Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sehelai surat izin tergeletak di atas mejanya. Garundono, Kepala Badan Pengelola Lingkungan Pluit, tersentak. Hanya dalam waktu tiga bulan, nasib ruang hijau di tepi Waduk Pluit Jakarta Utara sudah berubah dua kali. Awalnya ada sebuah mimpi indah untuk membangun sebuah restoran dan driving range di kawasan yang seharusnya menjadi daerah resapan air itu.
Belum sempat keduanya dibangun, surat berikutnya menyusul: di lahan itu akan berdiri fantasi semua pengusaha Jakarta: pusat perbelanjaan! Yeah, apalagi kalau bukan tempat belanja mewah.
Reaksi Garundono saat itu? Memang, saat itu dia menjabat sebagai Kepala Badan Pengelola Lingkungan Pluit dan dia mengaku ingin kawasan itu tetap hijau. Tapi, apa daya, ”Atasan memerintahkan diteruskan,” ungkapnya. Pada 1993, citacita itu terwujud: sebuah megamal berdiri. Dan banjir di Pluit menghebat.
Pluit cuma satu contoh dari puluhan kawasan terbuka yang dulu menjadi daerah resapan air dan taman kota. Sehelai Jakarta kini memang sudah habis dilibas oleh malmal atau gedung. Garagara hasrat yang terpacu untuk menggemukkan kantong dan tak peduli dengan jeroan tubuh kota Jakarta, maka babak belurlah ibu kota ini. Bayangkan, menurut hasil penelitian Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan, Universitas Trisakti, 2003, yang menyimpulkan ruang terbuka hijau Jakarta hanya tersisa 9,12 persen atau 6.900 hektare.
Tapi, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso punya pandangan lain. ”Penduduk Jakarta bertambah terus, setiap tahun sekitar 250 ribu. Kalau Anda punya tanah, kan tidak mungkin saya larang untuk membangun rumah,” katanya. ”Yang mungkin adalah kami batasi penggunaannya,” Menurut Gubernur, ruang terbuka hijau di Jakarta saat ini ada sekitar 14 persen. Kekacauan ini ditambah dengan buruknya drainase yang tak memiliki sistem pembuangan air hujan. Hasby Azis dari Walhi Jakarta menuding hilangnya ruang hijau itulah yang menyebabkan semakin parahnya dampak banjir di Jakarta.
Garundono yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Komite Evaluasi Lingkungan Kota mengatakan, pembangunan di Jakarta memang tak ditata serius. Komite yang dibentuk dengan surat keputusan Gubernur DKI Jakarta itu pernah menyatakan desain tata ruang di Jakarta hanya memihak kepentingan ekonomi, dan mengabaikan pertimbangan sosial dan lingkungan. Ia menyebut contoh pertambahan luas pertokoan di Jakarta sejak era Pasar Sarinah 1962 hingga 1998 hanya seluas 1,5 juta meter persegi. ”Lima tahun sesudahnya menjadi tiga juta meter persegi,” ungkapnya.
Dalam Rencana Induk Djakarta 19651985 yang disusun semasa pemerintahan Gubernur Soemarno, kota metropolitan ini menargetkan 37,2 persen kawasannya untuk ruang terbuka yang akan menjadi taman, lapangan bermain, dan hutan kota (RTH). Artinya, dengan luas Jakarta 66.152 hektare, ruang terbuka itu akan setara dengan 24.608 hektare, luas yang ideal untuk calon kota metropolitan saat itu. Penetapan itu sebetulnya jauh mendahului hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro pada 1992 yang menyebut angka 30 persen sebagai persentase minimal ruang terbuka hijau untuk kategori kota yang sehat.
Pemerintah Daerah Jakarta rupanya punya pendapat lain. Pada 1984, mereka menyusun lagi Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985–2005, dan menyusutkan kawasan resapan air itu hingga tinggal 25,85 persen. Angka ini pun masih cukup ideal, tak terlalu jauh dari 30 persen. Celakanya, belum habis masa berlaku RUTR itu, Pemda kembali melakukan revisi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2000–2010 dengan menyisakan ruang terbuka hijau hanya 13,94 persen. Tapi angkaangka yang mengecil itu pun cuma macan kertas.
Beberapa lokasi ruang terbuka hijau yang diselidiki Tempo telah berubah menjadi pusat perdagangan dan perumahan. Menelisik tahuntahun perubahan itu, tentu saja terjadi sebuah revisi tata ruang yang dilakukan belakangan, setelah lahannya dialihkan terlebih dulu, atau malah sudah selesai dibangun saat revisi berlangsung. Sebut saja kawasan hijau Taman Anggrek di Jakarta Barat yang berubah menjadi mal dan apartemen pada 1994. Lalu kawasan Pulomas, yang menurut tata ruang di era Gubernur Soemarno dan Ali Sadikin masuk kategori kawasan terbuka hijau, tibatiba tahun lalu berganti apartemen yang dikerjakan oleh anak perusahaan PT Jakarta Properti, milik Pemda Jakarta.
Pemakaman Blok P di Jakarta Selatan, yang tergolong ruang tertutup hijau, disulap menjadi kantor wali kota yang sangat megah dan luas. Kawasan hijau Gelora Bung Karno kini tidak rindang oleh pohon, melainkan oleh dua hotel berbintang lima dan beberapa pusat perbelanjaan yang menggapai langit.
Bintang A. Nugroho, penasihat Ikatan Arsitek Lansekap Indonesia, mengakui bahwa lembaganya sering diminta pendapat oleh Pemda Jakarta tentang pengembangan kota. Tapi tetap saja ia tak bergigi ketika para birokrat Ibu Kota punya keinginan lain. ”Saran profesional kami dianggap sepi,” katanya. Dengan semua kekacauan itu, menurut analisis Walhi Jakarta, selama periode 2000–2004 saja, ruang terbuka yang hilang mencapai 90 hektare per tahun.
Tumbuhnya permukiman yang tak terkendali membawa dampak lain yang tak kalah mencemaskan. Sekarang, kata Bintang, 49 persen air bersih penduduk Jakarta diambil dari air tanah permukaan dan air tanah dalam. Sumur resapan yang seharusnya ada di tiap rumah, katanya, ”Hanya dimiliki 5.000 rumah dari 1,5 juta rumah di Jakarta.” Dampaknya, permukaan tanah perlahan turun, dan ketika banjir datang kawasankawasan yang berubah cekung bak baskom itu dengan gampang terendam.
Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso tak mau sepenuhnya disalahkan soal amburadulnya tata ruang Jakarta. Sebagian, katanya, ”Warisan penguasa kota masa lalu.” Sebagian yang lain diurus pemerintah pusat yang membuatnya tak berdaya. Pembangunan Plaza Senayan, Hotel Mulia, yang berdiri di tanah kompleks Gelora Bung Karno, adalah contoh yang diungkapkannya beberapa kali. ”Soal itu, tanya sekretariat negara, jangan Pemda Jakarta,” katanya. Tetapi semua peraturan pendirian bangunan, mulai dari advis planning, persetujuan arsitektur, hingga perizinan ada di tangan Pemda. Artinya, tanpa lampu hijau dari Pemda, bangunanbangunan mentereng itu tak mungkin berdiri.
Gubernur Sutiyoso, yang akan berakhir masa jabatan keduanya tahun ini, kini berusaha meyakinkan orang banyak bahwa ia telah berusaha keras menghijaukan beberapa kawasan. Disebutnya Stadion Persija di Menteng yang akan diubahnya menjadi taman kota, dan pemindahan penduduk dari Kampung Angke ke tanah milik Departemen Keuangan di tepi jalan tol Cengkareng. Untuk menata Jakarta kembali, sekarang ia telah bersiap memindahkan 70 ribu kepala keluarga dari bantaran kali dan menyiapkan 70 titik lahan hijau. ”Ini pekerjaan sulit karena tiap orang butuh lahan untuk hidup,” kata Sutiyoso. Lagi pula, soal pencegahan luapan banjir dan tata kota, menurut Sutiyoso, tak mungkin hanya dikerjakan sendiri. ”Kalau di hulunya rusak, tidak ada gunanya usaha di hilir.”
Garundono setuju jika kerusakan daerah resapan air di Bogor, Puncak, dan Cianjur disebut sebagai salah satu penyebab banjir Jakarta. Saat menganalisis hasil citraan satelit selama periode 1990–1999, misalnya, Garundono menemukan pertumbuhan vila di kawasan itu mencapai 300 persen. Sekitar 40 persen tanah di area itu kini kedap air karena berganti beton. Bila hujan lebat, air melesat begitu saja ke sungai membawa lumpur yang mengendap di sepanjang badan sungai yang bermuara di Jakarta. Disebutnya juga soal tata ruang daerah di sekitar Jakarta sama kacaunya, seperti Tangerang. Tapi ia tetap yakin penyebab terbesar tetap tata ruang Kota Jakarta. ”Masalahnya, para birokrat sering malas mengerjakan PR (pekerjaan rumah) tapi selalu rajin mencari Rp (rupiah),”katanya.
IGG Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo