Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Percikan pikiran berharga

Pengarang : arnold toynbee & daisaku ikeda. jakarta : indira, 1987. resensi oleh : sori siregar.

2 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERJUANGKAN HIDUP Oleh: Arnold Toynbee dan Daisaku Ikeda Penerbit: PT Indira, Jakarta, I987, 409 halaman BUAH pemikiran yang dilontarkan secara tertulis dan terinci jelas berbeda, ~dengan yang disampaikan secara lisan dan spontan. Pada yang pertama diperlukan studi dan banyak referensi, sehingga orang tahu ke mana harus mengacu kalau ingin menguji kebenaran buah pemikiran itu. Kesempatan demikian tak mungkin terdapat pada yang kedua. Inilah yang kita rasakan ketika membaca Perjuangkan Hidup, dialog sejarawan Inggris, Arnold Toynbee, dan Daisaku Ikeda, pemimpin organisasi keagamaan Budha, Soka Gakkai. Ikeda datang ke London untuk bertemu dengan Toynbee. Lalu mereka berdialog beberapa hari. Dialog yang direkam itu kemudian disusun kembali oleh Richard L. Gage, dan diterbitkan sebagai buku dengan judul Choose Life. Buku inilah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Iskandar dan di terbitkan oleh PT Indira. Pada dasarnya, kedua tokoh tersohor itu berbincang-bincang tentang tiga masalah besar: Kehidupan Pribadi dan Sosial, Kehidupan Politik dan Internasional, serta Kehidupan Falsafi dan Relijius. Ketiga masalah yang disusun menjadi tiga bagian ini dipecah menjadi dua belas bab. Lalu setiap bab berbicara tentang masalah yang dianggap berkaitan. Ketika Toynbee dan Ikeda berbeka-beka tentang kecerdasan insani, misalnya, mereka pun asyik menyinggung masalah pendidikan, pengaruh sastra, kaum cendekiawan dan khalayak umum, manusia intelektual dan artistik, serta keterbasan penalaran ilmiah. Demikian banyak masalah yang disinggung dalam dialog ini, hingga akhirnya kita tidak mendapatkan yang kita inginkan secara memuaskan. Dapat dibayangkan betapa repotnya Richard L. Gage ketika ia menyusun dialog ini menjadi buku. Ia mungkin kebingungan mencari sistematika yang tepat agar yang satu tetap relevan den~gan yan~g lain. Dan tidak selamanya ia berhasil. Kekacauan itu kita rasakan pada banyak bab. Pada bab yang membicarakan kecerdasan insani, misalnya, (halaman 80). Ketika kita asyik menekuni dialog yang menarik tentang tujuan pengajaran, masa belajar, pembiayaan pendidikan, pendidikan pria dan wanita, serta pengajaran dan penelitian, kita diajak melompat begitu saja untuk mengetahui apa yang dapat dilakukan kesusastraan untuk orang yang kelaparan. Membaca terjemahan Choose Life ini siapa pun akan tahu, dialog seiarawan Inggris dan pemlmpm orgamsasl Budha ini telah dipersiapkan dengan matang. Mungkin, mereka dengan catatan yang berserakan di meja. Data yang akurat membuktikan hal itu. Namun, yang namanya dialog tetap saja tldak blsa mendalam dan tuntas. Misalnya, ketika Toynbee menyebut Franklin Delano Roosevelt, Winston Churchill, dan Jawaharlal Nehru, para pemimpin demokratis yang telah men)alankan tugas mereka dengan hampir memuaskan (halaman 243). Namun, Toynbee tetap beranggapan Roosevelt dan Nehru tidak begitu tulus dalam hubungannya dengan para pemilih mereka. Kita tidak tahu harus mengacu ke mana untuk membuktikan kebenaran pemikiran Toynbee ini. Begitu pula ketika Toynbee menjatuhkan pilihan pada meritokrasi sebagai lembaga pemerintahan terbaik (halaman '262). Tampaknya, ia tak puas dengan sistem demokrasi dan kediktatoran yang dikenalnya. Tetapi pilihannya terhadap meritokrasi tidak didukung oleh argumentasi yang meyakinkan. Bahkan ia tampak terlalu idealistis. Meritokrasi yang dipilih sccara efisien dan tidak memihak seperti yang diinginkannya harus tetap diawasi, karena, buatnya, kekuasaan tetap menyebabkan korupsi. Betapapun, pertukaran pikiran antara Ikeda dan Toynbee ini tetap menarik, karena kedua tokoh itu memercikkan pemikiran-pemikiran besar, walau tidak dikembangkan. Ada perbedaan pendapat, kendati tidak besar. Menyembul pesimisme karena pengalaman-pengalaman pribadi. Menarik karena seorang ahli sejarah tiba-tiba bicara tentang kembali ke desa, belas kasih sebagai penghayatan cinta, atau tentang bunuh diri dan euthanasia. Mengesankan karena seorang pemimpin agama bersoal-jawab tentang partikel subatom, GNP, dan pembatasim kebebasan pers. Mengasyikkan karena tokoh dari Timur dan dari Barat ini memiliki segudang pengetahuan yang dilepas satu per satu dengan kecermatan yang mengagumkan. Berbicara apa saja keduanya selalu dengan percikan-percikan pikiran yang bernas, dan selalu dapat dikaitkan dengan masa kini. Keduanya, misalnya, prihatin dengan nafsu yang semakin menggila di dunia modern, seperti nafsu akan kekuasaan dan milik. Nafsu itu meningkat menjadi serakah. Karena itu, Daisaku Ikeda melontar pertanyaan, "Dengan jalan apakah nafsu setan dapat diubah menjadi nafsu kasih sayang?" Toynbee mencoba menjawabnya dengan nada rendah, "Semua agama yang luhur menganjurkan manusia untuk mengatasi nafsu mementingkan diri sendiri." Tetapi ia sadar pula, tugas itu sulit dilaksanakan. Buktinya dapat kita saksikan di sekeliling kita. Karena begitu banyaknya sumbangan pikiran yang dapat diambil dari buku ini, maka tak layaklah bila bacaan ini kita lewatkan begitu saja. Sori Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus