Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Akbar Kembali di Simpang Dusta

Pertemuan di Hotel Gran Mahakam mengungkap kembali kebohongan Akbar Tandjung. Kenapa Rahardi Ramelan berani menentang?

12 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HOTEL bintang lima itu bergaya Eropa tempo dulu. Bangunannya tampak tegak di keramaian kawasan Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ternyata, salah satu suite room dua lantai dari 159 kamar di Hotel Gran Mahakam itu pernah menyimpan sebuah muslihat besar dari beberapa pengacara dan politisi. Konspirasi untuk merekayasa kasus korupsi dana nonbujeter Bulog senilai Rp 40 miliar itu lama dipendam, tapi baunya belakangan merebak ke mana-mana.

Bahkan, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu, konspirasi itu terbongkar dalam persidangan terdakwa Rahardi Ramelan, mantan Kepala Bulog. Itu gara-gara pengacara Rahardi, Trimoelja D. Soerjadi, terus mencecar saksi Akbar Tandjung, Ketua DPR dan Ketua Golkar, yang juga menjadi terdakwa kasus tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Sepertinya kursi yang diduduki Akbar di persidangan terasa makin panas. Ia tampak kehilangan kepercayaan diri. Semula, Akbar tak mengakui pertemuan antara pihaknya dan kubu Rahardi di Hotel Gran Mahakam pada 10 Oktober 2001.

Namun, setelah Trimoelja menunjukkan surat yang berisi skema skenario yang ada pada pertemuan itu, Akbar meralat keterangannya dengan menjawab tidak ingat. "Pertemuan tanggal 10 itu memang ada. Isinya saya tidak ingat," ujar Akbar Tandjung seusai sidang, menjelang masuk ke mobilnya.

Boleh dibilang pertemuan di suite room lantai 8 Hotel Gran Mahakam merupakan kunci utama dalam kasus dana nonbujeter Bulog. Dalam pertemuan itulah berlangsung upaya untuk membujuk Rahardi agar mengikuti skenario yang sudah dirancang Akbar dan pengacaranya. Skenario ini menggambarkan aliran dana tersebut ke Yayasan Raudatul Jannah, bukan ke Golkar. Selanjutnya, Raudatul Jannah akan menyalurkan dana itu ke kalangan miskin dalam bentuk bantuan sembilan bahan pokok (sembako).

Dulu, memang skema skenario Yayasan Raudatul Jannah pernah dikirimkan oleh pengacara Rahardi, Yan Juanda Saputra, lewat faksimile ke Rahardi. Waktu itu, Rahardi berada di Boston, Amerika Serikat, dua minggu sebelum ia tiba kembali di Tanah Air. Namun, Rahardi menolak ikut dalam skenario itu. "Sejak semula, Pak Rahardi mengatakan akan tell the truth," kata Yan, yang bersama O.C. Kaligis kemudian dipecat oleh Rahardi dari posisi selaku pengacaranya.

Agaknya Yan punya peran penting bersama pengacara Akbar, Hotma Sitompul. Dari dua pengacara inilah skema skenario bahwa uang Rp 40 miliar itu disalurkan ke Yayasan Raudatul Jannah dimulai. Mereka jugalah yang merancang pertemuan di Gran Mahakam.

Rahardi sempat menawar pertemuan hanya untuk ia dan Akbar. Tapi Akbar tak mau. Dia ingin didampingi peng-acara. Lalu Rahardi mengajak Kaligis, yang kemudian minta agar Akbar tak usah didampingi segerobak pengacaranya, tapi cukup satu pengacara. Akbar menerima permintaan itu, sehingga hanya Hotma yang mendampinginya.

Belakangan, Yan membantah bila dirinya dianggap sebagai penggagas pertemuan di suite room bertarif Rp 2,5 juta semalam itu. "Sudahlah. Pertemuan di Gran Mahakam sudah tak relevan. Kan, sudah jelas Pak Rahardi mengatakan tak mengikuti skenario yayasan," kata Yan Juanda.

Pertemuan itu sendiri dikabarkan berlangsung alot dalam suasana panas kendati kamar bertingkat dua itu diselimuti udara dingin dari AC. Memang, dalam pertemuan, Rahardi tak menerima skema skenario yang disodorkan. "Tidak bisa. Saya baru tahu yayasan itu sekarang. Kalau Anda mau pakai, silakan, tapi itu bukan wewenang saya. Saya diperintah Pak Habibie untuk menyerahkan uang hanya kepada Pak Akbar," ujar Rahardi dalam pertemuan itu (lihat Malam Panas di 'Suite Room').

Menurut Rahardi, Presiden (waktu itu) B.J. Habibie memerintahkan agar dana nonbujeter Bulog diserahkan kepada Akbar untuk penyaluran sembako. Hal itu merupakan pelaksanaan dari kebijakan yang telah diputuskan dalam per-temuan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan Haryono Suyono, Menteri-Sekretaris Negara Akbar Tandjung, dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan merangkap Kepala Bulog Rahardi dengan Presiden Habibie di Istana Negara, Jakarta, pada 10 Februari 1999. "Kalau uang itu digunakan untuk hal lain oleh Akbar, saya tidak tahu. Yang jelas, uang itu sudah saya serahkan ke Akbar Tandjung lewat Saudara Achmad Ruskandar (Deputi Keuangan Bulog). Akbar juga sudah mengakui menerimanya," ujar Rahardi.

Bisa dikatakan hampir semua yang terlibat dalam pertemuan Gran Mahakam tak membantah adanya pertemuan itu. Akbar juga kini mengaku pernah me-nerima dana Rp 40 miliar tersebut. Cuma, ia masih bersikukuh bahwa dana itu langsung diserahkan ke Yayasan Raudatul Jannah untuk disalurkan sebagai bantuan sembako.

Kekukuhan Akbar agaknya amat di-dukung oleh Dadang Sukandar (Ketua Yayasan Raudatul Jannah), yang seakan-akan selalu siap pasang badan demi Akbar. Kekukuhan itu juga diperkuat oleh Winfried Simatupang, pengusaha yang dikabarkan menjadi penyalur sembako dimaksud ke kalangan miskin.

Namun, pada perkembangannya, Winfried mengembalikan dana Rp 40 miliar itu, bahkan dalam bentuk uang tunai. Ia mengaku dana itu hanya disimpannya alias tak digunakan untuk menyalurkan sembako. Artinya, penyaluran sembako tak pernah ada.

Keyakinan itu juga ada pada Jaksa Fachmi yang mendakwa Akbar. "Di persidangan pun setiap saksi yang menyebut pembagian sembako akan saya kejar habis-habisan. Terbukti dalih pembagian sembako hanya rekayasa," ujar Fachmi.

Janggalnya, Jaksa Fachmi seperti tak peduli ke mana dana itu kalau bukan disalurkan sebagai bantuan sembako. Alasannya, jaksa hanya bertugas membuktikan kesalahan terdakwa. Untuk apa uang tersebut, katanya, jaksa tak perlu membuktikannya. "Makanya saya ngotot untuk membuktikan dipegang atau tidak uang itu oleh Akbar. Akhirnya, dia mengaku bahwa cek itu dipegangnya. Itu yang penting buat jaksa," kata Fachmi.

Argumentasi Jaksa Fachmi seakan-akan naif—kalau tak mau disebut sengaja menyembunyikan kebenaran tentang arus dana itu yang tak ke Yayasan Raudatul Jannah. Padahal, sebagaimana penelusuran TEMPO, dana Rp 40 miliar itu diduga masuk ke kas Golkar. Sesungguhnya dugaan itu juga diakui jaksa, tapi jaksa berdalih sulit membuktikannya (lihat Bila Hukum Seformal Dakwaan).

Tilik saja dua kali pencairan dana itu. Pencairan pertama pada 2 Maret 1999, dari dua cek masing-masing senilai Rp 10 miliar. Itu terjadi lima hari sebelum deklarasi Partai Golkar di Stadion Utama Senayan. Tanda tangan pada tanda terima dana itu, yang kemudian difotokopi oleh Ruskandar, mirip tanda tangan di KTP bendahara Golkar, Fadel Muhammad dan M.S. Hidayat. Tapi Fadel membantah soal ini. Pencairan dana berikutnya pada 20 April 1999, menjelang masa kampanye pemilihan umum tahun 1999. Dana Rp 20 miliar ini berasal dari beberapa cek bernilai Rp 2 miliar dan Rp 3 miliar. Dana ini ditengarai juga mengucur ke fungsionaris Golkar.

Persoalannya kini: mungkinkah kisah di Gran Mahakam bisa mengungkap desain utama kasus dana nonbujeter Bulog yang mengarah ke Golkar? Pengacara Akbar yang baru, Amir Syamsuddin, menganggap pertanyaan itu berlebihan. Sebab, katanya, proses peradilan yang sekarang sudah berjalan sebagaimana mestinya. "Di persidangan, Akbar sudah mengakui menerima dana itu, lalu meneruskan ke yayasan. Jadi, ndak ada soal skenario itu," ujar Amir Syamsuddin.

Tinggal kini jaksa dan hakim, maukah membuktikan dusta di Gran Mahakam? Demikian pula dusta yang melibat Golkar. Atau jaksa dan hakim hanya berminat menggunakan kacamata kuda untuk sekadar membuktikan kesalahan Akbar, Rahardi, Dadang, dan Winfried? Kalau demikian, hukum masih slogan tak bermakna, seperti semasa Orde Baru.

Ahmad Taufik, Hadriani Pudjiarti, Agus Hidayat, Wahyu Dhyatmika (TNR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus