MENDENGARKAN siaran wayang bagi Barjowiyono adalah sebuah kenikmatan. Seperti yang dilakukannya awal November lalu. Sembari mengisap rokok klobot kesukaannya, malam itu Barjo mengikuti lakon Kumbokarno Gugur. Lagi tegang-tegangnya menunggu babak peperangan antara pasukan Rama dan prajurit Alengka, ia dengar, "Kulo nuwun." Barjo, 60 tahun, tersentak. Rupanya, ada rombongan tamu dipimpin Pak Camat. Pikir Barjo, ini pasti ada peristiwa gawat, sampai-sampai Camat, kepala hansip, dan polisi pamong berkunjung ke rumahnya. Tamu itu kemudian menanyakan pajak radio tahun 1987. Barjo, yang merasa sudah membayar, tak cemas. Tapi begitu ditanya bukti pembayaran, ia cuma bengong. Soalnya, warga Dusun Pandem, Panggang, Gunungkidul, Yogyakarta, itu tak diberi tanda apa pun oleh petugas kelurahan. Karena tak bisa menjawab, Barjo terpaksa merelakan radio satu-satunya dibawa ke kecamatan. Camat Panggang, Basuki Rochim, memang aktif turun ke lapangan menagih pajak radio. Sebab, sampai akhir September lalu pemasukan baru Rp 54 ribu. Itu berarti masih jauh dari target Rp 600 ribu. Sedangkan pemilik radio hampir 1.500 orang. "Sidak itu saya lakukan untuk mempertahankan prestasi," kata Basuki pada I Made Suarjana dari TEMP~O. Ia memang sengaja tak melibat aparat kelurahan, karena di beberapa desa disinyalir kurang beres administrasinya. Contohnya pada Barjo tadi, walau sudah bayar tapi tak diberi kuitansi tanda pembayarannya. Hasil sidak itu menggembirakan. Hingga akhir November lalu terkumpul Rp 172 ribu. Camat Rochim bertekad untuk mengunjungi warganya. Tak cuma pajak radio, ia juga memberi penyuluhan soal PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) sampai Keluarga Berencana. Itu dilakukan juga tiap Selasa malam -- ketika lakon wayang diudarakan, mulai pukul 23.30 hingga 03.30. Yusroni Henridewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini