II, Tanah Abang. Rumah kayu berlantai dua itu dijejali 12 anggota keluarga. Untuk hidup, Lia mencuci pakaian tetangga dengan hasil yang tidak menentu. Sesekali dia membantu mertuanya, yang menjadi buruh jahit untuk menghidupi delapan adik iparnya.
Saat banjir datang, air terus merangkak naik hingga lantai atas. Penghuni rumah memilih mengungsi, pagi itu. Lia mencomot baskom plastik dan meletakkan Romi di atasnya. Selembar baju dan tiga potong celana Romi sempat pula dia bawa. Dalam guyuran hujan, Lia berenang menyeberangi banjir sambil mendorong baskom itu. Romi terus terdiam.
”Besok Minggu kita jalanjalan ke mal, ya?” kata Lia menghibur anaknya. Romi sempat tersenyum. Namun tubuhnya menggigil dengan baju yang basah oleh hujan. Mereka akhirnya sampai di Masjid AlIslam Petamburan, 500 meter dari rumahnya. Di sana sudah berkumpul sekitar 400 pengungsi lain.
Lia menggendong Romi ke sebuah ruangan berukuran empat kali empat meter di depan kamar mandi masjid. Bau pesing membungkus ruangan yang dijejali sekitar 50 orang itu. Suhu tubuh Romi merambat naik. Lia membawanya ke Puskesmas Tanah Abang. Obat penurun panas dan antibiotik dari puskesmas tidak juga meredakan demam si buah hati.
Malam itu, Romi terbaring lemas di atas tikar berselimut kain. Semua makanan yang disuapkan ditolaknya. Romi sempat meminta susu, tapi minuman itu tak tersedia. Malam itu, di pengungsian, sang ibu hanya bisa memberikan segelas air putih.
Demam Romi yang makin tinggi membuat Lia nekat membawanya ke Rumah Sakit Pelni. Namun tubuh Romi terus melemah meski cairan infus sudah 30 menit mengalir di tubuhnya. Romi menatap sayu ke arah mata ibunya. ”Mana yang sakit?” tanya Lia sambil terisak. Tangan kecil Romi merayap ke perut dan kepala.
Lia tenggelam dalam tangis. Dia dekati wajah sang bocah, lalu dia cium pipinya. Mulutnya berbisik lirih ke arah telinga Romi. Lia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Beberapa saat kemudian, dia merasakan napas Romi berhenti. Mata Lia berkunangkunang. Ia pingsan. Malaikat menjemput Romi pergi bersama anganangan jalanjalan ke mal. Romi adalah satu dari 55 korban tewas dalam banjir Jakarta tahun ini.
Tapi masalah belum selesai. Untuk menguburkan jasad balita itu, pengurus Pemakaman Karet, Jakarta Pusat, membebankan biaya Rp 590 ribu. Lia kalut. Tak ada lagi uang yang tersisa. Dibantu mertuanya, ia mengumpulkan sumbangan dari tetangga yang masih di pengungsian. Uang Rp 150 ribu yang terkumpul hanya cukup untuk membayar ongkos penggali kubur. Sisanya masih utang.
Cerita sedih Lia cepat menyebar. Entah siapa yang melaporkan, seorang pegawai pemerintah daerah DKI Jakarta mendatanginya di pengungsian, sore itu. Sang pegawai menyerahkan uang Rp 500 ribu untuk biaya pemakaman. Di negeri yang jauh, Romi tenang dalam tidur panjangnya.
Sunariah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo